Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Mencermati perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam lansekap geopolitik, geoekonomi, dan geokultur di dunia yang makin multipolar ini, pendidikan perlu dibebaskan dari paradigma nekolimik yang selama ini dipaksakan oleh penjajah, yaitu Barat dan AS melalui neo-cortex war yaitu agar kita menggunakan model, nilai dan standard Barat dalam hampir semua aspek pendidikan kita. The western model of education melalui persekolahan paksa massal telah berhasil menyiapkan prasyarat budaya bagi bangsa yang terjajah, walaupun seolah merdeka. Persekolahan tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi untuk menjadi platform belajar merdeka.
Instrumen Barat dalam neo-cortex war terpenting dan paling merusak adalah sistem persekolahan paksa massal. Ini telah dikonfirmasi oleh Ivan Illich, Ken Robinson dan John T. Gatto. Yang menjadi korban dalam proses pembaratan ini adalah keluarga, masjid/gereja dan masyarakat melalui monopoli persekolahan dalam sistem pendidikan nasional. Persekolahan dijadikan instrumen teknokratik untuk menyeragamkan perilaku, selera, dan proses penciptaaan tenaga-tenaga kerja muda yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal, terutama asing, seiring dengan aliran Penanaman Modal Asing ke Indonesia terutama sejak Orde Baru.
Monopoli radikal persekolahan dalam pendidikan itu telah mengubah kebutuhan belajar menjadi keinginan bersekolah. Rakyat bingung membedakan antara belajar dan bersekolah. Tidak bersekolah langsung disebut kampungan dan tidak terdidik. Secara perlahan tapi pasti, masyarakat gagal membedakan antara kompetensi dan ijazah, antara kesehatan dan rumah sakit, antara keamanan dengan kantor polisi, antara kebutuhan dan keinginan. Pendidikan melalui persekolahan makin dilihat sebagai perkara property, bukan institusi. Gedung sekolah dan kampus yang makin megah dilihat sebagai jaminan mutu, padahal makin tidak relevan.
Belajar sebagai kegiatan produktif, oleh sekolah diubah menjadi kegiatan yang konsumtif. Persekolahan membuat kesempatan belajar justru menyempit sehingga makin langka dan mahal. Persekolahan makin menyedot banyak sumberdaya, tapi pendidikan sebagai kesempatan belajar justru makin tidak relevan, dan tidak efektif. Apalagi dengan kehadiran internet.
Akibatnya, fenomena sekolah dan kampus Zombie makin meluas. Gedung-gedung sekolah dan kampus makin megah, tapi ruh dan moralnya secara perlahan menghilang. Bahkan sekolah-sekolah berlabel Islam pun ikut terseret dalam arus besar liberalisasi dan komersialisasi pendidikan ini. Sekolah dan kampus menjadi pabrik ijazah dengan kompetensi yang makin kering dan tidak relevan, namun makin mahal. Jumlah kampus yang menjamur adalah bukti kegagalan pendidikan menengah untuk menyediakan warga muda yang kompeten, sehat dan produktif di usia 17-18 tahun. Merancang lulusan SMA sederajad untuk kuliah adalah keliru.
Kita harus mengurangi monopoli persekolahan dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan harus dilihat lebih sebagai platform perluasan belajar untuk merdeka. Yang kita butuhkan bukan pembesaran sistem persekolahan (dan juga pesantren), tapi perluasan jejaring belajar yang lentur, dan berbasis masyarakat. Sebuah learning cybernetics, bukan sistem persekolahan. Pendidikan untuk semua hanya mungkin oleh semua. Ki Hadjar Dewantara menyebutnya 3 pilar pendidikan : keluarga, masyarakat, dan perguruan. Berguru dan belajar, bukan bersekolah.
Gunung Anyar, Surabaya. 20 Oktober 2025.
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Daniel M Rosyid: Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Daniel M Rosyid: Reformasi POLRI : Dari Dalam Atau Dari Luar?
Daniel M Rosid: Reformasi : Perjudian Kaum Reformis Yang Gagal
Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
No Responses