JAKARTA – Ketika Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda, banyak yang memilih mengulang romantisme masa lalu — mengutip tiga kalimat sakral dari 1928 tanpa lagi memahami maknanya. Namun di tengah seremonial itu, satu suara keras memecah keheningan. Suara itu datang dari Dr. Anton Permana, Direktur Tanhana Dharma Mangruva Institute, yang dalam orasi kebangsaannya menegaskan:
“Bangsa ini tidak miskin, bangsa ini dirampok!,” tegas Anton dalam Diskusi Publik yang digelar oleh Mutiara Sinar Indonesia, Senin (20/10/2025) dan dimuat dalam Channel Youtube “Langkah Update”.
Anton berbicara bukan sekadar dengan amarah, tapi dengan data dan kesadaran sejarah. Tema yang ia usung pada peringatan Sumpah Pemuda kali ini, “Mendukung Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri”, seolah menjadi tamparan keras bagi elite kekuasaan dan pengingat bagi rakyat: bahwa cita-cita kemerdekaan belum selesai.
Negeri Kaya Yang Hidup Seperti Bangsa Miskin
Anton memulai dengan ironi yang menggigit. Indonesia, katanya, adalah salah satu negeri paling kaya sumber daya alam di dunia — namun rakyatnya masih bergelut dengan kemiskinan struktural.
“Potensi uang dari nikel saja mencapai Rp15.000 triliun setiap dua tahun. Tapi pajak yang masuk ke kas negara hanya Rp33 triliun. Sisanya ke mana?” tanya Anton dengan nada tajam.
Ia menyebut kondisi ini sebagai kleptokrasi: pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri. Dari tingkat pusat hingga desa, dari kementerian hingga lembaga penegak hukum, korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa — melainkan bagian dari budaya kekuasaan.
Anton menegaskan bahwa korupsi bukan sekadar masalah hukum, tetapi penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi moral bangsa. “Akibat korupsi, pendidikan jadi mahal, kesehatan sulit diakses, dan 160 juta rakyat hidup dalam kemiskinan. Sementara segelintir elit hidup bergelimang kemewahan hasil rampokan,” ucapnya.
Reformasi Yang Kebablasan: Dari Rakyat Untuk Elit
Anton mengingatkan bahwa reformasi 1998 yang dulu digadang sebagai tonggak kebangkitan demokrasi, kini justru berubah arah menjadi arena oligarki.
“Amandemen UUD 1945 telah menjauhkan kita dari semangat para pendiri bangsa,” ujarnya.
Pasal 33 UUD 1945 yang semula menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, kini menjadi legitimasi bagi privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Negara tidak lagi menguasai sumber daya, melainkan menjadi makelar yang menyerahkan kekayaan bangsa kepada korporasi besar — baik asing maupun domestik.
Anton menyebut fenomena ini sebagai pembalikan cita-cita kemerdekaan. Reformasi yang semestinya mengembalikan kekuasaan kepada rakyat justru menjauhkan rakyat dari kedaulatan ekonomi dan politik. “Kini rakyat tidak lagi berdaulat. Negara ini dikendalikan oleh segelintir oligarki yang memonopoli sumber daya dan kekuasaan,” tegasnya.
Polri Dan Krisis Legitimasi Moral
Dalam bagian paling tajam dari orasinya, Anton menyoroti institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat — Kepolisian Republik Indonesia.
“Polri hari ini bukan lagi simbol perlindungan rakyat. Ia telah menjadi simbol ketakutan rakyat,” katanya dengan nada getir.
Ia menyoroti banyaknya penyimpangan dan skandal di tubuh Polri: mulai dari keterlibatan oknum dalam tambang ilegal, narkoba, hingga judi online. “Tidak ada kejahatan besar di negeri ini tanpa keterlibatan oknum polisi,” ucapnya lugas.
Anton juga menyoroti watak militeristik yang tumbuh dalam Polri. “Kita ini polisi sipil, bukan tentara. Tapi lihat sekarang — mereka punya kapal perang, helikopter tempur, bahkan senjata anti-tank. Ini sudah bukan polisi sipil lagi,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Ia menilai reformasi Polri gagal karena dilakukan setengah hati. Polri menjadi lembaga superbody — sangat kuat, tapi minim kontrol. “Yang terjadi sekarang adalah lembaga yang tak tersentuh hukum, tapi justru memegang hukum. Dan ini bahaya besar bagi demokrasi,” tegasnya.
Pemuda Yang Terlena di Tengah Hedonisme
Setelah membedah korupsi dan institusi, Anton beralih ke isu moral bangsa: pemuda. Dengan nada prihatin, ia menilai generasi muda kini kehilangan orientasi kebangsaan.
“Pemuda kita lebih hafal nama-nama personel K-Pop daripada tokoh nasionalnya sendiri,” sindirnya.
Ia menyinggung bonus demografi 2030 — ketika 60 persen penduduk Indonesia berusia muda. “Kalau mereka produktif, bangsa ini akan makmur. Tapi kalau mereka terjebak judi online, narkoba, dan tontonan kosong, maka bonus demografi itu akan berubah menjadi bencana demografi.”
Menurut Anton, kebangkitan bangsa hanya mungkin jika pemudanya sadar akan tanggung jawab sejarahnya. Ia mengajak mereka kembali meneladani semangat para pemuda 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda tanpa fasilitas, tanpa sponsor, dan tanpa media sosial — hanya dengan cinta pada tanah air.
“Pemuda Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton sejarah. Mereka harus menjadi pelaku sejarah baru!” serunya.
Langkah Konkret Menuju Reformasi Sejati
Anton Permana tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan tiga langkah nyata untuk membangun reformasi sejati:
1. Ganti kepemimpinan Polri yang korup dan tidak berintegritas.
“Sapu kotor tak akan pernah bisa membersihkan ruangan. Reformasi tak akan lahir dari tangan kotor,” katanya.
2. Bangun poros sipil yang independen.
Akademisi, masyarakat sipil, dan tokoh agama harus bersatu mengawal agenda reformasi agar tak dibajak oleh kepentingan politik sesaat.
3. Libatkan TNI secara terukur dalam stabilisasi.
Anton menilai TNI harus membantu mengamankan reformasi Polri dari dalam, bukan untuk menguasai, tapi untuk memastikan tidak ada perlawanan dari oknum yang menikmati status quo.
“TNI dan Polri harus kembali ke fitrahnya: TNI sebagai alat pertahanan, Polri sebagai pelindung rakyat, bukan pelindung penguasa,” ujarnya.
Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda
Menjelang akhir pidatonya, suasana ruangan berubah hening. Anton menatap peserta satu per satu, lalu berkata pelan namun dalam:
“Kalau bukan kita yang membersihkan negeri ini, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Seruan itu disambut gemuruh tepuk tangan. Di mata peserta, terlihat semangat lama yang sempat redup kini mulai menyala kembali.
Anton menutup dengan pesan moral yang menggugah:
“Pemuda Indonesia harus lahir kembali sebagai garda moral bangsa. Mereka bukan hanya pewaris kemerdekaan, tapi penentu masa depan. Dan masa depan itu akan suram jika kita diam melihat kebusukan di sekitar kita.”
Dari Sumpah ke Tindakan
Apa yang disampaikan Dr. Anton Permana bukan sekadar kritik politik — melainkan panggilan moral. Ia mengingatkan bahwa bangsa ini sedang berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ada peluang besar menuju kemandirian dan kemajuan. Di sisi lain, ada ancaman nyata berupa korupsi, hedonisme, dan kepolisian yang kehilangan arah.
Sumpah Pemuda 1928 adalah momentum kesadaran kolektif bahwa bangsa besar ini bisa berdiri tegak karena keberanian pemudanya. Kini, hampir seabad kemudian, pesan itu masih sama: Indonesia hanya bisa bangkit bila pemudanya berani menegakkan kebenaran.
Dan mungkin, seperti kata Anton di ujung orasinya:
“Reformasi sejati bukan dimulai dari istana, tapi dari hati yang berani berkata tidak pada kezaliman.”
EDITOR: REYNA
Related Posts
Pancasila Sebagai Sumber Moral dan Spiritual Bangsa
Orang Berstatus Bebas Bersyarat Tak Boleh Jadi Calon Perangkat Desa, Ini Penjelasan Hukumnya
Berjihad Melawan Korupsi, Menyelamatkan Hak Anak Indonesia Menuju Indonesia Emas
Habib Umar Alhamid: Prabowo Pantas Ajak TNI dan Rakyat untuk Bersih-bersih Indonesia
HIPKA Tegas Tolak Politisasi Hukum Demi Stabilitas Pembangunan Ekonomi Kalbar
Skandal Tirak, Ketua BPD Nilai Rizky Putra “Mbah Lurah” Belum Layak Sebagai Calon Karena Belum Bebas Murni
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
PT Soechi Lines Tbk, PT Multi Ocean Shipyard dan PT Sukses Inkor Maritim Bantah Terkait Pemesanan Tanker Pertamina
ISPA Jadi Alarm Nasional: Yahya Zaini Peringatkan Ancaman Krisis Kesehatan Urban
No Responses