Oleh: Budi Puryanto
Langit Guam tampak sempurna — biru, tenang, dan tanpa awan. Namun di balik ketenangan itu, pangkalan udara Andersen Air Base sedang disibukkan oleh kedatangan sejumlah pesawat jet pribadi dari berbagai negara. Tak ada penyambutan resmi, tak ada liputan media. Semuanya dilakukan senyap, di bawah kendali Joint Pacific Strategic Command, unit gabungan rahasia yang dikenal hanya oleh segelintir orang.
Di dalam salah satu ruang konferensi bawah tanah pangkalan itu, belasan tokoh duduk mengelilingi meja digital berbentuk oval.Bendera-bendera negara tidak dipasang — hanya layar biru dengan logo yang sama di tengah: PAX PACIFICA INITIATIVE.
Seorang pria berambut perak berdiri di depan layar, berbicara dengan aksen Eropa Timur yang kental. Dialah Viktor Lebedev, mantan penasihat strategi geopolitik Rusia yang kini menjadi arsitek proyek besar ini.
“Laut China Selatan adalah simpul. Tapi inti kendali ada di Pasific Grid, jaringan energi dan data lintas laut dari Darwin sampai Guam. Indonesia —” katanya sambil menekan layar — “adalah titik kunci yang belum tunduk. Tanpa Indonesia, Pax Pacifica hanya separuh berfungsi.”
Dari sudut ruangan, seorang wanita berjas hitam menimpali dengan nada datar. “Indonesia terlalu besar untuk ditekan. Tapi bisa dipecah. Atau dipengaruhi dari dalam,” katanya. Wanita itu adalah Clara Hwang, perwakilan Virex Global Consortium. Dialah otak di balik penyelundupan reaktor mini yang ditemukan oleh tim Cendrawasih Hitam di Natuna.
Namun semua kepala berbalik ketika pintu ruangan terbuka perlahan. Masuklah seorang pria dengan langkah tenang, mengenakan jas abu-abu dan kacamata hitam. Wajahnya dikenal oleh semua yang hadir — meski tak ada yang berani menyebut namanya keras-keras.
“Senang bertemu lagi, Tuan Rakarsa,” sapa Viktor.
Gema Rakarsa menatap mereka satu per satu, lalu menaruh map kulit di atas meja.
“Saya datang bukan untuk tunduk,” katanya. “Tapi untuk menawarkan sesuatu yang hanya saya miliki: akses.”
Clara tersenyum tipis. “Akses ke Indonesia?”
Gema mengangguk. “Lebih dari itu. Akses ke hati dan pikirannya. Saya tahu sistem politiknya, ekonomi, bahkan titik lemah militernya. Kalian ingin Pax Pacifica berdiri? Maka kalian butuh kestabilan di selatan. Dan hanya saya yang bisa menjamin itu.”
Viktor menatapnya lekat-lekat.
“Dan imbalannya?”
“Sederhana,” jawab Gema. “Saya ingin menjadi Direktur Regional untuk Asia Tenggara. Saya akan jamin transisi pengaruh berjalan tanpa perang, tanpa darah, tapi dengan kendali penuh terhadap rantai pasokan energi dan pangan di wilayah itu.”
Clara menyela, “Kau sadar siapa yang akan kau lawan, Gema? Presidenmu sendiri?”
Gema tersenyum dingin.
“Pradipa adalah masa lalu. Ia memimpin dengan hati, bukan strategi. Dunia baru butuh algoritma, bukan idealisme.”
Ruangan menjadi hening. Hanya suara lembut mesin pendingin udara yang terdengar.
Viktor akhirnya menekan tombol di mejanya. Layar besar di dinding menampilkan peta digital kawasan Pasifik. Titik-titik biru mulai menyala dari utara — Jepang, Korea, Taiwan — lalu menyebar ke selatan: Filipina, Papua Nugini, Australia. Dan di tengah peta itu, Indonesia — satu-satunya wilayah yang masih berwarna abu-abu.
“Jika Anda berhasil mengubah warna itu menjadi biru,” kata Viktor pelan, “maka Anda akan memegang kunci dunia.”
Sementara itu di Jakarta, malam terasa panjang di Istana Merdeka. Presiden Pradipa duduk di ruang kerjanya dengan hanya lampu meja yang menyala. Di depannya, laporan dari operasi Cendrawasih Hitam ditumpuk rapi. Surya Atmaja masuk, membawa kabar baru.
“Pak, kita berhasil melacak panggilan sinyal terakhir dari kapal Panama. Ternyata diteruskan ke Guam.”
Pradipa menatapnya lama.
“Guam…” ia mengulang dengan suara rendah. “Markas utama militer Amerika di Pasifik.”
“Ya, tapi bukan operasi resmi militer. Ini semacam aliansi bayangan. Dan lebih buruk lagi, sistem kami mendeteksi kode sandi yang cocok dengan komunikasi lama – mantan Wakil Presiden Gema Rakarsa.”
Presiden Pradipa terdiam, menatap peta dunia yang sama seperti dulu. Perlahan ia berdiri dan berjalan ke jendela. Lampu-lampu Jakarta berkelip seperti bintang di bawah sana — indah, tapi rapuh.
“Kalau benar Gema berada di balik semua ini,” katanya lirih, “berarti kita sedang menghadapi bukan sekadar pemberontakan… tapi reinkarnasi kekuasaan kolonial dalam bentuk baru.”
Surya menunduk. “Apa perintah Bapak?”
Pradipa menatap jauh ke timur, ke arah laut dan cakrawala yang membentang.
“Siapkan Dewan Pertahanan Nasional. Kita akan bentuk Operasi Samudra Merdeka. Kalau dunia ingin menjadikan Pasifik sebagai pusat kekuasaan baru,” katanya tegas, “maka kita akan pastikan Indonesia berdiri sebagai penentunya — bukan korbannya.”
Keesokan harinya, di sebuah pangkalan kecil di Biak, Papua, sekelompok pilot dan teknisi bersiap dalam gelap. Mereka belum tahu arah misi, hanya satu sandi yang disampaikan lewat komunikasi satelit. “Samudra Merdeka. Kode waktu: fajar.”
Langit di atas Pasifik mulai berubah warna — dari kelam menjadi biru keemasan.
Dan di balik cakrawala itu, bayang-bayang imperium terus merayap.
Gelombang di Samudra Pasifik
Kabut pagi menutupi halaman Istana. Dari balkon, Presiden Pradipa berdiri sendiri menatap cakrawala Jakarta. Di bawahnya, pasukan pengawal berbaris tanpa suara. Negara ini baru saja selamat dari kudeta, tapi aroma ketakutan belum hilang dari udara.
Di tangannya, laporan intelijen terbaru dari BIN. Di halaman depan, foto-foto satelit menunjukkan barisan kapal tak dikenal melintasi Laut Natuna Utara — lambang kecil di radar, tapi mengguncang jantung republik. Salah satu catatan di margin laporan tertulis dengan tinta merah: “Diduga kapal survei asing, dilengkapi sistem radar bawah laut dan drone amfibi.”
Presiden Pradipa menarik napas panjang.
“Kita belum selesai berperang di dalam negeri,” gumamnya, “tapi musuh dari luar sudah menunggu.”
Sejak Wakil Presiden Gema Rakarsa melarikan diri ke luar negeri – karena kudeta yang gagal – tak ada satu pun pejabat berani mengisi ruang kosong di sisi presiden. Kabinet berjalan pincang. Dewan Keamanan Nasional dipimpin oleh Laksamana (Purn) Darmawan Sutanto, sosok senior yang dulu membimbing Pradipa saat masih menjadi perwira muda.
Di ruang rapat terbatas, Darmawan membuka map besar peta maritim Indonesia.
“Laut China Selatan kini titik panas, Pak Presiden,” katanya. “China memperkuat pangkalan di Spratly. Amerika meningkatkan patroli. Jepang dan Australia ikut dalam latihan gabungan. Semua bergerak ke arah Pasifik. Dan posisi kita — di tengah.”
Pradipa menatap peta itu. Garis biru besar membentang dari Natuna hingga Halmahera.
“Kita ini bukan hanya negara kepulauan, Jenderal. Kita simpul dunia,” katanya pelan. “Dan siapa pun yang menguasai simpul ini, akan memegang leher planet.”
Sementara itu, ribuan kilometer dari Jakarta, di sebuah kompleks militer di pinggir Teluk Manado, Kolonel Ratna Wiratama menatap layar monitor besar. Di sana, terlihat grafik anomali sinyal dari perairan utara Papua — sinyal komunikasi bawah laut yang tidak dikenal.
“Saya yakin itu bukan nelayan,” katanya kepada Mayor Hasan, analis sibernya. “Ini pola militer. Frekuensi berubah tiap enam detik.”
Ratna adalah kepala Pacific Strategic Command (PSC), satuan rahasia yang baru diaktifkan kembali atas perintah langsung Presiden. Unit kecil ini bertugas memantau aktivitas militer dan ekonomi di koridor Pasifik.
“Bu, sinyal ini… seolah datang dari kapal tanpa bendera,” ujar Hasan ragu.
Ratna menatap layar.
“Tanpa bendera berarti tanpa tanggung jawab. Dan itu berarti ancaman.”
Laporan dari Kementerian Pertahanan menyebutkan 40% pasokan pangan dunia kini bergantung pada jalur laut yang melewati Indonesia. Sementara harga minyak dan gas kembali melambung, membuat setiap negara berlomba-lomba mencari pasokan baru.
Indonesia — dengan cadangan energi dan lahan subur — kini bukan sekadar negara berkembang, tapi target strategis global. Dalam pidato tertutup kepada para menteri, Pradipa berkata: “Mereka tidak akan datang membawa senjata. Mereka datang membawa investasi, kontrak, dan teknologi. Tapi ujungnya sama — kontrol. Kita tidak boleh menjadi koloni dengan wajah modern.”
Malam itu, dari pos penjagaan Natuna, radar militer menangkap pergerakan aneh: sebuah kapal siluman muncul sebentar di layar, lalu lenyap. Operator hanya sempat mengirim sinyal darurat ke pusat komando sebelum semua sistem komunikasi mati.
Di Istana, telepon merah berbunyi. “Pak Presiden, sinyal terakhir menunjukkan kapal itu menuju selatan,” suara dari komandan lapangan terdengar tergesa.
Pradipa menatap jendela yang gelap. Di luar sana, lautan tenang — tapi hanya di permukaan.
“Mereka datang lebih cepat dari yang kita kira,” pikirnya. “Dan kita, negeri perkasa ini harus menghadapi sendirian, kali ini.”
Di langit malam yang sunyi, kilatan satelit melintas — seperti mata tak terlihat yang sedang mengawasi Nusantara.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik
Related Posts

Soeharto, Satu-satunya Jenderal TNI Yang 8 Kali Jadi Panglima

Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Antara Rekonsiliasi dan Pengkhianatan Reformasi

Kasusnya Tengah Disidik Kejagung, Sugianto Alias Asun Pelaku Illegal Mining Kaltim Diduga Dibacking Oknum Intelijen

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Habib Umar Alhamid: Waspada, Ombak dan Badai Bisa Menerpa Pemuda-Pemudi Indonesia

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

OKI mendesak Dewan Keamanan untuk mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB

Jokowi, Pratikno dan Prabowo Bisa Terbakar Bersama – sama

Pongah Jadi Menko Tiga Kali


No Responses