JAKARTA – Dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas, kritikus politik Faizal Assegaf menyampaikan tawaran solusi yang berbeda dalam polemik kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Dalam forum itu, Faizal memaparkan secara rinci proses diskusi internal yang berlangsung di lingkaran aktivis, akademisi, dan purnawirawan, sekaligus meluruskan persepsi publik mengenai posisinya dalam isu ini, yang selama ini disalah mengerti.
Faizal mengawali paparannya dengan menjelaskan bahwa pihaknya telah menggelar diskusi pada 12 November bersama sejumlah tokoh, termasuk Said Didu, Refly Harun, dan beberapa purnawirawan. Namun, diskusi tersebut mengalami kebuntuan ketika menyangkut bagaimana merespons penetapan status tersangka terhadap Roy Suryo dan sejumlah pihak lain dalam kasus dugaan pemalsuan ijazah Jokowi.
“Ada kebuntuan dalam diskusi itu, terkait bagaimana menghadapi putusan tersangka terhadap Roy Suryo cs dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi itu,” ujar Faizal.
Menurut Faizal, dari kebuntuan itu muncul satu gagasan baru: mediasi di luar jalur pengadilan, khususnya terkait penetapan status tersangka, bukan mengenai kebenaran atau keaslian ijazah itu sendiri.
“Lalu muncul ide untuk musyawarah atau mediasi di luar jalur pengadilan. Oleh sebab itu saya minta Said Didu menghubungi tim Reformasi Polri untuk mediasi antara Roy Suryo cs dan penegak hukum,” katanya dalam forum.
Faizal menegaskan berkembangnya anggapan publik bahwa dia sedang memperjuangkan mediasi antara Jokowi dan pihak yang berstatus tersangka adalah keliru.
“Berita yang berkembang di luar terlalu jauh, seolah-olah kita sedang memperjuangkan mediasi antara mantan Presiden Jokowi dengan kawan-kawan yang sedang berstatus tersangka itu,” ujar Faizal.
Pertemuan dengan Jimly dan Insiden Walkout
Faizal juga mengungkapkan bahwa pada 19 November, mereka diundang oleh Prof. Jimly Asshiddiqie untuk membahas persoalan tersebut lebih lanjut. Namun terjadi insiden yang berujung pada keluarnya Roy Suryo dan rombongan dari forum.
“Tanggal 19 November kami diundang oleh Pak Jimly. Hanya saja saat itu ada insiden yang membuat Mas Roy dkk keluar dari forum, walkout. Ini memicu pro dan kontra terhadap gagasan mediasi yang saya sampaikan,” kata Faizal.
Ia menekankan bahwa gagasan mediasi yang ia tawarkan sejalan dengan pandangan Tim Reformasi Polri, yang menilai banyak proses penetapan tersangka sarat problem prosedural dan berpotensi dicampuri kepentingan politik.
“Kalau soal ijazah, mediasi yang tepat adalah Jokowi, Megawati, dan SBY”
Faizal menegaskan bahwa mediasi yang ia usulkan bukan untuk menentukan keaslian ijazah Jokowi, melainkan mediasi dengan penegak hukum untuk menguji kembali proses penetapan tersangka terhadap para aktivis.
Jika ada mediasi terkait persoalan ijazah, menurut Faizal, pihak-pihak yang tepat untuk bertemu adalah mereka yang terlibat langsung dalam penggunaan dokumen itu dalam kontestasi politik masa lalu.
“Kalau mediasi itu menyangkut ijazah palsu, mohon maaf, yang pantas melakukan mediasi itu antara Megawati dan Jokowi. Karena ini problem kearsipan,” tegas Faizal.
Ia menjelaskan bahwa Jokowi merupakan pemilik ijazah, sementara Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDIP yang menggunakan dokumen tersebut saat mengusung Jokowi sebagai calon wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta, hingga calon presiden.
Faizal juga menyebut mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pihak yang memiliki relevansi karena pada tahun 2014—saat Jokowi maju sebagai calon presiden—SBY adalah kepala negara yang memiliki otoritas atas sistem kearsipan negara.
“Atau bisa juga melalui Pak SBY, karena waktu Pak Jokowi mendaftar calon presiden tersebut, Pak SBY adalah Presiden RI. Bertanggung jawab dalam kearsipan juga,” ujarnya.
Jalur Musyawarah: “Saya suarakan ini berdasarkan Pancasila”
Dalam forum yang sama, Faizal menegaskan bahwa tawaran mediasi yang ia dorong adalah bagian dari pendekatan penyelesaian masalah sesuai prinsip Pancasila, bukan untuk melemahkan proses hukum.
“Saya menyuarakan solusi ini berdasarkan Pancasila. Banyak masalah bisa diselesaikan dengan pintu mediasi-musyawarah,” katanya.
Ia mencontohkan bahwa konflik besar seperti di Aceh dan Poso pun dapat diselesaikan melalui musyawarah yang difasilitasi oleh pemerintah pada era SBY–JK.
Di akhir pemaparannya, Faizal kembali mengajak para tokoh bangsa untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa saling menyerang.
“Saya mengajak agar Pak Jokowi, Ibu Megawati, dan Pak SBY untuk duduk menyelesaikan masalah kearsipan negara, tanpa harus saling mentersangkakan, saling membenci, dan saling menghujat,” tutupnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

WMO memperkirakan 55% kemungkinan La Nina lemah dalam beberapa bulan mendatang

Gila Beneran Gila, Rakyat Masih Terpukau Panggung Drama Politik Sandiwara

Mafia Menggila, Kedaulatan Robek!

Puskesmas Bandar Diduga Lakukan Malpraktek, Kepala Puskesmas ,Terancam Dilaporkan ke Polisi

HMI Cabang Kota Semarang Mencetak Sejarah, Formateur Terpilih Hafal Al Qur’an dan Pelaksanaan Konfercab Yang Lebih Cepat

Jejak Panjang Dewi Astutik, Buron 2 Ton Sabu Yang Dibekuk di Kamboja: Operasi Intelijen Senyap Lintas Negara

Buron Penyelundup 2 Ton Sabu Senilai Rp5 Triliun Ditangkap di Kamboja

Donasi Meledak 10 Miliar dalam Sehari, Ferry Irwandi Terharu: Target 500 Juta Tembus 20 Kali Lipat

MTs Darul Hikmah Kabupaten Ngawi Menerima 280 Wakaf Al Quran Dari Singapura

Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini Apresiasi Program Magang Nasional



No Responses