Saatnya Menegaskan Arah, Membongkar Simpang Siur Kekuasaan SDA

Saatnya Menegaskan Arah, Membongkar Simpang Siur Kekuasaan SDA
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori

 

Bila Anda mengira banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh dan Sumatra akhir 2025 adalah “bencana alam biasa”, saya ajak Anda menengok tumpukan kayu yang terbawa arus — potongan kayu, balok, dan batang raksasa yang seperti bekas pesta tebangan, lalu hanyut sebagai “hadiah musim hujan”. Itu bukan artefak alam. Itu adalah sisa rapat pemerintahan dan izin konsesi yang terlalu cepat diteken tanpa rasa bersalah.

Mari kita buka kenyataan dengan jujur: ketika pohon ditebang, sungai kehilangan ingatan. Ketika izin konsesi diberikan tanpa audit, hutan kehilangan masa depannya. Dan ketika negara membiarkan itu terjadi—rakyatlah yang kehilangan rumah, nyawa, dan masa depan.

Angka-angka Yang Tak Bisa Dibantah

Hingga 2 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 744 orang tewas, dan 551 orang hilang akibat bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Total korban luka dan pengungsi, serta jiwa terdampak, mencapai jutaan — infrastruktur rusak, rumah hilang, masyarakat tercerai-berai.

Kenyataan paling menyakitkan: banyak kayu hanyut bersama banjir — bukan serpihan alam, tapi kemungkinan besar batang hasil tebangan konsesi, legal ataupun ilegal. Pemerintah sekarang menyelidiki apakah kayu tersebut berasal dari pembalakan ilegal.

Sementara itu, wilayah-wilayah seperti Aceh Tamiang mencatat lonjakan deforestasi dramatis — dari angka tahunan di bawah 10.000 hektare, meningkat hampir tiga kali lipat dalam satu periode singkat sebelum 2025.

Angka-angka ini bukan hanya statistik — mereka adalah tubuh manusia yang mengambang, rumah yang hilang, dan kehidupan yang rusak.

Ironi Paling Kejam: Tatkala Alam Dipaksa Membayar Utang Kita

Hujan — curah ekstrem, badai, angin — sering dipajang sebagai kambing hitam utama tiap kali bencana melanda. Padahal hujan — dengan segala ketidakpastiannya — tidak akan pernah membunuh manusia dan satwa, jika ekosistem masih utuh.

Tapi di Aceh dan Sumatra, bentang alam sudah dibongkar seperti katalog ekspansi: hutan dibabat, lahan gambut dikeringkan, sungai “direstrukturisasi”, izin tambang dan perkebunan disebar bagaikan brosur investasi. Hasil? Sungai tak lagi menyimpan air — ia membuangnya. Tanah tak lagi menyerap hujan — ia melepaskan luncuran lumpur seperti peluru.

Jadi, ketika kita mendengar “curah hujan ekstrem” sebagai penyebab, kita sebenarnya mendengar dalih — dalih yang membungkus kesalahan manusia sebagai kesalahan alam.

Satwa & Alam: Korban Sunyi yang Menjerit tanpa Suara

Banjir dan longsor tidak hanya menelan rumah manusia — ia memutilasi hutan, membungkam satwa, dan memutus rantai kehidupan. Gajah, harimau, orangutan, primata kecil, burung endemik — semua kehilangan rumah, jalur migrasi, dan kadang nyawa.

Namun korban satwa sering tidak pernah masuk statistik resmi: terlalu sulit dijangkau, terlalu kecil suaranya dibanding tangisan manusia. Dan ketika ekor harimau tampak, ia dianggap hama, bukan korban kebijakan.

Dengan membiarkan deforestasi dan alih fungsi lahan tanpa konsekuensi tegas, kita bukan hanya mencatat kehilangan — kita merayakan keheningan ekologis lewat tinta birokrasi.

Panggung Kekuasaan: Siapa yang Memetik Untung, Siapa yang Dibiarkan Runtuh

Setiap izin konsesi, setiap tambang, setiap pabrik, setiap jalan perintis ke pedalaman membawa dua catatan: satu di buku neraca ekonomi, satu lagi di akun ekologi yang kelabu. Tapi di akun ekonomi — angka ekspor, devisa, investasi — terlihat gemerlap. Di akun ekologi — korban, rumah hanyut, satwa hilang — tersembunyi di balik statistik yang sulit diverifikasi.

Ketika banjir membawa tumpukan kayu sebagai “sisa ilegal logging”, media menayangkan foto pedih. Tapi berapa banyak yang melihat nama perusahaan di slip izin? Berapa banyak yang memeriksa dokumen PHPL, PHAT, atau izin konsesi?

Kini, pemerintah berjanji akan mencabut izin jika ditemukan pelanggaran.
Tapi janji hanyalah kata — dan kayu hanyut bukan lagi milik hutan, melainkan warisan utang ekologis bagi generasi mendatang.

Saatnya Presiden Baru Mengambil Risiko: Bukan untuk Perusahaan, Tetapi untuk Bangsa

Kepada Prabowo Subianto: Anda tak diwarisi hanya kursi, tetapi beban air mata, asap, dan lumpur. Anda tak diwarisi hanya janji politik, tetapi tanggung jawab pada jutaan jiwa yang kehilangan rumah, dan ribuan spesies yang kehilangan hutan.

Publik tak meminta angin surga , mereka hanya meminta satu hal : keadilan ekologis. Cabut izin konsesi yang terbukti merusak , jangan tunggu rusaknya infrastruktur dulu. Audit seluruh izin, termasuk tambang, sawit, dan konsesi lahan gambut , transparansi adalah obat terlambat terbaik. Restorasi lanskap upstream dan daerah rawan hidrologi, jangan sekadar tanam pohon, pulihkan fungsi hidrologi dan habitat. Libatkan masyarakat lokal , komunitas adat , mereka bukan “stakeholder”, mereka pemilik masa depan ekosistem. Data korban ekologis (satwa & habitat) harus dipublikasikan seperti data korban manusia — setiap nyawa makhluk hidup punya nilai.

Jika Prabowo memilih untuk membungkam kritik, maka publik akan menganggap ia tak berbeda dari pendahulu yang memberi “izin mengambil” atas nama pembangunan.
Tapi jika ia berani—berani mematahkan rantai konsesi, berani menghadapi kekuasaan lama, berani menolak logika kapitalisme SDA—maka ia akan dikenang bukan sebagai pemimpin rezim baru, tetapi sebagai pemimpin perubahan nyata.

Air Bah Ini Bukan Hanya Air, Ia Tulisan Gelap di Buku Sejarah Kita

Aceh menangis lumpur. Sumatra menghitam kayu. Satwa kehilangan rumah. Anak-anak menyimpan trauma pada setiap tetesan hujan. Kalau bencana ini tidak dijadikan titik balik—maka kita sedang menulis surat kematian bagi hutan, manusia, dan masa depan bersama. Tapi jika kita bangkit, menegakkan akal sehat, dan menuntut keadilan ekologis — maka mungkin masih ada harapan bagi negeri ini. Karena bangsa yang membiarkan hutannya mati, sesungguhnya sedang menggali kuburnya sendiri. Kalau bukan sekarang, kapan? Kalau bukan kita, siapa?

Surabaya, 4 Desember 2025

 

Tentang Penulis :

M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

 

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K