Bayang Kekuasaan yang Tak Kunjung Usai

Bayang Kekuasaan yang Tak Kunjung Usai
Sri Radjasa menjadi nasumber di Podcast Roemah Pemoeda

Penulis Opini: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Jakarta, Indonesiawatch.id – Di tengah perjalanan demokrasi Indonesia yang terus berliku, publik kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar. Mengapa jejak kekuasaan masa lalu masih begitu dominan membayangi arah negara hari ini?

Pertanyaan itu muncul bukan tanpa alasan. Transisi kepemimpinan nasional yang semestinya menjadi momentum koreksi, justru memperlihatkan betapa kuatnya residu politik dari penguasa sebelumnya masih mempengaruhi dinamika pemerintahan.

Indonesia sejak lama mengenal peringatan tajam Bung Karno bahwa “Perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Kalimat itu kini terasa relevan ketika kita menyaksikan sebagian elite politik justru memainkan peran tidak selaras dengan kepentingan publik.

Literatur politik klasik dari Plato sampai Hannah Arenda menggambarkan fenomena serupa sebagai infiltrasi oligarki ke dalam jantung negara, menjadikan struktur kekuasaan rentan terhadap manipulasi kelompok kecil yang memiliki akses dan sumber daya.

Kekhawatiran publik tentang “kuda troya” kekuasaan bukanlah tanpa dasar. Dalam dua dekade terakhir, berbagai lembaga survei menempatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik dan hukum pada titik yang fluktuatif.

Data LSI dan Indikator Politik Indonesia misalnya, berkali-kali mencatat ketegangan antara persepsi publik terhadap integritas institusi dan realitas perilaku elite yang sulit dipertanggungjawabkan. Fenomena ini menggambarkan adanya jurang representasi, bahwa negara berjalan, tetapi tidak selalu atas dasar kepentingan rakyat.

Anggota DPD RI asal Papua Barat, Lamek Dowansiba (Foto: sinpo.id)
Konsentrasi kekuasaan yang begitu kuat dalam satu figur selama satu dekade terakhir telah menciptakan ekosistem politik yang tidak mudah diputus. Narasi populisme yang efektif secara elektoral menempatkan sosok pemimpin sebagai pusat orbit politik, tetapi meninggalkan problem serius berupa ketergantungan institusi terhadap figur, bukan terhadap sistem. Inilah yang oleh ilmuwan politik Fareed Zakaria disebut sebagai illiberal democracy, di mana demokrasi prosedural tetap berjalan tetapi kualitas kebebasan dan akuntabilitas memburuk.

Kritik publik terhadap ekses kekuasaan masa lalu pun muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari perdebatan tentang transparansi kebijakan, independensi aparat penegak hukum, hingga kekhawatiran bahwa jejaring politik lama masih mengendalikan arah pemerintahan baru. Bukan sedikit akademisi yang menyebut bahwa Indonesia memasuki fase di mana politik bayangan sama berpengaruhnya dengan politik formal.

Di titik inilah tantangan terbesar pemerintahan baru muncul. Presiden Prabowo Subianto menghadapi ekspektasi publik yang sangat tinggi, bukan hanya memimpin negara, tetapi juga melepaskan diri dari orbit politik yang sebelumnya mendominasi. Literatur politik modern menyebut hal ini sebagai state decontamination, yakni proses pemulihan kewibawaan negara dari pengaruh kekuasaan masa lalu.

Namun publik melihat, sejauh ini, bayangan itu belum benar-benar sirna. Sebagian keputusan politik, gesekan antar-elite, serta dinamika internal aparat penegak hukum memunculkan kesan bahwa pengaruh kekuasaan lama masih bekerja, bahkan mampu membentuk opini, arah kebijakan, dan penegakan hukum. Ketika masyarakat melihat adanya tokoh politik yang tampak tak tersentuh oleh mekanisme hukum atau politik, kecurigaan pun menguat.

Pada akhirnya, rakyatlah yang memegang mandat tertinggi dalam negara demokratis. Konstitusi tidak pernah memberikan ruang bagi dominasi kekuasaan personal, apalagi bagi figur yang telah selesai masa jabatannya. Tugas negara hari ini adalah mengembalikan prinsip-prinsip dasar demokrasi: supremasi hukum, akuntabilitas publik, dan keberanian politik untuk menegakkan kebenaran tanpa tunduk pada tekanan kekuasaan mana pun.

Presiden Prabowo dituntut memainkan peran sebagai pemutus mata rantai, bukan penerus beban sejarah. Jika negara ingin pulih, maka penataan ulang lembaga, pembersihan residu politik yang menghambat, serta keberanian untuk menghadapi segala bentuk penyimpangan kekuasaan harus menjadi langkah prioritas. Mengabaikan tuntutan rakyat bukan hanya kesalahan politik, tetapi juga kegagalan moral.

Demokrasi Indonesia tidak boleh dibiarkan berjalan di bawah dua bayang komando. Pemerintahan baru harus berdiri di atas legitimasi rakyat, bukan di bawah pengaruh masa lalu. Dan negara hanya akan kuat ketika keberanian moral lebih besar dari ketakutan politik.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K