Saatnya Reformasi Intelijen (2) – Ketika Para Menteri Salah Membaca Sinyal Presiden

Saatnya Reformasi Intelijen (2) – Ketika Para Menteri Salah Membaca Sinyal Presiden
Dari kiri ke kanan: Rocky Gerung, Sri Radjasa Chandra, dan Afif Yufril

JAKARTA – Di tengah dinamika pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto, wacana mengenai kualitas intelijen dan kemampuan negara membaca situasi strategis kembali mengemuka. Banyak pihak menilai ada jarak intelektual yang semakin menganga antara Presiden dan kabinetnya, yang turut berdampak pada buruknya penyerapan gagasan, salah tafsir kebijakan, hingga pembusukan informasi di tingkat birokrasi.

Pengamat politik Rocky Gerung dan pemerhati intelijen Sri Radjasa memotret situasi ini sebagai sinyal bahaya bagi tata kelola negara. Mereka mengurai bagaimana distorsi informasi, rendahnya kecakapan teknis, hingga munculnya “intel pencari rente” menciptakan kerentanan dalam struktur politik dan keamanan nasional.

Ketika Gagasan Presiden Salah Dipahami

Rocky Gerung menyebut problem pertama terletak pada penyimpangan tafsir atas arahan presiden oleh para pembantunya sendiri.

“Presiden punya ide tentang masyarakat sipil, tapi diterjemahkan dengan cara yang salah. Presiden punya ide makan siang bergizi, diterjemahkan sebagai peluang ambil untung,” ujar Rocky.

Ia menilai para pembantu presiden tidak mampu menangkap “gestur politik” dari kepala negara. Dalam sistem demokrasi yang memerlukan kecepatan dan ketepatan analisis, komunikasi politik Presiden Prabowo disebut tidak mendapat medium penerjemah yang cakap.

Rocky mencontohkan model komunikasi Presiden Prancis, François Mitterrand. Sang presiden rutin menggelar pertemuan mingguan dengan oposisi, jurnalis kritis, hingga akademisi untuk menjaga agar dirinya tetap terinformasi dari sumber-sumber independen.

“Di Prancis, rahasia negara hampir tidak ada. Karena presiden perlu informasi mentah yang tidak dikemas oleh birokrat,” katanya.

Sistem seperti itu, menurut Rocky, membuat presiden mendapatkan nuansa persoalan sebelum mendengar laporan resmi lembaga intelijen.

Dualisme Loyalitas dalam Kabinet

Kesulitan lain yang dihadapi Presiden Prabowo, menurut Rocky, adalah komposisi kabinet yang sebagian anggotanya masih menunjukkan loyalitas ganda.

Beberapa menteri disebut tetap melapor kepada Presiden sebelumnya, Joko Widodo, dan bukan hanya kepada Presiden Prabowo. Kondisi ini menciptakan ketegangan laten dalam penentuan arah kebijakan.

“Presiden tidak mungkin bicara terbuka soal isu serius, karena dia tahu di depan ada menteri yang tidak loyal pada dia,” ujar Rocky.

Fakta ini membuat presiden cenderung berhati-hati, bahkan menyimpan sebagian analisis strategisnya dari forum resmi. Rocky menggambarkan situasi itu sebagai “jarak intelektual” yang melebar antara presiden dan kabinetnya.
Intelijen yang Tak Lagi Bekerja dalam Senyap

Kritik lain yang mencuat adalah lemahnya profesionalisme intelijen. Sri Radjasa menyebut telah lama terjadi pergeseran fungsi intelijen dari institusi pengolah informasi menjadi lembaga dengan kultur pamer kekuasaan, bahkan tempat mencari rente.

“Banyak intel yang hanya menunjukkan bahwa dia ada di event tertentu untuk mendapatkan akses rente,” ujar Sri. “Intel pencari rente. Rent-seeker intelligence.”

Rocky menambahkan, gaya kerja intelijen kini semakin jauh dari prinsip dasar: bekerja dalam senyap. Banyak agen yang justru tampil demonstratif, menciptakan ketakutan di publik sekaligus membuka peluang kebocoran informasi.

Ia memberikan anekdot yang memperlihatkan bagaimana intel kini kehilangan kualitas analitis. Dalam beberapa kasus, laporan intelijen tidak sampai ke pimpinan lembaga karena ada kepentingan pesanan. Bahkan ia menyebut fenomena “intel catering”—agen intel yang bekerja berdasarkan pesanan pihak tertentu.

“Kalau dulu, intel bekerja berdasarkan undang-undang subversi, memantau diskusi, bahkan mengeksekusi. Sekarang justru ada yang diam terlalu lama dan tidak bekerja,” kata Rocky.

Trauma Publik dan Ketidakpercayaan

Trauma publik terhadap kegiatan intelijen juga masih lekat, terutama di daerah-daerah yang pernah mengalami konflik, seperti Aceh. Sri Radjasa menyinggung peristiwa ketika warga menolak memakai komputer bantuan karena mengira ada “intel inside” di dalamnya.

“Saking traumanya, komputer pun tidak dipakai. Mereka bilang ada intel di dalamnya,” kenangnya.

Trauma ini menunjukkan betapa luasnya jarak antara intelijen sebagai alat negara dengan masyarakat yang seharusnya dilindungi.

Kasus Sunarko dan Indikasi Kriminalisasi Politik

Sri Radjasa juga menjelaskan salah satu kasus yang menggambarkan bagaimana persoalan intelijen, politik, dan interpretasi informasi saling tumpang tindih: kasus penangkapan Mayjen (Purn) Sunarko pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Ia mengungkapkan bahwa senjata yang disita dalam kasus tersebut adalah senjata bekas serahan GAM yang tidak berfungsi, dan keberadaan Sunarko dalam kasus itu tidak relevan. Namun isu berkembang sehingga berujung pada kriminalisasi.

“Saya sudah jelaskan kepada Menkopolhukam, KSP, dan Kapolri. Tapi justru saya dianggap mengada-ada,” kata Sri.

Menurutnya, peristiwa itu memperlihatkan betapa rapuhnya mekanisme verifikasi informasi di tubuh intelijen. Kasus tersebut kemudian berlarut-larut sebelum akhirnya ditolak kejaksaan.

“Begitu elemen politik masuk, interpretasi bisa tak masuk akal,” tambah Rocky.

Sekolah Intelijen dan Bahaya Salah Arah Pembinaan SDM

Keduanya juga menyoroti keberadaan sekolah intelijen seperti STIN yang dinilai belum memiliki arah jelas. Alih-alih menjadi pusat pengembangan kapasitas, sekolah itu justru didominasi anak pejabat dan digunakan untuk mengejar predikat semata.

“Setelah lulus, malah ada tim bersenjata yang dikirim ke Papua. Tidak boleh seperti itu. Intelijen bukan untuk operasi senjata,” ujar Sri.

Menurutnya, situasi ini berbahaya karena menciptakan kultur intelijen yang arogan, tidak matang secara analitis, dan cenderung mempertontonkan kekuasaan.

Intelijen untuk Keamanan Nasional, Bukan Karier Pribadi

Inti persoalan, menurut Rocky dan Sri, adalah gagalnya desain kelembagaan. Mereka sepakat bahwa intelijen tidak boleh menjadi tempat promosi jabatan, pencarian pangkat, atau arena pesugihan.

“Intelijen itu kapasitas pikiran. Bukan karier struktural,” tegas Rocky.

Sri menambahkan bahwa idealnya ada corps intelijen seperti di beberapa negara maju, sehingga personel intel tidak bisa berpindah ke jabatan-jabatan lain.

“Mereka harus hidup dalam kultur intelijen, bukan mengejar jabatan,” katanya.
Urgensi Reformasi dalam Ketegangan Geopolitik Global

Rocky mengingatkan bahwa rendahnya kualitas intelijen menjadi ancaman serius di tengah konstelasi global yang memanas. Ketidakstabilan Eropa, ketegangan ekonomi dunia, hingga perpindahan kelompok-kelompok ekstremis ke Asia Tenggara membutuhkan respons cepat dan tajam.

“Intelijen kita harus bermain di level global. Jangan hanya sibuk memantau harga bawang,” ujarnya.

Menurutnya, tanpa reformasi besar-besaran, presiden akan terus mengalami defisit informasi, sehingga harus menangani sendiri tugas-tugas strategis yang seharusnya ditangani lembaga resmi.

Kesimpulannya: kualitas intelijen Indonesia dipandang perlu direstrukturisasi total. Profesionalisme, kapasitas analitis, integritas personalia, dan jarak dari kepentingan politik adalah syarat mutlak agar intel dapat berfungsi sebagai ujung tombak keamanan nasional.

Reformasi intelijen, menurut para narasumber, tidak lagi bersifat pilihan—melainkan keharusan demi memastikan negara tidak terus bergerak dengan mata tertutup.

EDITOR: REYNA

BACA JUGA:

Saatnya Reformasi Intelijen (1) – Intelijen Berjalan Tidak Sesuai Fungsinya

Last Day Views: 26,55 K