JAKARTA – Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Utara Rianda Purba menegaskan bahwa banjir bandang di Sumatra Utara (Sumut) tidak semata-mata dipicu cuaca ekstrem. Menurutnya, kerusakan hutan dan alih fungsi kawasan di ekosistem Batang Toru menjadi faktor utama yang memperparah bencana.
“Pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem. Pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan, baik dari sisi hukum maupun fakta,” kata Rianda dalam konferensi pers, Senin (1/12).
Ia menyebut, dalam 10 tahun terakhir lebih dari 2.000 hektare hutan di kawasan Batang Toru rusak akibat berbagai investasi dan perubahan peruntukan kawasan hutan.
Rianda menyoroti perubahan status kawasan melalui SK 579/2014 yang mengubah sebagian ekosistem Batang Toru menjadi APL (Areal Penggunaan Lain). Perubahan itu, menurutnya, membuka jalan bagi investasi seperti PLTA NSHE Batang Toru, perluasan tambang emas Martabe, hingga konsesi TPL dan perkebunan sawit.
“Pemerintah seenaknya saja mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan,” ujarnya.
WALHI menyebut kawasan paling kritis berada di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, serta Kabupaten Tapanuli Selatan, terutama Kecamatan Batang Toru. Aktivitas PLTA dan tambang emas disebut merusak badan sungai serta memutus koridor satwa liar, termasuk orangutan Tapanuli dan harimau Sumatra.
“Pertambangan emas itu tepat berada di sebelah Sungai Batang Toru. Di sisi lain ada Sungai Garoga. Dua sungai itu hulunya berasal dari wilayah-wilayah yang sudah rusak. Kerusakan itu bukan alami, tapi dirusak oleh aktivitas tambang dan pembangunan PLTA,” kata Rianda.
Ia juga menyoroti kerusakan tutupan hutan di Kecamatan Sipirok akibat alih fungsi hutan menjadi kebun eucalyptus melalui skema kemitraan antara masyarakat dan perusahaan. Menurutnya, status kawasan yang diubah menjadi APL membuat hutan alami semakin rentan dibuka.
Selain kerusakan di Tapanuli, WALHI turut mencatat dampak parah di wilayah pesisir Langkat. Desa Kuala Serapuh dan sejumlah permukiman di Besitang dilaporkan tenggelam tanpa bantuan memadai selama beberapa hari.
“Di Langkat ada desa yang lima hari tanpa pasokan makanan. Mereka bahkan belum terdata sebagai korban terdampak,” kata Rianda.
Ia menjelaskan, hulu DAS di wilayah pesisir Langkat berasal dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang juga mengalami pembukaan lahan untuk kebun sawit selama satu dekade terakhir.
Rianda menambahkan, pada 26–27 November komunikasi dengan jejaring WALHI di Sibolga, Tapanuli Tengah hingga Tapanuli Selatan sempat terputus akibat listrik dan jaringan telekomunikasi padam.
“Teman-teman baru bisa dihubungi tanggal 28 setelah memperoleh sinyal dari Starlink yang disediakan pemerintah kabupaten,” ujarnya. (H-4)
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ketegangan Internal Warnai Rencana Munaslub MES

PT. Platinum Cemerlang Indonesia Manipulasi Limbah B3 dan WNA Sebagai Tenaga Kerja, APH Setempat dan Polda Jatim Harus Bertindak Tegas

Istana Yang Kehilangan Pendengaran Negara

DPR Sentil Pemerintah: “Bantuan Triliunan Jangan Kalah Viral dari Donasi Swasta”

Jakarta Terbakar: Tragedi Ledakan dan Kebakaran di Gedung Kantor Kemayoran, 22 Meninggal

Debat Panas Soal “Scan Ijazah Asli”: Pengacara RRT Soroti Dugaan Pembohongan Publik dan Disparitas Penegakan Hukum

Untuk Memperkuat Ketahanan Ekonomi Masyarakat, Baznas Sumenep Bantu Modal Usaha UMKM Masalembu

Forensik Digital, Transparansi Publik, dan Ujian Integritas Ilmu

Pemburu Diburu Buruan

Banjir Besar: Alarm Krisis Tata Kelola Nasional



No Responses