PERJANJIAN MADINAH DAN ISU TOLERANSI

Oleh : Agus Mualif Rohadi, penulis buku Himda (Muhammad) Dalam Konflik Agama dan Bangsa

Banyak yang keliru menerjemahkan perjanjian Madinah, karena tidak membaca perjanjian Madinah.

Peristiwa Perjanjian Madinah merupakan rangkaian peristiwa, yaitu :

1. Sebelum ada perjanjian Madinah, ada pertemuan pendahuluan antara Nabi Mubammad dengan suku suku Yatsrib yang diwakili oleh 2 suku terbesar yang saling bermusuhan yaitu aws dan kahzraj.
Pertemuan itu membicarakan pentingnya pihak ke 3 (dipilih Muhammad), untuk mengatasi perselisihan antar suku di Yatsrib yang diperparah adu domba oleh suku yahudi (antara lain qainuqa’, nadlir dan quraidah). Pertemuan tersebut dinamakan Perjanjian Aqabah (2 kali).
Pertemuan itu mendahului peristiwa hijrah. Oleh karena itu dapat dipahami sebagai pertemuan dua pihak yang mempunyai kepentingan.

Ada dua kepentingan dua pihak yang saling membutuhkan, yaitu :
Nabi Muhammad yang memerlukan tempat baru untuk memperkuat kaum muslim yang di Mekkah sedang mengalami tekanan kuat dari qurays Mekkah. Tempat yang diperlukan adalah yang masyarakatnya dapat mendukung dakwah Islam (dalam hal ini diperoleh dari suku suku kota Yatsrib).

Dipihak lain, suku suku Yatsrib memerlukan pihak lain yang mempunyai kekuatan mencukupi (Nabi Muhammad dan kaum muslim Mekkah, yang saat itu berkekuatan sekitar 300 orang, cukup memadai untuk kota kecil yatsrib), sebagai penengah konflik antar suku yang telah berlangsung lama di Yatsrib, yang konflik tersebut berpotensi menghancurkan kota Yatsrib.
Jadi ada dua kepentingan yang bertemu.

2. Pernanjian Madinah adalah Perjanjian antara DUA KAUM YANG DIIKUTI OLEH KAUM LAINNYA.
Dua kaum tersebu adalah Kaum Muhajirin (muslim Mekkah yang dipimpin Nabi) dan Kaum Anshor (suku suku Madinah yakni aws, khahzraj, dll).
Sedang kaum yang lain adalah kaum yang tidak ikut serta dalam perjanjian aqabah yaitu beberapa suku yahudi yatsrib dan beberapa suku baduwi padang pasir sekitar yatsrib (termasuk di dalamnya kaum Kristen).

Dalam perjanjian Madinah, kaum yang lain ini ditempatkan dalam pasal yang berbeda yaitu pasal ” mereka yang mengikuti dengan diberi hak dan kewajiban”.
Dari fakta kekuatan Muhajirin dan Ansor, maka telah meliputi sebagian terbesar masyarakat Yatsrib, sehingga kaum lain yang mengikuti perjanjian adalah kaum yang ” memerlukan perlindungan (dzimmi)” yang dalam perjanjian diberi hak dan kewajiban).

3. Oleh karena itu, secara efektif, Perjanjian Madinah menghentikan konflik antar suku di Yatzrib, dengan pimpinan kota disepakati adalah Nabi Muhammad. Dan sejak itu nama Yatsrib kemudian berubah menjadi Madinnatun Nabi (Kota Nabi)

4. Ada pihak yang tidak terpuaskan oleh perjanjian tersebut, yaitu beberapa kepala suku, namun karena tidak mempunyai dukungan cukup bahkan dari sukunya sendiri, kemudian masuk Islam namun selalu menentang kebijakan Nabi. Mereka kemudian membentuk kekuatan sendiri yang kemudian disebut kaum munafiq Madinah.

5. Dalam beberapa peperangan yang terjadi akibat serbuan kaum qurais Mekkah, terbukti kemudian kaum munafiq Madinah dan beberapa suku yahudi tidak membantu dalam peperangan sebagaimana kewajiban yang telah dituangkan dalam Perjanjian Madinah. Bahkan menantang perang setelah menganggap kaum muslim dalam keadaan lemah akibat peperangan dengan kaum qurays Mekkah. Jadi kaum munafiq dan kaum yang dilindungi ini telah berkhianat (karena sejak awal memang sebenarnya tidak ingin ikut dalam perjanjian, dan terbukti berkhianat). Dalam perang Uhud, suku yahudi bahkan secara terang terangan melakukan perjanjian dengan kaum qurays.

5. Akibat pengkhianatan tersebut, tiga suku yahudi dihukum yaitu a) ada yang diusir dari kota Madinah. b) ada satu suku yahudi yang para lelakinya harus dihukum mati sehingga mengakibatkan kepunahan suku. Hukuman tersebut dijatuhkan justru setelah ada penawaran dari Nabi Muhammad kepada suku yahudi tersebut apakah bersedia dihakimi sendiri oleh orang dari kaum yahudi sendiri. Kaum yahudi setuju penawaran Nabi Muhammad.

Jadi hukuman mati bukan ditetapkan oleh Nabi Muhammad, tetapi ditetapkan oleh seorang yahudi muslim yang terluka parah dalam perang khandaq.
Hukuman mati ditetapkan dengan merujuk “hukum perang Musa” yang diamini oleh Nabi Muhammad.
Adat yang berlaku saat itu di suku suku di jazeerah arabiya, wasiat seorang yang diperkirakan akan meninggal harus dilaksanakan. Oleh karena itu hukuman mati tersebut kemudian dilaksanakan.

Ada beberapa lelaki yahudi yang menjadi teman orang muslim, dan orang muslim tersebut memintakan ampunan kepada Nabi, dan Nabi mengampuninya. Namun lelaki yahudi tersebut tetap memilih menjalani hukuman mati karena ketaatan pada agamanya dan ketaatannya dalam menjalankan hukum musa.

Para wanita dan anak anak yahudi yang lelakinya dihukum mati mendapatkan peindungan tapi mereka memilih pindah kota yang banyak dihuni oleh kaum yahudi, dan diantar oleh kaum muslim untuk pindah kota.

6. Banyak yang mentafsirkan Perjanjian Madinah sebagai bentuk penerapan toleransi kaum muslim dalam masyarakat majemuk dimana kaum muslim pada posisi mayoritas. Bentuk masyarakat tersebut kemudian disebut masyarakat madani dengan berbagai definisi.

Namun saat ini, definisi definisi itu hanya disorongkan kepada kaum muslim dengan tekanan agar kaum muslim tidak bersikap keras atau bahkan dinggap radikal, tidak toleran terhadap kaum lainnya.

7. Memahami Perjanjian Madinah harus dilandasi kejujuran agar dapat melihat secara benar. Dan yang lebih penting adalah jangan ada yang menafsirkan perjanjian Madinah untuk menghakimi perbedaan pendapat atas situasi politik temporal dengan menyudutkan sikap politik kaum muslim tertentu dengan tuduhan radikalisme, intolerans, dan lain lain.
Kalau ada yang menafsir seperti itu pasti tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan tidak akan berhasil karena tafsirnya adalah tafsir politik temporal.

Related Posts