OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
KESEPAKATAN damai untuk mengakhiri perang antara Amerika melawan Taliban yang berlangsung selama 18 tahun, akhirnya ditandatangani di Doha, Qatar, Sabtu (29/2/2020) malam WIB.
Saat penandatangan pihak Amerika diwakili oleh Zalmay Khalizad, sedangkan pihak Taliban diwakili oleh Mullah Abdul Ghani Bandar.
Zalmay dikenal sebagai utusan khusus Amerika untuk Afghanistan, sementara Mullah Bandar dikenal sebagai Kepala Urusan Politik Taliban. Ikut hadir saat penandatanganan Menlu Amerika Mike Pompeo.
Walau tidak nampak dipermukaan, Pemerintah Qatar ikut mengatur dan berperan besar sehingga peristiwa bersejarah ini bisa terjadi. Qatar merupakan satu-satunya negara yang memiliki peran aktif sebagai juru damai, dimulai dengan memfasilitasi kantor perwakilan Taliban di Doha.
Lebih dari itu, tentu seluruh biaya operasionalnya, termasuk kunjungan delegasi Taliban ke berbagai negara untuk mendapatkan dukungan.
Delegasi Taliban berkali-kali mengunjungi Indonesia untuk belajar dari pengalaman Indonesia memgelola negara yang multi etnis dan agama. Delegasi Taliban juga berkali-kali mengunjungi Moscow, dan sejumlah negara Eropa untuk mendapatkan dukungan, selain ke Washington DC untuk berunding.
Karena itu, Qatar layak mendapatkan hadiah Nobel, apalagi inisiatifnya terus-menerus mendapatkan gangguan tidak langsung dari tetangga-tetangganya dan sejumlah negara Arab otoritarian.
Perundingan damai yang ditandatangani kemarin malam ini bukan saja mahal, juga sangat melelahkan. Berlangsung selama bertahun-tahun, dan berkali-kali sudah hampir disepakati, mendadak gagal karena sikap keras dan ulet dari
Taliban. Menurut saya, salah satu faktor yang menyebabkan perjanjian damai ini terwujud, karena Amerika sudah tidak punya pilihan lain selain meninggalkan Afghanistan yang terus menguras kas Washington, ditambah korban tentara Amerika yang terus bertambah.
Pada saat bersamaan petahana Donald Trump akan ditentukan nasibnya melalui pemilu yang akan berlangsung tahun ini. Sudah bisa dipastikan, di depan rakyatnya ia akan mengklaim perjanjian damai yang dilakukan pemerintahnya dengan Taliban, sebagai sebuah prestasi yang tidak bisa dilakukan presiden-presiden Amerika sebelumnya.
Trump juga tentu berharap kepulangan ribuan tentara Amerika yang sangat ditunggu keluarga, sahabat, dan para kerabatnya akan menambah simpati rakyat yang berimplikasi pada bilik suara saat pencoblosan Pilpres nanti. Semua ini tentu menjadi bagian dari sandiwara politik domestik Amerika, yang sering dimainkan secara berlebihan di era Donald Trump.
Bagi masyarakat internasional, ditarik pulangnya tentara Amerika dari Afghanistan dipandang sebagai deklarasi kekalahan. Apalagi pemerintahan di Kabul yang selama ini didukungnya bukan hanya tidak dilibatkan dalam perundingan, bahkan berbagai keberatannyapun diabaikan oleh Amerika. Sampai-sampai Pemerintahan yang kini dipimpin oleh Ashraf Ghani di Kabul, harus mengirim delegasi berjumlah enam orang ke Doha, secara tergopoh-gopoh untuk menemui perwakilan Taliban, sekadar untuk mengetahui isi perjanjian yang akan ditandatangani dua belah pihak.
Setelah mengalahkan dan mengusir Amerika dari tanah airnya, kini saatnya Taliban menyelesaikan dengan bijaksana berbagai masalah politik dalam negri, khususnya terhadap pemerintahan yang ada yang sering disebutnya sebagai pemerintahan boneka buatan Amerika. Jika Taliban mengalahkan Amerika dengan senjata, kini saatnya Taliban menyelesaikan masalah dalam negrinya dengan diplomasi.
Kebesaran jiwa diperlukan untuk memaafkan saudara sendiri. Tidak mudah memang, apalagi selama ini Taliban terbiasa menyelesaikan masalah dengan senjata. Akan tetapi di sinilah letak ujian beratnya.
Kita dan masyarakat international pada umumnya, tentu berharap kepergian Amerika meninggalkan Afghanistan, akan membuat negri ini menjadi damai. Apalagi jika mempertimbangkan penderitaan rakyat sudah dijalaninya selama puluhan tahun, berupa kematian, rasa takut, kelaparan, dan tiadanya rasa aman.
Kini saatnya bangsa Afghanistan hidup normal sebagaimana bangsa lain pada umumnya, membangun negri dan menata ekonomi serta meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakatnya.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi
Artikel ini telah tayang di Rmol.id dengan judul “Perdamaian Antara Amerika Dan Taliban, Sebuah Kekalahan Amerika”.
Tags:Related Posts
Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
Penggunaan kembali (kemasan) dapat mengurangi emisi hingga 80%, kata pengusaha berkelanjutan Finlandia di Forum Zero Waste
Bongkar Markup Whoosh – Emangnya JW dan LBP Sehebat Apa Kalian
ไม้เทียมNovember 28, 2024 at 5:53 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/nasional/muhamad-najib-perdamaian-antara-amerika-dan-taliban-sebuah-kekalahan-amerika/ […]
MLMJanuary 15, 2025 at 7:58 pm
… [Trackback]
[…] Here you can find 66322 additional Info on that Topic: zonasatunews.com/nasional/muhamad-najib-perdamaian-antara-amerika-dan-taliban-sebuah-kekalahan-amerika/ […]