ZONASATUNEWS.COM, JAKARTA,– Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Perpres No.75 Tahun 2019 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Senin (8/3/2020) lalu mengharuskan revisi Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sebab, BPJS sebagai lembaga pengelola keuangan kesehatan telah gagal.
“Kalau defisit anggaran BPJS saat mencapai Rp 32 triliun pada 2019 ini dan tak ada solusi untuk menutupi defisit itu, maka yang akan merugi dan terganggu adalah pelayalanan kesehatan masyarakat sendiri. Jadi, inilah yang harus dipikirkan bersama,” tegas anggota Komisi IX DPR RI dari FPDI-P Rahmad Handoyo.
Hal itu disampaikan dalam dialektika demokrasi “Progres BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA?” bersama anggota Komisi IX DPR RI FPAN Saleh Partaonan Daulay, dan Ketua KORNAS MP BPJS Hery Susanto di Kompleks DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Karena itu kata Rahmad, penting pemerintah dan DPR merevisi UU BPJS tersebut agar pelayanan kesehatan masyarakat tidak terganggu. Selain menejemen dan sistem pengelolaan keuangan oleh BPJS, dugaan permainan rumah sakit dan dokter yang memudahkan klaim, obat-obatan, dan sebagainya.
Sementara itu Ketua KORNAS MP BPJS, Hery Susanto menilai selama ini Rumah Sakit (RS) dalam melayani pasien BPJS tampak tidak ikhlas, mungkin karena tarifnya murah. Tapi, kalau itu perintah UU, maka RS, dokter maupun perawat yang memberikan pelayanan menyalahi aturan, harus ada sanksi hukum yang tegas. Jangan hanya bersifat sanksi administratif tapi juga pidananya. “Kan banyak dugaan permainan angka-angka dalam klaim pasien yang fiktif,” ungkapnya.
Hery Susanto, menyebut defisit hingga puluhan triliun rupiah yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, bukan disebabkan oleh kurangnya premi yang dibayarkan peserta, tetapi karena kesalahan sistem.
“Jadi sebelum iuran naik, BPJS Kesehatan sudah defisit. Walaupun naik 100 persen defisit enggak akan hilang. Apa penyebabnya? Kalau saya melihat bukan di premi tetapi lebih kepada sistem, grand design daripada BPJS itu yang sudah salah urus dan salah sistem,” kata Hery.
Apa yang salah? Menurut Hery, salah satu persoalannya ialah belum ikhlasnya pihak rumah sakit (RS) dengan pola INA-CBG (Indonesia Case Base Groups), sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk pengajuan klaim pada pemerintah.
Hal itu karena penerapan pola paket pembayaran BPJS Kesehatan dengan model kelompok diagnosis yang dianggap terlalu murah. Hal ini menyebabkan banyaknya permainan di lapangan seperti klaim fiktif.
“KPK sudah merilis ada satu juta klaim fiktif dan sampai sekarang belum bisa dihentikan karena masih berlangsung, dan penyebabnya adalah tidak adanya sanksi hukum yang tegas masih sifatnya administratif,” jelas Hery.
Hery menegaskan tidak ada manfaatnya menaikkan premi. Buktinya, setelah naik 100 persen, kemudian pemerintah sudah membayar 3 bulan sebelum akhir tahun 2019 dengan nominal Rp15 triliun tetapi defisit tetap besar.
Saleh Daulay mendukung revisi UU BPJS tersebut. “Apakah semua jenis penyakit tersebut harus ditanggung oleh negara? Revisi ini suatu keharusan karena untuk kepentingan dan perbaikan pelayanan kesehatan nasional sesuai standar pelayanan. Termasuk tenaga medis, alat-alat kesehatan, obatan-obatan dan sebagainya, atau pengelolaannya dikembaliklan ke Jamsostek?” tambahnya.
Lebih lanjut Saleh mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera menyerahkan salinan putusan yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan.
Desakan bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan yang dibatalkan MA telah resmi berlaku.
“Kita berharap secara proaktif ya, MA harus menyerahkan putusan itu segera ke pemerintah, dalam hal ini presiden dan kementerian/lembaga terkait Kemenkes, Kemensos, dan BPJS Kesehatan,” ujar Saleh Daulay.
“Karena kalau misalkan nggak dilaksanakan segera, takutnya nanti orang ngertinya bahwa ini sudah enggak ada kenaikan,” sambungnya.
Politisi PAN ini menjelaskan, pada bulan April, Mei, Juni dan seterusnya iuran BPJS Kesehatan itu tidak ada kenaikan seperti berlaku sejak 1 Januari 2020 lalu. Sebab, sudah ada putusan dari MA yang membatalkan kenaikan iuran per 1 Januari tersebut.
“Nanti tiba-tiba bayarannya tetap aja. Nanti kan orang akan minta balik tuh? Kalau disuruh minta bayaran balik kan, akan lebih repot lagi? Dibandingkan kalau diselesaikan sekarang,” kata Saleh Daulay.
Lebih lanjut, Saleh mengatakan bahwa iuran dari masyarakat yang sudah membayar per Januari 2020 sebagaimana tarif sebelumnya dipastikan tidak ada refund (pengembalian). Sebab, putusan MA tersebut tidak berlaku surut. “Saya kira masyarakat silahkan menunggu saja ya mudah-mudahan ini diproses lebih cepat,” pungkasnya.
Editor : Setyanegara
Related Posts
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
Penggunaan kembali (kemasan) dapat mengurangi emisi hingga 80%, kata pengusaha berkelanjutan Finlandia di Forum Zero Waste
Bongkar Markup Whoosh – Emangnya JW dan LBP Sehebat Apa Kalian
Kinerja Satu Tahun Presiden Prabowo dalam Perspektif Konstitusi
เครื่องซีลถุงJanuary 12, 2025 at 6:13 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/nasional/pasca-ma-batalkan-kenaikan-iuran-uu-bpjs-harus-direvisi/ […]
รถโฟล์คลิฟท์January 12, 2025 at 6:21 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/nasional/pasca-ma-batalkan-kenaikan-iuran-uu-bpjs-harus-direvisi/ […]
คู่มือเล่นสล็อต Lsm99January 12, 2025 at 7:01 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/nasional/pasca-ma-batalkan-kenaikan-iuran-uu-bpjs-harus-direvisi/ […]