Oleh : Dr. Machsus Fawzy MT., Dosen Transportasi Fakultas Vokasi ITS Surabaya
Kebijakan mudik lebaran di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) menimbulkan polemik. Semula, pemerintah telah mengampanyekan rencana kebijakan “tidak mudik – tidak piknik lebaran 2020” sebagai antisipasi penyebaran Covid 19. Rencana larangan mudik ini sempat simpang siur sebelum akhirnya pemerintah memutuskan tidak melarang mudik lebaran 2020, meski di tengah merebaknya wabah virus corona.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) sekaligus Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan, telah menegaskan tak ada larangan mudik di Lebaran 2020 dengan tujuan agar roda ekonomi, terutama di daerah, bisa tetap berjalan kondusif.
Meskipun demikian, tampaknya pro dan kontra terhadap kebijakan mudik lebaran di masa pandemi Covid 19 ini tak terhindarkan. Secara umum, pandangan yang pro terhadap kebijakan mudik lebaran didasarkan pada alasan ekonomi. Mereka ingin agar aktivitas perekonomian masyarakat tetap berjalan. Sementara, pandangan yang kontra terhadap diizinkannya mudik lebaran didasarkan pada alasan kesehatan. Mereka melihat potensi penularan virus corona selama mudik lebaran sangat dahsyat.
Lantas bagaimana kita memahami dan menyikapi polemik kebijakan mudik lebaran di masa pandemi corona ini dari perspektif transportasi? Pertama, jangan larut berkepanjangan dalam polemik kebijakan mudik. Kritik terhadap suatu kebijakan itu memang penting dan perlu senantiasa disuarakan. Apalagi proses lahirnya keputusan itu terkesan inkonsisten alias mencla-mencle.
Namun, ketika pemerintah tetap bersikukuh pada keputusannya yang tetap mengizinkan mudik di masa pandemi corona ini, maka kita tak perlu larut dalam polemik berkepanjangan. Selanjutnya, marilah kita mulai lebih fokus untuk memikirkan upaya meminimalisir dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Terutama penyebaran virus corona akibat mobilitas orang di saat mudik lebaran.
Kedua, tingginya mobilitas penduduk di saat mudik. Tradisi mudik melibatkan mobilitas orang (social mobility) dalam jumlah yang sangat banyak. Berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah pemudik biasanya sekitar 20 juta orang yang melakukan pergerakan ke seluruh wilayah Indonesia. Angka tersebut tentu sangat fantastis untuk ukuran volume pergerakan lalu lintas yang menggunakan berbagai moda transportasi, baik angkutan pribadi maupun angkutan umum.
Oleh karena itu, sangat wajar jika menghadapi momentum mudik dalam kondisi normal saja, pemerintah harus melakukan berbagai persiapan. Meski telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, namun selalu saja muncul aneka problem selama masa mudik lebaran karena jumlah pergerakan manusia yang dikendalikan sekitar 20 juta orang.
Jika mudik dalam kondisi normal saja tak mudah dikendalikan. Kita bisa bayangkan bagaimana mengendalikan pergerakan pemudik dalam jumlah yang sangat besar di masa pandemi covid 19. Katakanlah dengan kampanye dan himbauan yang masif, serta pemberian insentif bagi penduduk yang tidak mudik, lalu terjadi penurunan jumlah pemudik, misalnya hingga 50 persen.
Inipun berarti masih ada sekitar 10 juta orang yang melakukan perjalanan mudik ke seluruh wilayah Indonesia. Mengendalikan pergerakan 10 juta orang pemudik tentu juga tidak mudah. Apalagi di masa pandemi corona yang harus mengikuti serangkaian protokol kesehatan Covid 19.
Mudik Boleh Asal Tak Bawa Virus Corona, Realistis?
Ketiga, tak ada jaminan pemudik terbebas dari Covid 19. Penyataan “Mudik Boleh Asal Tak Bawa Virus Corona” tampaknya tidak realistis. Mengingat 10 juta atau 20 juta orang pemudik merupakan jumlah yang sangat banyak. Tentu tak ada jaminan mereka terbebas dari Covid 19. Apalagi dikabarkan beberapa kasus pasien positif Covid-19 tanpa gejala klinis atau asimtomatik. Mereka biasanya tak punya keluhan klinis seperti demam, batuk kering, apalagi sesak napas. Namun mampu menularkan virus corona kepada orang lain yang sehat.
Sekalipun saat mudik nanti diterapkan protokol kesehatan pada simpul-simpul transportasi tetap saja pemudik berpotensi menjadi pembawa virus (carrier) dari kota-kota besar ke kampung-kampung dan lingkungan sekitarnya.
Namun demikian, protokol kesehatan wajib diberlakukan pada simpul-simpul transportasi seperti bandar udara, pelabuhan laut, pelabuhan penyeberangan, stasiun, terminal penumpang, halte bus, dan rest area di jalan tol. Hal ini penting karena pada simpul transportasi tersebut menjadi salah satu tempat berkerumunnya pemudik untuk meneruskan aktivitas perjalanan mudik ke kampung halaman.
Jika kita hanya mendiskusikan satu atau dua orang pemudik yang terinfeksi dan atau menjadi pembawa virus (carrier) ke kampung halaman, barangkali tidak akan berdampak luas. Namun jika pemudik yang menjadi pembawa virus itu jumlahnya sangat besar, maka dampaknya tentu akan sangat luas dan serius.
Misal, satu persen (1%) saja dari asumsi jumlah total 20 juta orang pemudik, berarti akan ada dua ratus (200) ribu pemudik yang menjadi pembawa virus dan berpotensi menularkan virus Covid 19 ke seluruh wilayah Indonesia. Sebaran penularannya bisa menjadi semakin dahsyat, bila pemudik turut mengikuti tradisi “unjung-unjung” atau saling berkunjung ke sanak saudara dan tetangga di kampung halaman.
Pemerintah memang telah menetapkan bahwa pemudik yang berasal dari daerah paling rentan atau zona merah Covid 19 akan berstatus ODP (Orang Dalam Pantauan). Sehingga setibanya di kampung halaman maka diwajibkan untuk karantina mandiri selama 14 hari. Meski telah ditetapkan protokol terkait status ODP tersebut, namun hal seperti ini tetap amat sulit dipatuhi di lapangan.
Bayangkan saja, di masa mudik nanti siapa yang akan tahan mengisolasi diri tak keluar rumah ketika tiba di kampung halaman. Padahal tujuan utama mereka mudik karena ingin melepas rindu ketemu dengan keluarga, sanak saudara dan teman-teman di kampung halaman.
Sangat boleh jadi, pasca mudik nanti memang akan timbul ledakan jumlah penduduk yang positif terinfeksi Covid 19. Potensi risiko ini tentu terkait pula dengan karakteristik daerah. Seperti tingginya mobilitas dan tingkat kepadatan penduduk pada daerah asal dan tujuan mudik lebaran. Seperti daerah-daerah di Pulau Jawa.
Jika pasca mudik benar-benar terjadi ledakan penularan covid 19, maka fasilitas rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya akan kewalahan dengan peningkatan pasien yang signifikan. Pada akhirnya, ongkos yang harus dibayar pemerintah juga akan semakin mahal, termasuk seluruh kerugian material dan non-material lainnya.
Keempat, risiko pilihan moda transportasi mudik terhadap penyebaran Covid 19. Banyak pilihan moda transportasi mudik lebaran dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Berdasakan jenis angkutan, diketahui prosentase pemudik lebaran sebelumnya yang menggunakan moda transportasi adalah angkutan jalan (22%), angkutan penyeberangan (19%), angkutan laut (5%), angkutan udara (29%), dan angkutan kereta api (24%).
Berdasarkan kategori jenis kendaraan yang biasa digunakan untuk mudik, diketahui bahwa pemudik yang menggunakan kendaraan umum (41.2%) dan kendaraan pribadi (58,8%).
Pilihan moda transportasi umum tentu lebih berisiko terhadap penyebaran Covid 19 dibandingkan kendaraan pribadi. Pilihan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pemudik yang akan melakukan perjalanan ke kempung halaman.
Hal ini berarti seandainya mudik lebaran tanpa moda angkutan umum, maka risiko penyebaran Covid 19 menjadi lebih kecil. Namun jika moda transportasi yang diizinkan untuk digunakan mudik hanya kendaraan pribadi, tentu juga tidak mungkin. Mengingat selama ini pemudik yang menggunakan kendaraan umum sebesar 41.2% dan kendaraan pribadi sebesar 58,8%.
Selain itu, yang terpenting adalah bahwa semua pilihan moda transportasi yang digunakan oleh pemudik harus taat protokol kesehatan, baik angkutan pribadi maupun angkutan umum. Di antaranya: (i) Penyemprotan disinfektan terhadap sarana dan prasarana transportasi publik secara berkala; (ii) Menyediakan hand sanitizer; (iii) Mengukur suhu petugas maupun penumpang; (iv); Menyediakan masker bagi penumpang yang sedang batuk atau flu; serta, (v) Penerapan social distancing atau physical distancing dengan mengatur jarak antar penumpang saat berada di area transportasi publik.
Kelima, manajemen dan rekayasa lalu lintas membutuhkan dukungan kepastian regulasi mudik lebaran. Saat ini pemerintah tidak melarang tapi menghimbau masyarakat tidak mudik lebaran agar bisa menahan laju penyebaran virus corona atau Covid-19. Kebijakan seperti ini mencerminkan ketidaktegasan dan ketidakpastian, serta menyulitkan bagi petugas dalam penanganan manajemen dan rekayasa lalu lintas di saat mudik lebaran.
Selain itu, juga berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi dan multi interpretasi antar wilayah dan antar daerah yang dapat mengganggu kelancaran arus mudik dan arus balik lebaran 2020.
Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 tertanggal 31 Maret 2020, pemerintah dapat secara tegas melakukan pembatasan kegiatan tertentu untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid 19, yakni dengan melarang orang keluar rumah atau bermigrasi ke tempat lain, termasuk pulang kampung. Substansi PSBB ini sejatinya sejalan dengan rencana awal pemerintah untuk menerapkan kebijakan larangan mudik lebaran 2020.
Mengakhiri tulisan ini, penulis berharap semua pihak semakin memahami besarnya potensi penyebaran Covid 19 pasca mudik lebaran. Oleh karena itu, kiranya sangat penting untuk tetap diberikan ruang bagi perubahan kebijakan. Hingga diperoleh kebijakan mudik lebaran yang lebih akurat di masa pandemi corona.
Ketersediaan ruang perubahan kebijakan ini penting karena masih cukup waktu bagi pemerintah untuk mengevaluasi perkembangan penyebaran Covid 19 di Indonesia hingga menjelang mudik lebaran tiba.
Editor : Setyanegara
Tags:Related Posts
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
Pendulum Atau Bandul Oligarki Mulai Bergoyang
“Perang” terhadap mafia dan penunjukan strategis: Analisis Selamat Ginting
20 Oktober: Hari yang Mengubah Lintasan Sejarah Indonesia dan Dunia
Vatikan: Percepatan perlombaan persenjataan global membahayakan perdamaian
Hashim Ungkap Prabowo Mau Disogok Orang US$ 1 Miliar (16,5 Triliun), Siapa Pelakunya??
Pembatasan ekspor Mineral Tanah Jarang Picu Ketegangan Baru China-AS
Penggunaan kembali (kemasan) dapat mengurangi emisi hingga 80%, kata pengusaha berkelanjutan Finlandia di Forum Zero Waste
Bongkar Markup Whoosh – Emangnya JW dan LBP Sehebat Apa Kalian
Kinerja Satu Tahun Presiden Prabowo dalam Perspektif Konstitusi
ที่ปรึกษาขออยOctober 21, 2024 at 5:36 am
… [Trackback]
[…] Here you can find 13213 more Information on that Topic: zonasatunews.com/nasional/menyikapi-polemik-kebijakan-mudik-lebaran-di-masa-pandemi-corona/ […]
pop over to these guysOctober 25, 2024 at 3:47 am
… [Trackback]
[…] Find More to that Topic: zonasatunews.com/nasional/menyikapi-polemik-kebijakan-mudik-lebaran-di-masa-pandemi-corona/ […]
fuckgirlNovember 13, 2024 at 12:34 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/nasional/menyikapi-polemik-kebijakan-mudik-lebaran-di-masa-pandemi-corona/ […]
Red Boy MushroomDecember 16, 2024 at 2:14 am
… [Trackback]
[…] Find More Info here to that Topic: zonasatunews.com/nasional/menyikapi-polemik-kebijakan-mudik-lebaran-di-masa-pandemi-corona/ […]
jebjeed888December 22, 2024 at 3:11 pm
… [Trackback]
[…] Read More Information here on that Topic: zonasatunews.com/nasional/menyikapi-polemik-kebijakan-mudik-lebaran-di-masa-pandemi-corona/ […]
altogelJanuary 19, 2025 at 10:17 pm
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/nasional/menyikapi-polemik-kebijakan-mudik-lebaran-di-masa-pandemi-corona/ […]