By Asyari Usman
Kemarin (13/8/2020), tokoh Reformasi yang terkenal vokal, Prof Amien Rais, menyampaikan semacam “pledoi” politik sebagai tanggapan terhadap kebijakan Presiden Jokowi. Acara berlangsung di komplek kuliner Pulau Dua, Senayan..
Tokoh politik yang tak pernah ‘kapok’ ini memberikan judul pledoinya “Pilihan Buat Pak Jokowi: Mundur atau Terus”. Pak Amien menamakan pledoi politik ini sebagai “Risalah Enteng-entengan”. Tapi, kontennya sangat berat. Inilah serangan politik dengan ‘lethal weapons’ (senjata maut).
Risalah ringan Pak Amien ini berisi 13 poin. Beliau menyebutnya “bab”. Di antara ke-13 bab itu, ada beberapa poin penting yang secara kolektif berisi kesimpulan bahwa, sengaja atau tidak, Presiden Jokowi telah mengaktifkan reseptor untuk ambisi ekspansionisme China atas Indonesia. Resptor itu besar jumlahnya. Pak Amien memperkirakan ada sekitar 10 juta ‘cell’. Dan semua reseptor itu sangat ‘compatible’ (cocok) dengan virus kolonial China.
Pak Amien tampaknya tidak berlebihan. Reseptor ekspansionisme China yang berjumlah 10 juta itu sudah lama mendominasi Indonesia. Mereka menguasai bisnis. Mereka menguasai matarantai produksi dan distribusi. Mereka juga menjadi pemain utama ekspor-impor. Dominasi ekonomi itu membuat jutaan reseptor memiliki kesempatan untuk menguasai percaturan politik Indonesia. Mereka mampu mendikte para pemegang kuasa di semua cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Di bab ke-6 dengan judul “Tunduk Pada Mafia, Taipan, dan Cukong”, Prof Amien Rais menulis bahwa para penguasa negeri lebih fokus melayani para mafia, taipan dan cukong. Bahkan, kata penggerak Reformasi 1998 ini, mereka itu berlindung di atau dilundungi oleh kekuasaan. Dalam kenyataannya, tidaklah keliru ketika Pak Amien mengatakan bahwa mereka bisa mengendalikan para penguasa untuk meloloskan rencana jahat di banyak aspek kehidupan nasional.
Di poin sebelumnya, Bab 4, Pak Amien menguraikan tentang gaya otoriter yang sekarang diadopsi oleh Jokowi. Semua orang terperangah. Orang baik (good guy) bisa berubah menjadi “tangan besi”. Pak Amien menyebutnya dengan istilah “sosok populis yang bersubstansikan otoritarianisme”.
Tetapi, menurut Pak Amien, Jokowi menerapkan kekuasaan otoriter untuk membungkam rakyat. Untuk menumpas kritik dan protes. Sedangkan terhadap kelompok-kelompok yang dia perlukan, dia cenderung ramah atau protektif.
Yang sangat menarik adalah paparan di Bab 5 tentang pertumbuhan subur oligarkhi. Sekelompok elit, kata Pak Amien, pada hakekatnya memegang kekuasaan besar sampai-sampai bisa mengontrol dan mendiktekan kebijakan pemerintah. Kekuasaan otoriter adalah lahan subur oligarkhi. Sehingga, oligarkhi tidak lagi terbatas dalam jumlah kecil melainkan beranak-pinak menjadi ratusan orang. Mereka ini, menurut Pak Amien, sengaja ‘dipelihara’ oleh rezim untuk menstabilkan situasi politik.
Tak dapat disangkal uraian Pak Amien. Oligakrhi di Indonesia ini mengikuti teori piramida organisasional. Posisi-posisi puncak piramida oligarkhi ada di tangan beberapa penguasa kuat. Yaitu, kuat di pemerintahan dan kuat secara finansial. Namun, ada lagi lapisan oligarkhi di bawahnya yang diberi kesempatan untuk menikmati bayaran besar. Mereka itu jumlahnya, sesuai pelacakan sejumlah lembaga, mencapai lebih 350 orang yang memegang posisi-posisi penting di institusi bidang hankam. Oligarkhi kelas menengah ini ditempatkan di meja-meja basah ratusan BUMN.
Bagian yang paling menohok di dalam risalah enteng-entengan Pak Amien adalah Bab 1. Mantan Ketua MPR ini blak-blakan menyebut Jokowi sebagai pemecah belah bangsa. “Tak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik di masa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.” Pak Amien menyimpulkan, kecurigaan dan ketakutan Jokowi terhadap sikap kritis umat Islam sangat nyata terlihat.
Dia bagian yang menjelaskan tentang nepotisme yang selama ini dianggap tak akan mungkin dilakukan oleh Jokowi, Prof Amien Rais mengecam dukungan Jokowi dalam pencalonan anaknya di Pilkada Solo dan menantunya di Pilkada Medan. Keluarga presiden ikut pilkada memang tidak melanggar konstitusi. Tetapi, sangat jelas melanggar etika kepemimpinan, menurut Pak Amien.
Yang menjadi masalah ialah, Prof Amien Rais terlalu lama menyadari bahwa etika tidak lagi menjadi tuntunan. Sebab, kekuasaan terlalu gurih untuk diganggu oleh zat penetral yang disebut etika.[]
14 Agustus 2020
(Penulis wartawan senior)
Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
No Responses