Catatan Politik, Menakar Dibalik Kemesraaan Jokowi-Golkar

Oleh : Budi Puryanto, Pemimpin Redaksi zonasatunews.com

Siapapun tahu, saat ini hubungan Jokowi-Golkar sedang mesra-mesranya. Hubungan yang mencerminkan “win-win solution”, atau “sombiosis mutualisme”. Golkar berhasil mendapat tambah 1 kursi menteri dalam reshufle kabinet terakhir, yaitu Menteri Soaial, yang diduduki oleh Idrus Marham. Golkar sekaligus mengokohkan posisinya dengan dipertahankannya Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian, meskipun dia menjabat Ketua Umum Golkar.

Ini anomali, penyimpangan. Pakta integritas “tidak boleh rangkap jabatan” ketua partai dan menteri, telah gugur sampai disini. Sebelumnya pakta itu telah “memakan korban”. Ketua-ketua Partai PKB, PPP, Hanura, Nasdem, harus rela melepaskan kursi Menteri demi mempertahankan posisi ketua partai. Wiranto, harus rela melepas posisi ketua Hanura, begitu menempati posisi Menko, yang belakangan penggantian di Hanura ini menjadi sumber konflik hingga kini.

Jokowi pasti telah berhitung resiko buruknya. Persepsi negatif publik, seolah “menjilat ludah sendiri”. Rasa sakit hati partai koalisi lainnya yang merasa diperlakukan berbeda dengan Golkar. Dan kemungkinan timbulnya citra buruk atas keputusan itu. Tapi lihat, bukannnya mengganti Airlangga Hartatrto, justru Jokowi memperkuatnya dengan mengatakan “Airlangga tidak perlu diganti. Kinerjanya bagus, toh tinggal satu tahun. Kalau diganti, belajarnya saja bisa setengah tahun, atau satu tahun”.

Ada fatsun politik “tidak ada musuh abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan”. Politik itu memang makhluk yang aneh. Seperti punya hukum sendiri, yang kadang hanya bisa dipahami oleh makhluk politik itu sendiri. Kata Cicero, politisi dan penguasa Romawi yang berhasil membangun kekuasaannya dari bawah, dari seorang pengacara hukum; politik itu hanya memiliki “satu muka” : saat ini ! Yang terpenting adalah kepentingan saat ini. Artinya, bila saat ini mengandung keuntungan politik lebih besar, maka keputusan, komitmen, janji, dimasa lalu bisa diabaikan. Atau dianggap tidak ada. Titik.

Golkar kelihatan unggul dalam negosiasi ini. Dengan sumberdaya politik melimpah. Pengalaman panjang. Partai yang matang. Tetap survive ditengah berbagi konflik yang menimpanya. Dan ini, Golkar sangat pintar mengambil benefit politik, dalam setiap perkembangan politik.

Apakah ini berarti Jokowi kalah berhadapan dengan Golkar? Tentu tidak. Jokowi juga menang. Jokowi mendapat “tiket” mahal untuk maju kembali dalam Pilres 2019. Jokowi berhasil “memaksa” Golkar mengusungnya kembali. Kepastian Golkar ini adalah kemenangan besar Jokowi. Dengan 14,75% suara Golkar, Jokowi tinggal mencari tambahan 1 partai lagi untuk memenuhi syarat minimal 20%. Itu sangat mudah, dan pasti banyak yang mau. Jokowi tidak perlu pusing lagi urusan tiket Pilpres 2019. Tinggal kerja,, kerja.. kerja..!! Sementara calon penantangnya : disamping belum jelas siapa orangnya, belum jelas juga tiketnya. Jokowi tampak berhasil curi start beberapa langkah didepan calon penantangnya. Sekali lagi ini kemenangan besar bagi Jokowi dalam memasuki pertarungan Pilpres 2019.

Kemesraan dengan Golkar ini juga meningkatkan jaminan kinerja pemerintahannya. Bagaimanapun dukungan Golkar di parlemen akan sangat membantu. Dengan 91 kursi dan posisi Ketua DPR yang dimiliki Golkar, dukungan parlemen terhadap pemerintah dipastikan akan semakin mulus.

Bagaimana dengan PDIP? Apakah kemesraan Jokowi dengan Golkar tidak mengganggu hubugan dengan PDIP? Tidak merugikan PDIP? Dalam batas tertentu akan merugikan PDIP, tetapi tidak akan mengganggu hubungan baik dengan PDIP. Jokowi adalah kader dan petugas partai yang baik. Tetapi sayangnya sampai saat ini belum ada kepastian sikap PDIP untuk mengusung kembali Jokowi dalam pilpres 2019. Ini mungkin membuat Jokowi “gregeten”. Kesannya seperti ingin mengatakan, kalau dalam bahasa Jawa, “Monggo, PDIP badhe ngusung kulo melih nopo mboten. Niki kulo mpun oleh tiket”. Nothing to lose.

Ini jelas akan meningkatkan posisi tawar Jokowi di depan PDIP. Dia bisa keluar dari “kungkungan yang menjeratnya”. Menjadi lebih bebas dalam membuat keseimbangan politik. Dia bisa berhasil bermetamorfosis dari sekedar “petugas partai” menjadi seorang negarawan.

Related Posts