Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogya Dalam Liputan Media Belanda

Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogya Dalam Liputan Media Belanda
Foto Serangan Umum 1 Maret 1949

Pasukan Republik yang masuk ke Wonosari dikomandoi oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Bandara Maguwo yang direbut oleh Belanda pada bulan Desember akan diserahkan ke pihak Republik pada 28 Juni, sedangkan evakuasi pasukan Belanda dari Yogya sendiri akan menyusul sehari kemudian.

Kolonel Van Langen mengumumkan bahwa yang terakhir dari 4.500 tentara Belanda akan meninggalkan kota itu pada tanggal 29 Juni antara pukul empat dan lima sore. Dia mengatakan pasukan Belanda akan ditarik ke barat dan timur laut kota.

Saat ditanya tentang suasana hati tentara Belanda yang telah meninggalkan Wonosari, Kolonel Van Langen mengaku tertekan.

Dikabarkan pula bahwa dua orang Indonesia tewas di pusat kota Yogyakarta sehari sebelumnya, salah seorang di antaranya tewas dalam bentrokan bersenjata antara patroli Belanda dan kelompok bersenjata.

Foto Serangan Umum 1 Maret 1949

Bekerjasama dengan Kepala Polisi Sumarto, Letkol Suharto terus memulihkan kententraman kota Yogyakarta. Brimob disiapkan dengan jumlah anggota yang diperluas menjadi 300 orang, yang anggotanya direkrut dari pasukan gerilya yang sudah dilatih. Mereka tetap berada di bawah komando TNI.

Sultan memiliki kewenangan untuk merekrut sampai 2.400 polisi negara. Dalam beberapa minggu ke depan, pemerintahan akan diserahkan ke otoritas sipil. Demikian laporan ‘De Nieuwe courant’ yang berbasis di Surabaya dalam edisinya tgl. 6 Juli 1949 (Rabu) di bawah kolom: “Handhaving rust en orde’ (Menjaga ketentraman dan ketertiban).

Presiden Soekarno baru kembali ke Yogyakarta lagi pada hari Rabu tanggal 6 Juli 1949 jam 13:00 (‘Nieuwe Apeldoornsche courant’ (Apeldoorn) Kamis 07-07-1949).

Sebagaimana sudah sama diketahui, bersama Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan St. Sjahrir, ia ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948 di Yogya ketika Belanda melancarkan “Operasi Kraai” (Operasi Gagak) yang menandai dimulainya agresi kedua mereka.

Soekarno, St. Sjahrir dan H. Agus Salim dibawa ke Prapat (Sumatra Utara), sementara Hatta diasingkan ke Pulau Bangka (Manumbing).

Praktis, sejak 19 Desember 1948 sampai 5 Juli 1949 Soekarno dan Bung Hatta berada jauh dari Yogya dan tidak dapat berbuat banyak, apalagi memimpin serangan gerilya, karena mereka sedang berada dalam tawanan Belanda di Pulau Sumatra.

Inilah sebentuk amnesia sejarah yang dengan dungu diperlihatkan secara telanjang dalam Kepres No.2/2022 itu.

Kemenangan TNI dan laskar-laskar rakyat dirayakan di Yogyakarta pada Selasa pagi 4 Oktober 1949. Dalam laporannya di bawah kolom “Legerdag in Djogja”, surat kabar ‘De Locomotief’ (Semarang) edisi Kamis 6 Oktober 1949 menuliskan:

Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi di Yogyakarta. Saat itu ibukota RI pindah di Yogyakarta karena Agresi Militer II Belanda. Tentara Indonesia bersama rakyat berhasil menguasai Yogyakerta selama 6 jam.

Perayaan Hari Tentara di Yogyakarta pada Rabu pagi mencapai klimaksnya ketika satuan-satuan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto menggelar pawai di depan para petinggi militer, antara lain Panglima TNI Presiden Sukarno, Pemimpin TNI Jenderal Soedirman, Letnan Jenderal Hamengku Buwono, para menteri dan banyak personel militer terkemuka.

Ribuan orang menyaksikan pawai ini. Usai pawai, Presiden Sukarno selaku Panglima TNI menganugrahkan “Bintang Gerilya” kepada semua anggota Divisi I, II, III, IV, Divisi Sumatra dan Divisi Kalimantan.

Parade ini juga dihadiri seluruh anggota komisi militer UNCI yang tiba di Yogyakarta pada Rabu pagi dengan menggunakan pesawat UNCI yang dipimpin Brigjen Prior.

Minggu kedua Desember 1949 terbentuk Panitia Penyelenggaraan Sidang Pemilihan dan Pelantikan Presiden R.I.S. Panitia tersebut diketuai oleh Mr. Wongsonegoro dengan wakilnya, Mr. Samsoeddin dan Kolonel Paku Alam.

Sedangkan anggotanya terdiri dari: Ruslan Abdoelgani, Ki Hadjar Dewantoro, Djanoe Ismadi, Mr. A.G. Pringgodigdo, Mr. Mohamad Yamin, Pangeran Poerwokoesoemo, Roedjito, Pangeran Poerbojo, K.R.T. Honggowongso, dan overste Soeharto, serta R.M. Harjoto sebagai Sekretaris.

Pada 17 Desember jam 9 pagi Presiden R.I.S. Ir. Soekarno dilantik dan diambil sumpahnya di Pendopo Kepatihan Istana Yogyakarta. Setelah itu diadakan defile pasukan TNI di alun-alun Yogya yang dipimpin overste Soeharto (‘De Locomotief’ [Semarang], Jumat 16-12-1949).

Demikian yang dapat saya sarikan dari koran-koran Belanda yang terbit semasa. Dari laporan ini dapat dikesan peran penting tiga orang yang nama mereka hampir selalu muncul dalam laporan-laporan media dalam periode kritis yang dihadapi oleh pihak Republik di Yogyakarta dan sekitarnya.

Mereka adalah: Jendral Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Letkol Soeharto. Dalam hal ini, Letkol Soeharto dan pasukannya, bahkan sejak sebelum Belanda menduduki Yogya sampai penarikan pasukan Belanda dari Wonosari dan Yogyakarta sangat aktif.

Bahkan sampai pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I.S., overste Soeharto selalu aktif dalam mengkonsolidasikan pasukan TNI/anak buahnya, baik dalam rangka perayaan maupun untuk pengamanan rakyat dan para penjabat sipil.

Maka, jika ada seorang pelaku sejarah yang (mungkin karena memilih ideologi yang berbeda di kemudian hari) mengatakan bahwa letkol soeharto leyeh-leyehan saja makan soto babat saat serangan umum 1 maret 1949 di yogya terjadi, yang melibatkan tidak kurang dari 2.000 orang tni dan para pejuang dari berbagai kelompok, maka terserah kepada logika generasi sekarang sajalah untuk menilainya.”

Leiden, Sabtu 5 Maret 2022

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K