Muhammad Chirzin: Maju Atau Mundur Pindah IKN?

Muhammad Chirzin: Maju Atau Mundur Pindah IKN?

Catatan Muhammad Chirzin

Rencana pindah Ibu Kota Negara pertama kali digulirkan oleh Presiden Jokowi dalam Sidang Paripurna DPR RI 2019. Jokowi memohon ijin kepada DPR yang mulia untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Utara Kalimantan.

Ibarat kata DPR kehilangan kesempatan untuk meminta pendapat Rakyat, apakah permohonan pindah Ibu Kota Negara Republik Indonesia diterima atau ditolak.

Muncullah tanggapan masyarakat luas tentang rencana pindah Ibu Kota Negara tersebut.

Tampaknya Pemerintah telah menindaklanjuti rencana pindah Ibu Kota Negara tersebut dengan berbagai langkah, termasuk membuat sayembara desain pembangunan Ibu Kota Negara hingga Presiden meletakkan batu pertama pembangunan kawasan Ibu Kota Negara di titik 0 Km sekaligus mendeklarasikan namanya Ibu Kota Negara Nusantara, dengan upacara setor tanah dan air dari seluruh provinsi NKRI, tidak terkecuali DKI, yang disatukan dalan Kendi Nusantara.

Penetapan nama IKN Nusantara itu saja mengundang pro-kontra, termasuk menyangkut asal muasal istilah Nusantara. Di satu sisi, dalam sejarahnya Nusantara adalah sebutan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang meliputi daratan Singapura hibgga Thailand. Di sisi lain, istilah Nusantara dipersempit untuk menyebut kawasan Ibu Kota Negara yang notabene berbau Jawa sentris, padahal maksud pindah Ibu Kota Negara itu sendiri untuk pemerataan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menggeser konsentrasi penduduk dan peredaran uang dan kesejahteraan dari pulau Jawa pada umumnya, dan dari Jakarta pada khususnya.

Kembali ke permulaan, pertama, bahwa pindah Ibu Kota Negara adalah mungkin, tetapi apakah tidak harus dengan persetujuan Rakyat melalui Referendum?

Kedua, pertimbangan/motif/tujuan pindah IKN, untuk apa atau siapa? Jika tujuannya untuk menghindari banjir dan gempa bumi, ternyata banjir dan gempa bumi melanda kawasan tersebut juga.

Ketiga, keputusan pindah IKN ke Kalimantan sudah direspons para pakar dari berbagai sisi yang kesimpulannya: lokasi itu sangat tidak layak, tetapi tetap diputuskan. Haruskah upaya pemindahan Ibu Kota Negara didukung?

Keempat, salah satu keberatan pindah IKN adalah pembiayaan yang amat sangat tinggi sekali, dan berjangka panjang, hingga tahun 2045, sedangkan kondisi riel keuangan Negara berutang tinggi (7.000 triliun), akankah upaya pemindahan IKN diteruskan?

Kelima, UU IKN sedang dalam gugatan, mengapa Presiden tetap dan telah melakukan langkah-langkah strategis berkenaan dengan penyelenggaraan dan pengelolaan IKN? Apakah tidak lebih bijaksana bila proses pengembangan dan pembangunan IKN Nusantara tersebut dihentikan, hingga perkaranya selesai?

Tentang utang negara, Misbakhun, Anggota DPR RI menulis, “Utang Kita Sebenarnya 17.500 Triliun.” Jumlah tersebut melebihi 100 persen dari PDB kita yang mencapai 15.600 triliun. Di atas adalah total utang pemerintah dalam rangka pembiayaan APBN. Utang menutup defisit pembiayaan APBN.

Sejak era rezim UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dimulai utang menggunakan mekanisme SBN (Surat Berharga Negara) State Treasury Bond yang lebih dikenal sebagai SUN (Surat Utang Negara). Era utang bilateral, multi lateral, dan utang kepada lembaga donor berkurang sangat tajam prosentasenya seiring dengan naiknya volume APBN kita, sehingga besaran defisit naik, dan jumlah surat utang makin membesar. SBN atau SUN diserap oleh pasar dan pembelinya bisa perbankan nasional, dana pensiun, lembaga asuransi, BPKH, LPS, BI dan siapa pun yang perlu investasi di government bond, baik asing maupun nasional.

Apakah angka Rp 7.014,58 triliun itu sudah merupakan total utang pemerintah? Secara matematika tanggung jawab pemerintah masih belum.

Ada 2 komponen perhitungan utang di luar utang pembiayaan APBN yang belum dihitung dalam struktur komponen utang pemerintah, yaitu:

(1) contingency debt (utang yg menjadi tanggung jawab negara), seperti utang BUMN. Jumlah utang BUMN saat ini hampir mencapai Rp 6.000 triliun.

(2) utang dana pensiun yang saat ini masih menggunakan metode beban langsung di APBN, padahal secara aktuaria dana pensiun ini harus dibuatkan pencadangan khusus sebagai beban biaya pensiun untuk ASN, TNI, dan Polri. Perkiraan jumlah beban utang pensiun mencapai sekitar Rp 4.500 triliun.

Kedua item di atas tidak pernah masuk dalam perhitungan neraca keuangan negara. Padahal secara best practices di seluruh dunia, saat menghitung neraca keuangan negara itu masuk dalam itungan government debt.

Kalau poin utang pembiayaan untuk APBN, contingency debt, dan utang dana pensiun dihitung semuanya masuk dalam neraca keuangan negara, maka total utang kita bisa mencapai 7.000+6.000+4.500=17.500 triliun

Jumlah tersebut melebihi 100 persen dari PDB kita yang mencapai 15.600 triliun. Padahal menurut UU No.17/2003 batas utang atau ratio debt kita maksimal 60% dari PDB.

Pengelolaan negara secara serampangan dengan hutang yang besar bakal jadi beban dan bom waktu yang akan meletus menjadi krisis maha dahsyat lebihi krismon 97/98.

Seorang penulis mengajukan pertanyaan, “Sampai Kapan?”

Kita sedang menghadapi 4 hal berat. Pertama, gelembung nilai tukar rupiah terhadap US dolar. Nilai tukar yang ada sekarang adalah nilai semu. Sebab, ada doping berupa pinjaman dana dari luar negeri dalam US dolar yang terus-menerus masuk. Nilai tukar sebenarnya jauh di bawah yang ada sekarang. Pertanyaannya, sampai kapan doping itu bisa terus dilakukan?

Kedua, gelembung utang. Untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, mega proyek kereta cepat, dan lainnya, pemerintah mengambil pinjaman dari luar negeri. Akibatnya, utang makin menumpuk. Bila ditambah dengan utang-utang BUMN dengan skema B to B, jumlah utang itu sudah lebih dari Rp 10.000 triliun. Beberapa di antaranya, mulai bulan Maret ini, bakal jatuh tempo. Bagaimana membayarnya?

Ketiga, gelembung mega korupsi. Baru saja terbongkar mega korupsi di sejumlah lembaga keuangan non-bank, seperti Jiwasraya dan Asabri. Masih ada beberapa lagi yang mengalami keadaan serupa. Total kerugian bisa mencapai Rp 150 triliun. Hal ini membuat lembaga-lembaga itu mengalami kesulitan ketika tiba kewajiban membayar kepada para nasabahnya.

Keempat, gelembung unicorn. Saat ini tengah terjadi persaingan dahsyat di antara perusahaan-perusahaan e-commerce untuk bisa menjadi pemenang. Untuk itu, mereka tak segan menggelontorkan dana sangat besar untuk promosi melalui pemberian aneka diskon. Istilahnya bakar uang. Tentu, tidak semua bisa menjadi pemenang. Kehancuran yang kalah akan membawa implikasi kelesuan ekonomi yang lebih dalam.

Ke halaman berikut

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. Discover MoreOctober 25, 2024 at 3:39 pm

    … [Trackback]

    […] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-maju-atau-mundur-pindah-ikn/ […]

  2. GiftsDecember 18, 2024 at 1:45 am

    … [Trackback]

    […] Find More to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-maju-atau-mundur-pindah-ikn/ […]

Leave a Reply