Memahami Gagasan Dr Muhammad Najib: Renaisance of Islam (6)

Memahami Gagasan Dr Muhammad Najib: Renaisance of Islam (6)
Dr Muhammad Najib, Dubes RI untuk Spanyol dan UNWTO

Oleh: Budi Puryanto, Jurnalis

 

Merit System

“Merit system (meritokrasi) yang menjadi Rahasia kemajuan sejumlah negara modern saat ini juga berasal dari peradaban Islam,” kata Dr Muhamma Najib,Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO.

Pandangan Dr Muhammad Najib diatas berpijak pada kondisi peradaban Islam dimasa lalu, khususnya peradaban Islam di wilayah Andalusia yang tegak dan berhasil menyinari kegelapan Eropa, serta menjadi mata rantai penyambung dan menyelamatkan peradaban bangsa-bangsa sebelumnya, seperti peradaban Yunani, Persia, India, China,dan Mesir.

Belajar dari sejarah diketahui bahwa berkembangnya peradaban Islam di Andalusia tersebut juga didukung oleh kebijakan penguasa yang tidak menutup kesempatan bagi warga negara. Selama tidak berbahaya dan memberikan ancaman keamanan negeri, para Amir dan Khalifah membuka kesempatan luas kepada warga dari kalangan Nasrani, Yahudi, atau agama maupun kepercayaan apapun untuk bekerja di institusi-institusi pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

Penguasa muslim merekrut tenaga-tenaga yang cakap dan mempunyai keahlian dalam berbagai bidang yang diperlukan negara, tidak memandang agama, bangsa, suku, warna kulit, dan latar belakang sosialnya.

Termasuk didalam urusan pemerintahan, pejabat publik, maupun militer. Apabila memiliki kecakapan dan keahlian yang dibutuhkan, seluruh warga negara tanpa kecuali, bisa turut berkontribusi.

Mereka yang ahli diberi kesempatan seluas-seluasnya untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minatnya, difasilitasi oleh negara, untuk kemudian menerapkan keahliannya demi kemajuan masyarakat.

Kebijakan seperti tersebut diatas lebih menjamin hasil kerja berkualitas, karena ditangani oleh para ahlinya. Disamping memberikan rasa keadailan kepada semua warga. Maka rekruitmen pejabat publik dibuat secar terbuka dan siapapun bisa mengikuti.

Model kepemimpinan atau pemerintahan seperti ini, saat ini dikenal sebagai merit system atau sistem meritokrasi, dan diterapkan oleh banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, China, Korea, Inggris, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya.

Dunia dewasa ini mengenal sistem Meritokrasi, sebagai sebuah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja, yang dinilai melalui pengujian atau pencapaian yang ditunjukkan.

Merit system kini telah meluas, dipakai diberbagai perusahaan multi nasional, seperti Google,Twitter, Facebook, Instagram, Apple, microsoft, dan lain-lain.

BACA JUGA:

Meskipun praktek meritokrasi telah diterapkan berabad-abad lalu dalam kekuasaan Islam di Andalusia, namun istilah ini sendiri baru dikenal belakangan. Dipromosikan pada tahun 1958 oleh sosiolog Michael Dunlop Young dalam buku distopia politik dan satirenya yang berjudul The Rise of the Meritocracy.

Sesungguhnya, konsep nilai Meritokrasi dalam Islam diilhami oleh pesan Nabi Muhammad SAW, “Apabila suatu pekerjaan tidak ditangani oleh ahlinya, maka tunggu kehancurannya.”

Para penguasa muslim saat itu pasti memahami pesan ini dengan mendalam, dan mereka mewujudkan pesan Nabi tersebut dalam praktek pemerintahan dengan sangat baik. Sehingga, para pemimpin muslim itu bisa menegakkan risalah peradaban dalam waktu hampir 800 tahun di Andalusia, seperti diakui sendiri oleh salah satu sosiolog Perancis Gustave Le Bon.

Sosiolog Prancis Gustave Le Bon menulis, “Begitu orang- orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Mereka memberikan perhatian yang besar untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan sastra, menerjemahkan buku-buku Yunani dan Latin, dan mendirikan universitas-universitas yang menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan peradaban di Eropa dalam waktu yang lama.”

Sehingga, seperti kata Prof Raghib as-Sirjani, dalam karyanya “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”, Kordoba dan Andalusia secara keseluruhan adalah saluran penting untuk proses transfer pemberadaban (civilising) dari Islam ke Eropa (baca: Barat). Hal itu mencakup bidang ilmu, pemikiran, sosial, ekonomi, dan sebagainya.

Keberadaan kaum terpelajar non-Muslim saat itu bukanlah hal yang tabu di lembaga-lembaga yang dibiayai negara. Dengan membangun banyak sarana dan prasarana pendidikan, khalifah dapat menerapkan pembudayaan dengan medium bahasa Arab.

Orang-orang Spanyol, termasuk yang non-Muslim, menjadi terbiasa berbahasa Arab. Bahkan, menurut as-Sirjani, mereka lebih mengutamakannya daripada bahasa Latin.

Seperti Baitul Hikmah di Baghdad, di Kordoba pun menjadi tempat penerjemahan buku-buku ilmiah dan filsafat dari Yunani, Persia,India, China, Mesir ke dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya Yunani yang diterjemahkan ialah catatan Gallienus, Hippokrates, Plato, Aristoteles, Euklid, Phytagoras, Archimides, dan Thales.

BACA JUGA:

Sebaliknya, proses alih bahasa dari Arab ke Latin pun gencar dilakukan. Seorang penerjemah yang masyhur pada masa itu adalah Jirarid ath-Tholtoli. Intelektual kelahiran Italia itu datang ke Toledo pada 1150 M. Dikatakan bahwa ia menerjemahkan 100 buku, termasuk Al-Qanun karya Ibnu Sina dan Al-Manshuri-nya ar-Razi.

Bisa dipahami, bila pada akhirnya sejak pertengahan abad ke-10 hingga awal abad ke-11, Kordoba telah menjelma menjadi permata Eropa, dan menjadi penerang masa kegelapan panjang yang dialami Eropa.

Kekuasaan Islam di Andalusia itu berperan sebagai jembatan peradaban Islam di Benua Biru. Dari sanalah, orang-orang Barat mulai mengenal dan mempelajari berbagai kemajuan yang dicapai Muslimin, baik dalam sain, teknologi, seni, sistem pemerintahan, termasuk hubungan sosial yang toleran, damai, dan harmonis.

Berkat ketekunan dan kesungguhan bangsa Eropa mempelajari peradaban Islam lewat Universitas yang didirikan di kota-kota di Andalusia, akhirnya Eropa bangkit dan sekarang menguasai dunia diberbagai bidang.

Sementara negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk muslim) sebagai pewaris utama peradaban Islam, justru makin jauh tertinggal dibanding negara-negara Barat. Bahkan saat ini, dengan negara-negara di Asia seperti Jepang, China, India, Korea,dan  Taiwan, sudah tertinggal.

Apabila kondisi ini dibiarkan terus, maka negera-negara Islam akan makin terpuruk, dan akan “diperbudak” oleh negara-negara lain yang lebih maju, meskipun memiliki sumberdaya alam melimpah sekalipun.

Oleh karena itu jawabnya tak ada lain kecuali segera menyadari ketertinggalan tersebut, dan segera mengejarnya dengan melibatkan diri kedalam panggung pengusaan sain, teknologi, seni, ekonomi, dan termasuk menerapkan sistem meritokrasi dalam pemerintahan.

Indonesia sudah mulai menerapkan Reformasi Birokrasi sebagai bagian dari merit system, tetapi dalam sekala yang lebih besar, masih diperlukan untuk mewujudkan good goverment dan good governence.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K