Oleh: Yudhie Haryono
Detak kreta ini menggemuruhkan cakrawala. Itu 93. Saat pertama kuberontak melawannya. Ia yang hatinya perih karena memuja keabadian fotamorgana. Bau relnya mendidihkan perasaan semu tak mutu. Itu 95. Saat keseribu kali tangan terkepal pengganti senjata. Ia yang jiwanya jumawa hidup abadi mati di singgasana.
Maka, betul kata Milan Kundera (1971), “perjuangan kita melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa!” Sebab begitu lama. Bertrilyun-trilyun zaman lalu, tuhan tertidur. Saat ngelindur, kaum jahatlah ciptaannya. Dan, kitalah korban pertama. Korban purba dan dulu sekali saat yang lain terlena dibuatnya.
DULU. Kediktatoran dikerjakan dengan bedil. Kemarin, kediktatoran dilaksanakan dengan citra. Kini, kediktatoran diimplementasikan dengan uang dan bohong.
Hasilnya sama saja. Kemiskinan dan frustasi di warga miskin dan mereka yang tak berdaya. Maka, di negaramu; di negara ini, berjuta-juta kaum miskin mencipta orang kaya raya. Dan, hanya berpuluh-puluh orang kaya menciptakan kaum miskin. Tanya kenapa?
Tapi sudahkah kita melakukan tindakan sistematis mendidik anak-anak tentang kediktatoran sebagai kebiadaban yang tak boleh terulang? Sudahkah kita ajari generasi baru bahwa orang seperti mereka sama sekali tak layak dijadikan pahlawan? Atau kita biarkan mereka berkuasa kembali dengan wajah baru tapi bermental lama?
Ajus anak diktator purba: bedil. Kalian tahu dosa tentara Indonesia? Hanya saling intrik di antara mereka, beraninya nembak mahasiswa, menjadi centeng china, menjadi anjing penjaga konglomerat, takut perang dengan penjajah dan jadi komisaris-komisaris di perusahaan besar plus merasa layak memimpin tanpa modal kepemimpinan publik. Tentu ada yang baik, tetapi berapa biji? Ini baru mayor (yang semua sekolahnya dibayari uang rakyat via apbn) sudah mau pimpin yang jendral.
Anus anak diktator kemarin: citra. Apa kerja para pencitra, hanya cerita. Antara yang diomongkan berbeda dengan yang dikerjakan. Bicara demokrasi, sunyatanya beli kursi. Bicara perkaderan, sunyatanya nyalip di tikungan. Prestasi hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Membela yang bayar dan bermuka tebal; itulah satu-satunya modal.
Ajuk anak diktator kini: uang. Semua dibelinya. Dengan topangan media gila. Bermodal dari bisnis haram karena tak pernah bayar pajak. Akibatnya APBN kempes. Dibuatlah tax amnesty. Saat gagal, warga miskin yang jadi tulang punggungnya.
Singkat dan padat. Ketiganya “ditugasi” menipu warga, mengintimidasi, mengusir dan merampok APBD yang kita kumpulkan serupiah dan dua rupiah dengan tangis dan banjir darah.
Tak percaya? Dengar kampanye mereka. Sebeyek: pilih anakku (ajus) nanti kubagi tipu-tipu seperti 10 tahun lalu. Lalu, apa kata Megak: pilih anak angkatku (ajuk) nanti kubagi reklamasi dan prostitusi. Demikian pula dengan Bowok: pilih anak haramku (anus) nanti kubagi pidato kosong melompong dan pengkhianatan keculasan kehidupan yang tak seperti kitab suci.
Sesungguhnya ajus, anus dan ajuk hanya pion. Semua ini cuma dagelan. Didesain sambil blowjob oleh para cukong di kaffe singepor dan makau. Tak akan merubah apapun kecuali menambah banjir penderitaan kaum miskin kota. Lihat saja nanti buktinya.
Kini, mari kita tanya dengan agak konyol. Tak perlu id dan logos: 1)Siapa tokoh kuat yang mempersatukan orla dan orba (pdip&golkar)? 2)Berapa kira-kira dollar yang mampu merekatkan keduanya? 3)Kenapa parpol lainnya panik dan membuat lelucon dinasti dan rupa-rupa ketololan yang sama? 4)Drama tak berkwalitas ini siapa sutradaranya dan apa tujuannya? Entah. Ingatan kita memang pendek. Sangat pendek.(*)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
free tokensNovember 26, 2024 at 5:49 am
… [Trackback]
[…] Read More here on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/yudhie-haryono-politik-ingatan-pendek/ […]