Yudhie Haryono: Desain Politik Majelis di Indonesia

Yudhie Haryono: Desain Politik Majelis di Indonesia
Suasana sidang BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 yang dipimpin oleh Radjiman Wedyodoningrat

Oleh: Yudhie Haryono

 

Dalam studi-studi nusantara, kita nanti akan bertemu dengan istilah majelis permusyawaratan rakyat (MPR). Ini merupakan konsep bernegara dalam pencarian tiang-tiangnya, setelah nilai, id, dasar dan cita-citanya ditemukan dan menjadi konsensus bersama.

Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan/kesultanan.

Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.

Ingat, nama kepanjangan darinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat bukan Majelis Perwakilan Rakyat. Di sini jelas bedanya dengan DPR yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu yang bermusyawarah di MPR ditetapkan terdiri dari tiga cluster (kamar) yaitu utusan partai politik (pasar), utusan daerah (raja, sultan, tetua suku) dan utusan golongan (cendekia, profesi, ormas).

Singkatnya majlis ini diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).

Dari sebutannya, para pendiri republik tentu paham apa yang disebut sebagai “utusan” yang tentu berbeda maksudnya dengan “wakil.” Karenanya ketika membaca UUD, jangan cuma menggunakan prndekatan keilmuan dari luar, tetapi gunakan kesejarahan kita dan genealogi, rasa serta spirit dari yang disebut Indonesia.

Karenanya, dalam politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal–DPR dan DPD) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.

Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.

Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.

APAKAH sistem politik kita sesungguhnya? Ini pertanyaan menarik karena dua hal: Pertama, sistem politik demokrasi liberal yang sedang dipraktekkan makin membuat bangsa ini fakir, terpecah dan mahal. Kedua, sistem yang sedang kita nikmati hanya melahirkan KKN dan oligarki.

Mungkin, perlu dipahami betul bahwa sistem demokrasi (liberalistik) berbeda dengan sistem majlis mandataris (MPR). Sebab, kalau demokrasi liberal diperlakukan di Indonesia maka ia terbukdi menjadi mesin pembunuh “kedaulatan rakyat dan kedaulatan bangsa.” Yang muncul adalah kedaulatan partai dan pemiliknya.

Sebaliknya, dalam sistem majlis-mandataris, posisi kedaulatan rakyat dan bangsa menjadi kontrol terhadap mandataris. Selanjutnya, sistem ini membutuhkan institusi kedaulatan rakyat dan bangsa yaitu MPR (Majlis Permusyawaratan Rakyat).

Sejak awal diperjuangkan, para pembentuk dan para perumus NKRI, mereka mencatat dan berkonsensus bahwa dalam proklamasi, pembukaan UUD45 dan batang tubuhnya tidak pernah mengkonstruksi Indonesia sebagai negara demokrasi liberal.

Yang muncul justru Indonesia yang kedaulatannya, idiloginya, konstitusinya dan sistem ekopolnya dikonstruksi kedalam sistem permusyawaratan perwakilan dan sistem majlis-mandataris (MPR).

Mengapa para pendiri bangsa merekonstruksi negara ini tidak menggunakan demokrasi liberal? Ada dua alasan. Pertama, karena Indonesia dibentuk atas dasar kesepakatan dari raja, ketua adat/suku, pimpinan keagamaan, bahasa dan sultan sehingga bangsa Indonesia terdiri atas suku, ras dan agama serta daerah yang berbeda-beda. Dengan kondisi ini dibutuhkan wadah kedaulatan perwakilan tertinggi yaitu MPRRI.

Kedua, ada kritik dan evaluasi yang cukup keras pada sistem demokrasi liberal di dunia lain (karena daulat modal, menyembah pasar) dan kritik terhadap bentuk kerajaan yang feodal (karena daulat klan, menyembah keturunan). Sehingga ditemukanlah “sintesa dari keduanya.” Yaitu sistem yang apresiatif terhadap warisan kebaikan masa lalu dan adaptif dari kebaikan masa depan. Yaitu sistem majlis-mandataris yang daulat rakyat, daulat bangsa agar martabatif di dunia; raya karena sentausa.

Atau bagaimana menurut tuan/puan?

Atau, mari kita mulai lagi dengan pertanyaan lainnya. Apakah inti dari demokrasi pancasila yang ada? Gotong-nyolong. Tak percaya? Kecuali penuhnya penjara akibat KPK, kini mari kita cek satu-satu. Hari ini dan sejak kemarin, kita merasakan bahwa: 1)Kedaulatan ada di tangan elit rakus; 2)Keputusan politik berdasarkan kepentingan penguasa; 3)Cara pengambilan keputusan melalui voting dan jual-beli suara;

4)Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi. Selebihnya semua partai politik menjadi milik keluarga; 5)Tidak diakui adanya hak warganegara. Yang ada hanya kewajiban saja;

6)Tidak menghargai hak asasi manusia; 7)Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan kritik yang membangun; 8)Tidak menganut sistem prestasi dalam pemilihan pelayan warga negara; 9)Pemilu dilaksanakan dengan modal hutang dan curang; 10)Memelihara diktator mayoritas dan tirani minoritas;

11)Mendahulukan kepentingan asing dan aseng; 12)Pro konglomerasi; 13)Hanya bertumpu pada pertumbuhan minus pemerataan; 14)Menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme; 15)Meninggalkan asas konsensus berbasis konstitusi; 16)Polri, TNI dan BIN ikutan berpolitik praktis dan berbisnis plus jadi centeng konglomerat.

Tentu masih banyak yang lain. Terlalu banyak bahkan. Sampai malu kalau disebutkan bersama. Intinya, secara ontologi, epistemologi dan aksiologi, demokrasi pancasila yang sedang kita jalani cukup komprehensif: KKN. Terciptalah kemiskinan, ketimpangan, kepengangguran, kebodohan, ketergantungan dan kecemasan-kesakitan yang stabil di akar rumput.

Tentu, segelintir elitenya dalam posisi sebaliknya. Makin kaya dan terlindungi plus bahagia di tengah derita sesama. Intinya, ide arsitektur politik majlis ini keren di antara yang tak keren. Sayang, tak dipraktekkan elite dan tak dimengerti banyak ilmuwan serta tak diimpikan rakyat kebanyakan.(*)

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

3 Responses

  1. bdsm videosNovember 14, 2024 at 6:30 am

    … [Trackback]

    […] Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/yudhie-haryono-desain-politik-majelis-di-indonesia/ […]

  2. moreNovember 24, 2024 at 2:16 am

    … [Trackback]

    […] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/yudhie-haryono-desain-politik-majelis-di-indonesia/ […]

  3. webcamsJanuary 14, 2025 at 7:17 am

    … [Trackback]

    […] Read More Information here to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/yudhie-haryono-desain-politik-majelis-di-indonesia/ […]

Leave a Reply