Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.
Novel dengan judul: Bersujud di Atas Bara ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
Mujahid mengakhiri pembicaraan Mereka. Terdengar suara jam tetangga berdentang sembilan kali. Mujahid mendongak memperhatikan jam yang tergantung di atas meja belajarnya. Pukul sembilan malam tepat. Mujahid menggeser tempat duduknya ke belakang, kemudian menggeliat sambil bergerak ke depan televisi untuk menyaksikan siaran Dunia dalam Berita yang menjadi
kegiatan rutinnya tiap malam.
Sejak Babrak Karmal yang dibantu tentara Uni Soviet mengambil-alih kekuasaan dari Hafizullah Amin, Dunia dalam Berita selalu memberitakan kisah-kisah kejamyang dialami oleh rakyat Afghanistan. Berita duka mereka muncul silih berganti dengan berita herois tentang perlawanan para Mujahidin yang ingin membebaskan negaranya dari tentara asing. Wajah-wajah para pejuang yang menggunakan pakaian tradisional Afghanistan, baju dan celana longgar dengan serban di kepala dan senjata AK-47 di tangan selalu muncul di layar kaca. Setiap kali menyaksikan berita dari Afghanistan, darah muda Mujahid bergejolak, kadang-kadang Ia melampiaskan kemarahannya dengan cara meninju atau menendang udara di sekelilingnya.
Keesokan harinya, seperti biasa sore menjelang Magrib, Mujahid tiba di Masjid Syuhada. Setelah shalat Sunnah dua rakaat, seorang teman yang juga anggota pengajian di situ menghampirinya.
“Apakah Antum sudah tahu, ada jalan pintas ke surga?”, tanya temannya itu pelan.
“Belum”, sahut Mujahid penasaran.
“Saudara-saudara Kita di Afghanistan memerlukan bantuan untuk melawan tentara kafir Uni Soviet. Afghanistan adalah salah satu jalan pintas menuju surga”.
“Aku tahu, tapi bagaimana caranya agar bisa kesana?”, kejar Mujahid.
“Kalau Antum tertarik ikut berjuang di Afghanistan, akan ada yang mengurus semuanya”.
Mujahid tidak bertanya lagi, juga tidak berkomentar. Ia hanya menatap wajah temannya itu, kemudian secara perlahan mengalihkan pandangannya ke arah lantai tempat Ia bersujud. Ia merunduk sambil memejamkan matanya dengan rapat sembari membiarkan pikirannya bergerak kemana-mana. Muncul wajah sang Ibu yang menginginkan dirinya menjadi insinyur. Sang Ibu bekerja keras dengan berdagang berbagai jenis bahan pokok di depan rumahnya untuk membiayai kuliahnya. Kemudian muncul wajah sang Ayah, yang bekerja sebagai guru agama, yang berharap dirinya setelah lulus nanti bisa membantu adik-adiknya. Kemudian muncul lagi wajahwajah sahabat dan teman di kampungnya, bagaimana reaksi mereka nanti bila dirinya tidak pernah kembali lagi karena gugur dalam medan perjuangan? Pikirannya terus menerawang.
Tanpa sadar Masjid sudah sepi. Mujahid melihat ke dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Ia pulang ke tempat Kostnya. Sesampainya di rumah Ia langsung ke belakang untuk mengambil wudhu. Ia masuk kamar, mengambil Al-Quran lalu membacanya pelan di ujung tempat tidurnya. Setelah terasa lelah dan matanya mulai mengantuk, Ia mencoba untuk tidur. Perlahan matanya memejam, tapi kantuk yang diharapkannya tidak kunjung datang. Ia berkali-kali membolak-balik tubuhnya. Hatinya yang gelisah mengalahkan rasa lelah dan mengusir rasa kantuknya.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.
Gagal tidur, Mujahid pergi ke belakang mengambil wudhu kembali. Jam di dinding kamarnya sudah menunjukan pukul satu dini hari. Ia membentangkan sajadah dan memulai shalat malam. Seusai shalat lalu Ia berdoa, “Ya Allah! Tuhan yang Mahatahu dan Mahabijaksana. Tunjukilah hamba jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri petunjuk. Engkau tahu apa yang baik untuk diri hamba, keluarga hamba, dan umat Islam secara keseluruhan. Bulatkanlah tekad hamba, mantapkanlah hati hamba, berilah secuil keberanian sebagaimana Engkau telah berikan kepada para syuhada dan pejuang Islam terdahulu. Berkat keberanian merekalah Islam menjadi tegak dan harum di bumi…”
BACA JUGA:
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-3): Menjadi Jamaah Pengajian
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-4): Mendengar Perintah Jihad
- Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-5): Mudik Lebaran
Mujahid mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Ia merasa lebih tenang sekarang. Ia lalu merebahkan kepalanya ke bantal dan langsung tertidur pulas. Semakin hari hatinya semakin mantap. Ia sudah bertekad akan berangkat berjihad ke Afghanistan. Persoalan yang muncul kemudian, bagaimana cara memberitahu orang tuanya dan mendapatkan izin mereka? Kalau dIsampaikan secara jujur, pasti orang tuanya akan keberatan. Tapi kalau berangkat diam-diam tanpa memberitahu Mereka, pasti Mereka akan panik. Mujahid tidak ingin membuat susah Mereka. Berhari-hari Ia menimbang-nimbang sembari mencari jalan keluar. Setiap kali shalat, Mujahid selalu berdoa memohon petunjuk, sampai akhirnya Ia menemukan jawaban.
Mujahid akhirnya menulis surat kepada orang tuanya. Ia sengaja menggunakan surat, bukan telepon seperti biasa, agar orang tuanya tidak banyak bertanya. Selain itu, dengan surat ia bisa menjelaskan secara lengkap alasan kepergiannya. Dalam suratnya Ia menulis,
“Abah dan Ibu tercinta, Ananda merasa betapa besar kasih sayang yang Ananda terima selama ini dari Abah dan Ibu. Betapa besar pengorbanan yang Abah dan Ibu berikan untuk masa depan Ananda. Tentu Ananda tidak ingin mengecewakan keinginan dan harapan Abah dan Ibu. Ananda sekarang merasa masa depan dan sukses Ananda bukanlah di perguruan tinggi. Ananda melihat ada jalan lain yang lebih cocok bagi potensi diri, bakat, dan minat Ananda. Izinkan Ananda mencobanya. Kebetulan ada kesempatan untuk mendapatkannya kerja di Arab Saudi. Di samping itu, kesempatan ini akan Ananda manfaatkan untuk menimba pelajaran agama di Tanah Suci, tanah para Nabi dan Sahabat. Insya Allah pada saatnya, Ananda akan kembali ke bangku kuliah. Mohon pengertian Abah dan Ibu, sekaligus Ananda harapkan restunya. Terimalah salam dan hormat Ananda. Maafkan bila ada kata-kata yang keliru atau kurang sopan.”
Ketika surat itu sampai, Bu Bisri kaget saat membaca nama Anaknya di balik amplop yang dipungutnya di bawah pintu. Ini tidak seperti biasanya, pikirnya. Ia tahu betul bahwa Mujahid paling susah disuruh menulis surat. Pasti ada sesuatu, pikirnya. Ia membawa surat itu ke kamar. Pelan-pelan dibukanya surat itu. Dadanya berdetak keras, bibirnya bergetar saat membaca kalimat demi kalimat. “Kalau bosan kuliah, kenapa tidak pulang saja, Nak?”, komentarnya dalam hati. Maklum Mujahid adalah Anak tertua. Semua adik-adiknya masih di kampung. Di samping itu, sang Ibu tidak pernah punya pengalaman berpisah jauh dengan keluarga. Semua saudaranya hidup dan bekerja di kabupaten yang sama. Paling jauh beda kecamatanSaat Pak Bisri tiba, Istrinya langsung menyongsongnya,
“Pak ada surat dari Mujahid,” katanya sambil menyodorkan surat yang digenggamnya.
“Tumben Bu”, respon Pak Bisri sambil membawa surat itu ke ruang tamu. Ia kemudian mengeluarkan kacamatanya dari tas kulit tua yang dibawanya, sambil mendekati kursi. Secara perlahan dibukanya surat itu. Setelah membacanya, Ia memasukan kembali surat itu ke dalam amplopnya.
“Makan siang sudah siap, Bu?”, tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana Anak Kita, Pak?”, tanya Bu Bisri penasaran.
“Anak itu ibarat anak panah, sementara orang tua itu busurnya. Begitu Ia sudah lepas dari busurnya, maka merekalah yang menentukan arah yang dianggap tepat. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengawasi, mengingatkannya sambil berdoa”, jawabnya.
“Mujahid itu punya sakit asma, Pak! Bagaimana kalau Ia sakit? Siapa nanti yang akan merawatnya? Apalagi Arab Saudi itu iklimnya panas, berbeda jauh dengan udara di Indonesia”, komentarnya cemas.
“Sudahlah, Bu! Anak Kita sudah dewasa. Sudah kuliah lagi. Percayalah! Insya Allah Ia bisa mengatasinya. Mudahmudahan
Ia menjadi lebih dewasa di rantau”, sahut sang Ayah menenangkan.
Meskipun di depan sang Ibu tampak tenang, tapi hati Pak Bisri juga risau. Sejak merasakan perubahan perilaku Anaknya saat liburan lebaran tempo hari, Ia terus mencari tahu dan memantau kegiatan Mujahid melalui sahabat-sahabat Anaknya itu di Surabaya. Ia mendapat laporan secara rutin apa saja yang dikerjakan sang Anak. Ia sedikit curiga dan firasatnya mengatakan Mujahid menyembunyikan sesuatu dibalik rencana kepergiannya. Tapi dia yakin bahwa kedewasaan dan ketaatan Anaknya pada agama akan membimbingnya ke jalan yang benar. Ia pasrah. Dan kerisauannya Ia simpan sendiri. Setelah yakin istrinya bisa menerima walaupun dengan berat hati. Pak Bisri lalu pergi ke wartel yang berada di perempatan jalan besar kecamatan. Ia menelepon Mujahid di rumah kontrakannya.
“Abah yakin Kamu sudah memikirkannya masakmasak. Abah dan Ibu tentu tidak ingin menghalanghalangi cita-cita dan keinginanmu. Abah dan Ibu hanya bisa mengiringimu dengan doa. Pesan Abah, jangan lupa shalat lima waktu. Pandai-pandailah membawa diri. Bantulah kesulitan temanmu, karena mereka menjadi pengganti keluarga di rantau. Kalau ada waktu senggang berkirim kabarlah agar Ibumu senang!”, katanya panjang lebar pada Anak sulungnya dari balik telepon.
(Bersambung…)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Profinet ConnectorDecember 19, 2024 at 8:25 am
… [Trackback]
[…] Read More here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-bara-seri-6-mengambil-keputusan-sulit/ […]
cinemakickJanuary 4, 2025 at 2:46 pm
… [Trackback]
[…] Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-bara-seri-6-mengambil-keputusan-sulit/ […]