Tulisan berseri ini diambil dari Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini. Atau pesan langsung bukunya pada redaksi zonasatunews.com dengan nomor kontak WA: 081216664689
Novel “SAFARI” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata yang dialami sejumlah mahasiswa yang kuliah di luar negri dikombinasi dengan pengalaman pribadi penulisnya. Seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu di negara maju, ditopang oleh idealisme berusaha memahami rahasia kemajuan negara lain yang diharapkan akan berguna bagi bangsa dan negaranya saat kembali ke tanah air.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
Cover Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah.
SERI-6
Memimpin PPI
Bulan itu juga, sesuai hasil Kongres, Aku mulai memimpin PPI di Jerman. Dua minggu sekali Aku gunakan waktu untuk bertemu teman-teman pengurus di Berlin. Waktu yang sama Aku gunakan juga untuk bersilaturahmi dengan Pak Dubes.
Aku diberi jatah kamar di Wisma KBRI yang posisinya berada di samping belakang dan bagian dalamnya terhubung dengan ruang utama. Kamar ini biasa digunakan untuk tamu-tamu negara yang datang dari Tanah Air. Selain jalan masuk utama yang biasa digunakan Pak Dubes dan keluarga serta kalau ada acara-acara resmi, ada jalan tersendiri bagi tamu yang tampaknya secara sengaja dirancang, sehingga Aku leluasa keluar dan masuk Wisma tanpa mengganggu keluarga Pak Dubes.
Suatu saat, ketika Aku sedang beristirahat sambil menonton TV sesudah makan malam, kamarku diketuk pelan. Aku buka pintu dengan tergesa-gesa.
“Ada apa, Bu?”, tanyaku spontan saat melihat yang berdiri di depanku adalah Bu Atik.
“Kalau tidak cape, mohon bantuannya!”.
“Dengan senang hati”, kataku sambil mengambil sandal di bawah tempat tidur.
“Emangnya ada yang rusak?”, tanyaku sambil berjalan di sampingnya.
Kupikir mungkin ada saklar listrik yang tidak berfungsi atau kran air yang tidak beres.
“Tidak. Ibu minta Kamu membantu Vera mengerjakan tugasnya. Ia dapat tugas komputer”.
Mendengar nama anaknya disebut jantungku berdenyut lebih kencang. Aku berusaha mengendalikan diri agar nada bicaraku tidak berubah. Aku ambil nafas panjang, kemudian melepaskannya secara perlahan. Ada perasaan gembira tapi disertai perasaan grogi. Aku diantar ke ruangan belajarnya yang sangat mewah dibanding ruanganku. Banyak boneka besar dan kecil koleksinya berserakan. Ia berdiri sambil menjulurkan tangannya penuh percaya diri.
“Perkenalkan, namaku Vera”, katanya tenang.
“Aku Amil”, jawabku gugup sambil merunduk tak kuasa bertahan saat beradu pandang.
“Ibu buatin minum ya”, kata Bu Atik sambil meninggalkan Kami berdua.
Vera menarik kursi kosong ke sebelah kursinya, dan mempersilakan Aku duduk di sebelahnya.
“Bang, ini lo yang bikin Aku mumet”, katanya sambil mengklik file tetentu di layar dengan menggunakan mouse di tangan.
Aku tidak konsentrasi duduk di sebelahnya. Untuk menutupi kegerogianku, aku mengambil mouse-nya saat dilepas, kemudian menggerak-gerakkannya sambil pura-pura bertanya. Ia kemudian menempelkan tangan kanannya di atas tanganku yang sedang memegang mouse. Aku menarik nafas panjang lagi untuk mengendalikan dadaku yang naik-turun seperti digedor-gedor dari dalam. Aku tidak kuasa menghindar. Perasaanku senang bercampur takut. Khawatir kalau tiba-tiba ibunya nongol. Cepatcepat Aku menarik tanganku dengan halus agar Ia tak tersinggung.
“Tolong Aku diambilkan kertas kosong agar bisa menunjukkan bagaimana bentuk flow chart-nya, sebelum program disusun. Tanpa flow chart seringkali orang bingung untuk Menyusun logika programnya, khususnya bagi programmer pemula yang belum berpengalaman”, saranku.
la melompat dengan lincahnya mengambil kertas dan pensil, kemudian Aku menggambarkan alur pikirnya dengan menggunakan simbol-simbol baku serta makna tiap-tiap simbol tersebut. Bagi programmer yang sudah berpengalaman, gambar flow chart seperti ini tidak diperlukan, karena ia cukup berada di kepala. Alhamdulillah, semuanya beres. Aku menyodorkannya padanya. Vera langsung mengerti. Karena itu, Aku menyimpulkannya Ia cukup cerdas. Aku langsung pamitan, agar segera bisa terlepas dari situasi mencekam di sisinya. Dua minggu kemudian, ketika Aku kembali menginap di Wisma KBRI, kamarku mendapat ketukan lagi.
“Wah pasti bu Atik lagi”, pikirku.
Aku bergegas membuka pintu. Aku kaget. Jantungku serasa meronta kencang. Ternyata yang berdiri di depan pintu adalah Vera.
“Tolong dong, Bang, ajari aku lagi!”, pintanya dengan manja.
Aku menarik nafas panjang.
“Sebentar ya, Aku shalat Isya dulu, sesudah shalat aku ke
ruang belajarmu”, jawabku.
Ia pergi sambil bersiul. Aku teringat jari-jarinya yang panjang dan halus saat mendekap tanganku dan lentik bulu matanya yang asli alami saat kepalanya mendekat. Aku menggunakan alasan shalat agar bisa mengatur nafas dan mengatur emosiku. Rasanya saat inilah Aku shalat paling tidak khusuk. Dua minggu berikutnya Aku putuskan untuk bermalam di rumah Ikhsan, agar peristiwa serupa tidak terulang. Agar Pak Dubes tidak tersinggung, Aku pamitan dengan alasan agar ada banyak urusan PPI yang harus dibicarakan dengan sejumlah teman yang akan datang menemuiku, dan berdiskusi sampai larut malam.
Sebelum kembali ke Aachen, Aku minta bantuan Ikhsan untuk mengantarku sekaligus mengenalkanku pada organisasi-organisasi serupa PPI yang berasal dari negara lain. Ikhsan heran mendengar permintaanku, dan Aku juga heran melihat responsnya.
“Untuk apa?”, tanyanya.
“Untuk membangun komunikasi. Siapa tahu dengan jaringan dan potensi yang Mereka miliki Kita bisa membantu kawan-kawan kita”, jawabku.
“Kalau begitu kita ke KBRI aja, minta bantuan ke Pak Agus”, sarannya.
“Pak Agus siapa?”, tanyaku.
“Pak Agus adalah Atase Pendidikan di KBRI. Beliau termasuk salah seorang yang sangat aktif dalam kegiatan dakwah. Kenalannya banyak, termasuk dengan berbagai lembaga dakwah yang dikelola orang-orang asal Turki dan Arab di Berlin”.
Baca Juga:
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-4): Konggres PPI
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-5): Kelebat Merpati Putih
Ketika berjumpa dengan Pak Agus, Aku surprise, ternyata dia adalah orang yang menjadi Imam sekaligus Khatib shalat Jumat di KBRI saat Aku pertama kali ke Berlin. Orangnya ramah dan sangat bersahaja. Ia menyambut keinginanku dengan antusias, bahkan menawarkan diri untuk mengantar Kami. Aku gembira sekali atas responsnya. Beliau langsung mengeluarkan mobil dinasnya berupa Sedan Mercy berwarna hitam. Beliau mengendarai sendiri. Aku dipersilahkan duduk di depan di sampingnya, sementara Ikhsan duduk di kursi belakang.
“Kelihatannya Bapak cukup familier dengan Berlin”, kataku menyelidik.
“Oh Saya lima tahun di Jerman saat mengambil program doktor sebelum diangkat sebagai Atase. Setelah lulus selama empat tahun, Saya kembali ke Tanah Air untuk mengajar di ITS Surabaya, almamater Saya”.
“Senang dong, Pak, dinas di sini”, komentarku memancing agar beliau lebih banyak bercerita.
“Kalau masalah senang atau tidak itu relatif. Yang membuat Saya betah di sini justru karena tantangan dakwahnya”.
“Maksudnya?”, tanyaku mengejar karena tak faham apa yang dimaksud.
“Begini, kalau di Indonesia Kita mau shalat di mana-mana ada masjid. Tapi, di sini hanya di tempat-tempat tertentu yang komunitas Islamnya besar baru ada masjid. Juga masalah makanan, tidak mudah mendapat makanan halal”.
“Pak Agus kini menjadi Ketua panitia pembangunan masjid komunitas Indonesia di Berlin”, kata Ikhsan menambahkan.
“Alhamdulillah”, komentarnya dengan nada merendah.
“Tempat ini, selain untuk ibadah, juga nantinya diharapkan akan bisa dijadikan Kantor Forkom”, sambung Pak Agus dengan nada merendah.
“Apa itu Forkom?”, tanyaku.
“Forkom adalah Forum Komunikasi Masyarakat Muslim, sebuah organisasi dakwah yang anggotanya warga Muslim asal Indonesia,” jawab Pak Agus sambil memperlambat mobilnya. Mobil kemudian menepi dan berhenti di depan sebuah bangunan tua empat lantai. Di seberangnya ada jalan kereta api. Di Kota Berlin semua jalur kereta berada di atas seperti jalan layang di Jakarta, sehingga tidak mengganggu lalu lintas yang bergerak di bawahnya. Di depan bangunan terpampang tulisan dengan huruf besar, INSAN, yang tampaknya merupakan nama yayasan itu. Sedangkan di bawahnya tertulis ISLAMIC RELIEF, penjelasan nama organisasi. Kemudian pada bagian paling bawah tertulis GITSCHINER STRASSE 17, yang merupakan alamat kantor tersebut.
Pak Agus yang berjalan paling depan lalu mendorong pintu depan kantor itu sembari mengucap, “Assalamu’alaikum”.
Seorang gadis berkulit Putih kemerahan, berhidung mancung dan bermata Biru yang duduk di belakang meja panjang penerima tamu menjawab, “Waalaikum Salam. Marhaba Bikum”.
Pak Agus lalu menghampirinya dan mengutarakan maksud kedatangannya dengan menggunakan Bahasa Jerman. Kami bertiga dipersilahkan duduk dan menunggu, sementara gadis itu langsung mengangkat telepon, berbicara dalam bahasa Jerman. Kami lalu diantar menuju sebuah ruangan. Seorang lelaki setengah baya memakai jas dan dasi dengan jenggot lebat tertata rapi yang sudah berwarna dua, berdiri menyongsong kedatangan Kami. Melihat raut wajahnya nampak jelas sekali Ia berdarah Turki.
Ia kemudian memeluk erat Pak Agus, lalu menempelkan pipi Kiri dan Kanannya secara bergantian, kemudian menyalami Aku dan Ikhsan.
Kelihatannya Pak Agus sangat akrab dengan lelaki tersebut. Pak Agus lalu mengenalkan Kami secara bergantian, serta maksud kedatangan Kami. Lalu Aku disodori blangko untuk diisi nama, alamat rumah, nomor telpon, dan email. Orang itu lalu mengambilkan beberapa brosur yang berisi program dan berbagai aktivitas yang dilakukan yayasannya. Aku membolak-balik brosur-brosur berwarna yang dilengkapi gambar-gambar dan alamat websitenya.
Dengan membaca penjelasan singkat yang ada Aku mengerti kalau ini adalah organisasi dakwah yang lintas etnik, yang sebagian besar anggotanya berasal dari Turki, Arab, Pakistan, India dan Bosnia. Aku akan membuat nama Indonesia tercantum dalam brosur ini, tekadku dalam hati. Pada brosur yang lain ada penjelasan bahwa organisasi ini juga memiliki sayap pemuda bernama Muslimiche Jugend.
“Nama dan alamat email Anda sebentar lagi akan dimasukkan ke komputer. Anda akan menerima secara regular News Letter, info penting lewat email atau bisa membuka website kami dengan alamat seperti tertulis pada bagian depan brosur ini”, kata lelaki setengah baya itu sambil menunjuk brosur yang baru saja diberikan padaku.
Dalam ruangan yang tidak terlalu besar, Kami berdialog tentang berbagai kegiatan yang lembaga ini lakukan, mulai yang sifatnya strategis seperti bagaimana berdakwah di sebuah negara yang secara ilmu, sain, teknologi sudah sangat maju. Kemudian masyarakat Muslim yang sebagian besar merupakan migran yang membawa budaya dan pandangan agama yang beragam sesuai dengan negara asalnya, sampai bagaimana memberikan Pendidikan Islam kepada anak-anak mereka. Setelah puas berdiskusi, Kami kemudian pamitan.
“Kita sekarang ke masjid terbesar yang ada di Berlin”, kata Pak Agus sambil menuju ke mobilnya.
Masjid itu bernama Sehitlik. Mungkin karena susah mengingat namanya orang Indonesia lebih suka menyebutnya Masjid Turki, karena pengelolanya memang komunitas Turki. Di Berlin pada umumnya masjid dikelola oleh yayasan-yayasan yang didirikan oleh komunitaskomunitas yang terbentuk berdasarkan asal negara. Selain komunitas Turki yang merupakan komunitas Islam terbesar di Jerman, ada juga masjid yang dikelola oleh komunitas Arab atau Pakistan. Pola serupa terjadi hampir di semua daratan Eropa Barat. Kalau di Inggris yang terbesar adalah keturunan India dan Pakistan. Sementara di Perancis dan Spanyol banyak keturunan Afrika utara seperti dari Aljazair, Tunisia, dan Maroko.
Adanya komunitas tersebut tidak bisa dipisahkan dari faktor kesejarahan negara-negara asal mereka. India, termasuk Pakistan, misalnya pernah dijajah oleh Inggris, sementara Aljazair dan Tunisia pernah dijajah oleh Perancis. Sedangkan antara Maroko dan Spanyol memiliki hubungan yang agak berbeda, karena lewat Maroko Ummat Islam memasuki Spanyol dan menetap hampir delapan abad. Setelah terusir, Maroko paling banyak menampung para pengungsi, yang kemudian menetap. Dengan demikian tidak saja hubungan mereka diikat oleh kesejarahan yang panjang dan geografis yang dekat, juga oleh hubungan darah.
Orang-orang Islam asal Afrika hitam, meskipun jumlahnya juga cukup besar, jarang memiliki masjid sendiri. Mungkin hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi mereka yang tidak sebaik komunitas lainnya.
Aku mendengar sebelum tragedi 11 September yang meruntuhkan gedung WTC di New York, pemerintah dan para pengusaha Arab Saudi serta negara-negara Arab Teluk kaya minyak suka membangun masjid atau memberikan bantuan pada masjid-masjid yang dikelola oleh komunitas Arab. “Tapi kini bantuan itu hampir terhenti dan dihalang-halangi karena dicurigai dana-dana bantuan itu akan disalah gunakan oleh kelompok-kelompok militan”, cerita Pak Agus sambil mengendarai mobilnya.
Jalan-jalan di kota Berlin rata-rata cukup lebar sehingga tidak tampak ada kemacetan yang berarti. Mungkin juga karena baiknya transportasi publik dan banyaknya pilihan sarana angkutan kota, seperti kereta bawah tanah dan bus umum yang aman dan nyaman ke semua jurusan. Gedung-gedungnya juga tidak terlalu tinggi dan sebagian besar peninggalan lama. Menurut Pak Agus ada kebijakan Pemerintah Kota untuk mempertahankan Gedung-gedung lama, karena itu jika kita mau merenovasi kantor atau rumah susahnya setengah mati. Disamping harus lapor dan meminta persetujuan, juga yang boleh diubah hanya bagian dalamnya seja, sementara bagian luarnya harus tetap dipertahankan seperti bentuk semula.
Setelah melewati Pangkalan Udara Amerika, Kami memasuki kawasan yang cukup hijau. Dipinggir jalan utama yang cukup lebar tampak menjulang menara masjid dengan kubahnya yang khas.
“Masjid yang dibangun oleh orang-orang Turki di manamana serupa, sangat berbeda dengan bentuk masjid yang dibangun oleh orang-orang Arab atau Pakistan”, kata Pak Agus saat menghentikan mobilnya di pelataran di samping masjid.
Aku teringat dengan cerita Mustafa si penjual kebab yang mengatakan bahwa masjid-masjid Turki di mana pun berada bentuknya serupa: menaranya menjulang dan bagian ujungnya berbentuk lancip, kubah utamanya berbentuk setengah bola dan dikitari oleh kubah-kubah
yang lebih kecil berbentuk seperempat bola. Katanya, bentuk ini merupakan duplikat dari Masjid Biru atau Blue Mosque yang berada di Istanbul. Masjid Biru merupakan masjid yang paling indah di Turki, sehingga dijadikan ikon Kota Istambul.
Saat memasuki halaman masjid Aku melihat puluhan makam yang bersih dan terawat baik. Mataku tertumbuk pada batu nisan yang agak berbeda dari yang lainnya, terbuat dari marmer hitam dengan tulisan besar, “Mas Prasetyo Soeharto. Lahir: 14 Djanuari 1931 di Bandung, Indonesia. Wafat: 18 April 1957”.
“Bagaimana ceritanya ada makam orang Indonesia di sini?”, tanyaku sambil menoleh ke arah Pak Agus.
“Tidak banyak yang tahu. Tapi ada yang mengatakan beliau adalah orang Indonesia yang cukup dekat dengan komunitas Turki di sini dan aktif dalam dakwah”, kata Pak Agus sambil berjongkok dan menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa.
Aku mengikuti dengan mengangangkat kedua tanganku untuk ikut berdoa di sampingnya. Kami lalu menuju ke tempat wudhu untuk mengambil wudhu. Seorang petugas pembersih berwajah Turki setengah baya menyodorkan sandal kepadaku. Aku melepas sepatu kemudian meletakannya di locker. Setelah mengambil wudhu Kami memasuki ruang utama masjid untuk shalat sunah dua rakaat.
Masjid ini berlantai dua, bersih dan indah sekali. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna Merah. Dindingnya penuh kaligrafi dan Arabes dengan berbagai bentuk, kombinasi antara garis, lengkung, bentuk daun dan bunga.
“Orang Turki memang luar biasa. Selain merupakan komunitas Muslim terbesar di Jerman, mereka juga sangat aktif dalam gerakan dakwah. Ini adalah salah satu masjid yang dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah yang cukup aktif”, kata Pak Agus saat memerhatikan kekagumanku pada ornamen dan interior masjid.
“Kalau duplikatnya saja begini indah, bagaimana yang asli!”, pikirku.
“Sekarang waktunya makan siang. Saya akan mentraktir Anda?”, kata Pak Agus sambil berjalan ke pintu keluar.
“Makan di mana, Pak?”, tanyaku.
“Yang pasti halal”, jawabnya pendek.
Mobil berhenti di daerah perumahan dengan bentuk seperti rumah susun di Jakarta, tapi cukup bersih, tidak tampak dari luar cucian bergelantungan. Aku membaca ada tulisan dengan huruf besar: EL REDA. Di bawahnya tertulis, Lebanon & Iran Food, Halal Food. Beralamat di Jalan Huttenstr 69-70 Berlin. Aku melihat wanita-wanita berjilbab dan laki-laki berjanggut lebat lalu-lalang di daerah ini.
“Ini daerah komunitas Muslim terbesar di Berlin bernama Tiergarten”, kata Pak Agus.
“Apakah ada orang Indonesia yang tinggal di daerah ini?”, tanyaku ingin tahu.
“Banyak orang Indonesia tinggal di daerah ini, tapi sebagian besar tentu berasal dari Turki dan Arab”.
Kami memesan kambing bakar yang juga disebutnya kebab dengan nasi yang separuhnya Putih dan separuhnya lagi berwarna Kuning tercampur tidak merata. Dihidangkan bersama tomat bakar. Ada juga sambal yang rasanya cukup pedas mirip sambal Indonesia.
“Dulunya kalau mereka bikin sambal tidak pedas, sehingga kalau orang Indonesia makan di sini ngambilnya banyak sekali. Akibatnya sambal mereka cepat habis. Sekarang mereka sudah pintar, dibuatnya sangat pedas sehingga orang-orang yang makan ngambilnya sedikit. Dengan demikian sambel jadi awet”, kata Pak Agus sambil menyeruput teh panas.
Aku tertawa geli mendengarnya.
(Bersambung…..)
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ
Related Posts

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik

Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata

Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja

Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana




สล็อต ฝากถอน true wallet เว็บตรง 888pgSeptember 18, 2023 at 11:33 am
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
เว็บสล็อตDecember 19, 2023 at 7:20 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
Packman Grapple Berry FritterFebruary 10, 2024 at 8:52 pm
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
Anya Belcampo scandalMarch 19, 2024 at 9:37 am
… [Trackback]
[…] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
sahabatqq loginApril 19, 2024 at 3:09 pm
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
ทัวร์เกาะหลีเป๊ะJuly 18, 2024 at 7:51 am
… [Trackback]
[…] Find More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
SEO premium buy nowAugust 19, 2024 at 9:26 pm
… [Trackback]
[…] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
apk bet winnerAugust 29, 2024 at 11:19 pm
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
i loved thisOctober 27, 2024 at 8:26 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]
บับเบิ้ลกันกระแทกNovember 23, 2024 at 9:28 am
… [Trackback]
[…] Find More Info here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-6-memimpin-ppi/ […]