Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-4): Kuliah Pertama

Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).

Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.

Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.

Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.

Foto Ilustrasi: Jalur Sutra (garis merah), jalur Rempah (garis biru)

Trending

Hikmahanto Juwana: Mengurai Kecerdikan Singapura Dalam Perjanjian FIR

**********************************************************

SERI-4

Kuliah Pertama

“Buenos Dias, Usted.” Aku menyapa dosen pembimbing yang sudah akrab denganku. “Usted” merupakan kata yang lazim digunakan untuk menyebut orang yang kita hormati. Konon kata ini diadopsi dari bahasa Arab. Makna harfiahnya guru. Panggilan “Usted” lebih disukai dibanding “Profe”. “Usted” menyiratkan keakraban, dan tetap menjaga kesopanan; Sementara “Profe” lebih  bersifat formal.

“Buenos dias. Encantado. Que tal?” Beliau membalas sapaanku, sembari mengungkapkan kegembiraannya bertemu kembali. Lalu ia menanyakan kabarku dalam bahasa Spanyol.

“Bien y muy bien,” jawabku menyampaikan bahwa kabarku sangat baik.

“Por favor,” katanya mempersilakan aku duduk di kursi di hadapannya.

Di sampingku sudah duduk dua lelaki. Yang satu terlihat tinggi dengan rambut kekuningan. Satunya lagi juga berkulit putih, meski sedikit lebih gelap, dengan rambut kehitaman.

Setelah aku duduk, Usted memperkenalkan mereka sebagai mahasiswa bimbingannya, yang juga mengambil S-3. Meski topik kami berbeda, tetap saling terkait. Karena itu, beliau meminta kami untuk sering berdiskusi.

Satu-persatu kami memperkenalkan diri. Yang tinggi bernama van Basten, dari Belanda.  Tugas akhir S-1-nya tentang sejarah dan kolonialisme Belanda di berbagai belahan bumi. Sementara S-2-nya tentang sumbangan Hindia Belanda untuk kemajuan Nederland. Satunya lagi Alfonso Parera, dari Portugal. Ia pendeta Katolik yang mengambil S-2nya tentang jejak bangsa Portugis dan peninggalannya di berbagai negara.

Setelah itu, Usted memulai bimbingannya.

“Saya memulai kuliah pertama dengan menceritakan perjalanan Christopher Columbus, hingga menemukan Benua Amerika. Columbus adalah pelaut dari kota pelabuhan, Genoa, yang kini masuk wilayah Italia. Ia berinisiatif berlayar ke barat sebagai jalan pintas mencapai India. India merupakan sumber rempah-rempah, yang saat itu bernilai ekonomi sangat tinggi di dunia. Ada beberapa kontroversi tentang Columbus. Pertama, pada 1492 ia diyakini mendarat bukan di Benua Amerika, melainkan di Bahama, salah satu pulau di Laut Karibia. Selain itu, konon sebelum Columbus, wilayah ini sudah dijelajahi lebih dahulu oleh beberapa bangsa lain, seperti Tiongkok dan Viking. Namun perlu diakui, baru sesudah Columbus wilayah tersebut menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa. Columbus sendiri berkali-kali kembali ke Amerika dengan persiapan yang lebih matang dengan membawa armada laut yang besar.”

Usted berhenti sejenak, lalu melanjutkan uraiannya.

“Saya harap Anda semua memahami sejarah awal dari apa yang kita sebut sekarang sebagai ‘global’ atau ‘globalisasi’. Untuk itu, saya akan memberikan tugas individu. Masing-masing silakan menulis makalah tentang para penjelajah awal, yang berjasa mengantarkan kita kepada globalisasi.”

Aku mendapat tugas mengulik Ibnu Batutah, Alfonso tentang Magellan dan van Basten mengenai Vasco da Gama. Masing-masing menulis tidak lebih dari 10 halaman. Kemudian akan dipaparkan dan kami saling memberi masukan. Usted memberi waktu satu minggu. Disepakati pula kami akan bertemu setiap Senin untuk melakukan presentasi dan diskusi.

“Ada pertanyaan?” tanyanya sebelum mengakhiri bimbingan.

“Mengapa bangsa Portugis dan Spanyol yang akhirnya bisa membuktikan bumi bulat? Bukan Tiongkok? Meski Tiongkok sudah  lebih dahulu menginjakkan kaki di Benua Amerika dan memiliki teknologi lebih maju dari Eropa?” tanya Alfonso.

“Bisa jadi karena bangsaTiongkok sudah berpuas diri dengan pencapaiannya. Selain itu, tidak ada kondisi yang memaksa mereka untuk melakukan kolonialisasi wilayah. Sementara untuk Eropa ada keharusan untuk survive. Suasana kompetisi sangat keras. Jelas bedanya?” papar Usted lugas.

“Claro,” ujarku, yang artinya jelas.

Selesai kuliah pertama, aku mengajak Alfonso dan van Basten menjelajah kampus. Kebetulan aku mengenal baik tempat ini.

“Yuk, ngopi di kafetaria,” ujarku.

“Kelihatannya Anda akrab dengan pembimbing kita,” komentar Alfonso.

“Ya, beliau menjadi salah seorang dosen saat saya mengambil S-2nya di sini,” jelasku.

“Oh… S-2 Anda dari kampus ini rupanya,” komentar van Basten.

Aku tersenyum sambil memberi isyarat berbelok setelah melewati taman belakang kampus.

“Selain tempat ngopi yang enak, kafetaria ini juga menyediakan makan siang untuk mahasiswa, dosen, karyawan dan  pengunjung lain.  Rasanya enak dan harganya jauh lebih murah dibanding makan di luar. Bisa jadi ada subsidi pemerintah karena ini kampus negeri,” jelasku.

“Menunya apa saja, ya?” van Basten nampak ingin tahu.

“Ya, layaknya food court, banyak menu tersedia. Ada Asian, European, African… Nanti lihat sendiri.”

“Saya vegetarian. Apakah ada menu itu?” tanya van Basten lagi.

“Khusus vegetarian, ada salad di European Corner atau masakan India di Asian Corner.”

“Maaf. Boleh tahu agama Anda?” tanyaku hati-hati kepada van Basten.

“Saya lahir dari keluarga Protestan, tetapi saya memilih untuk tidak beragama. Namun saya tidak anti agama. Orang biasa menyebutnya agnostik,” jawabnya tersenyum.

“Kalau aku pasti Katolik dong. Masa’ pendeta mengaku Islam,” Alfonso berujar setengah bercanda. Ia terkekeh. Belum kutanya, ia sudah menjawab.

“Apa rekomendasi Anda?” tanya Alfonso saat memasuki kafetaria.

“Kalau saya suka makanan Maroko. Itu ada di African Corner. Kadang-kadang saya memilih Indian Curry dengan roti naan-nya yang sangat lembut. Nah, ini ada di Asian Corner.” Aku menjawab sambil membayangkan kelezatan semua makanan itu.

Baca Juga:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat”; (Seri-1): Kembali ke Madrid
• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-2): Menyusun Proposal
• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-3): Silaturahim Dengan Pak Dubes

Sesudah memilih makanan, aku lebih dulu berjalan ke arah meja berukuran panjang. Letaknya di dekat jendela, tepat menghadap ke taman. Ini tempat favoritku sejak S-2 dulu. Aku memberi isyarat kepada van Basten dan Alfonso untuk duduk di meja itu. Aku juga memberitahu keduanya ada air putih gratis di pojok kafetaria.

Seraya makan kami berbincang. Aku bertanya kepada van Basten mengapa ia memilih kampus ini untuk doktornya. “Bukankah Leiden sangat terkenal? Beberapa lulusan universitas tersebut menjadi orang penting di Indonesia,” tanyaku penasaran.

“Bangsa Eropa pertama yang menjelajah dunia adalah Portugis dan Spanyol. Dua bangsa ini juga merupakan bangsa Eropa pertama yang berinteraksi dengan umat Islam dengan segala dinamikanya. Mereka bekerja sama, bersaing, juga saling mengalahkan dalam kurun waktu yang panjang, selama hampir delapan abad.  Secara geografis, dua negara ini juga sangat dekat dengan Afrika Utara. Di lain sisi, Islam pernah berkuasa di Semenanjung Iberia. Hubungan kesejarahan yang panjang antara bangsa Spanyol dan Arab, yang mayoritasnya muslim, sampai kini masih berlanjut. Selain Spanyol, bangsa Arab juga pernah menjadi koloni Inggris, Prancis dan Italia.”  Van Basten memberikan penjelasan cukup panjang.

“Apa sebenarnya judul disertasi Anda?” tanyaku kembali. Aku belum bisa menyimpulkan ke mana arah penjelasannya tadi.

“Judulnya belum final, karena proposal saya, meski sudah diterima, tetap harus disempurnakan. Intinya saya ingin mengetahui alasan Belanda tidak menyentuh negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara di masa kolonialisme dulu.”

“Kalau Anda?” tanya van Basten ke Alfonso.

“Tentang jejak bangsa Portugis di Nusantara,” jawabnya mantap.

“S-2 Anda sebelumnya tentang apa?” lanjut van Basten lagi.

“Warisan bangsa Portugis di dunia. S-3 yang saya ambil saat ini merupakan pendalaman tentang Nusantara yang sebelumnya menjadi tema pembahasan saya di S-2,” jelasnya.

“Mengapa Anda menggunakan istilah ‘Nusantara’ dan bukan ‘Indonesia’?” tanya van Basten yang terlihat penasaran.

“Selain bermakna Indonesia, Nusantara juga mengacu pada wilayah yang lebih luas, yang juga meliputi Malaysia, Brunei, Thailand Selatan, Filipina Selatan dan Vietnam Selatan. Sebelum Portugis menjelajah wilayah ini, kesultanan-kesultanan Islam sudah lebih dulu berdiri. Para pedagang Islam keturunan India dan Arab juga telah mendominasi kota-kota pelabuhan di sini. Mereka bertukar barang dengan pedagang  Tiongkok.”

“Kalau Anda tentang apa?” tanya Alfonso memandangku.

“Saya akan menulis bagaimana rempah-rempah menjadi media penghubung Timur dan Barat.” jawabku.

“Apa yang Anda maksud ‘Timur’ dan ‘Barat’?” Kini van Basten yang bertanya.

“’Timur’ merupakan istilah untuk bangsa Asia, sementara ‘Barat’ mewakili bangsa Eropa.”

“Apakah rempah-rempah menjadi media atau instrumen satu-satunya?” tanya van Basten lagi.

“Bagi kami, bangsa Indonesia, rempah-rempah menjadi yang utama, sementara bagi Tiongkok bisa jadi sutra dan porselen atau  keramik. Sedangkan bagi India, selain rempah-rempah, juga ada kain tenun yang sudah terkenal sejak lama,” jelasku bersemangat.

Baca Selanjutnya:

• Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-5): Ibnu Batutah, Penjelajah Muslim Pertama

Kami terus berbincang sambil menyantap makanan dengan lahapnya. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 3 sore. Sebelum pulang, aku  mengajak mereka mampir sejenak ke perpustakaan kampus, yang letaknya tidak jauh dari kafetaria. Keduanya setuju.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts