Oleh: Iman Supriyono, SNF Consulting Surabaya
Karen Agustiawan, dirut Pertamina periode 2009-2014, ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan LNG oleh KPK. Berbagai sumber menyebut bahwa menurut KPK Karen telah merugikan negara dalam transaksi senilai USD 140 juta alias Rp 2,1 triliun. Benarkah Karen telah merugikan negara? Tidak bahayakah penangkapan Karen? Keduanya adalah pertanyaan menarik ditinjau dari keberadaan Pertamina sebagai sebuah entitas legal alias makhluk hukum.
Baca Juga:
- Iman Supriyono: Karen Agustiawan, Pseudo CEO Pertamina dan Vonis Penjara
- Iman Supriyono: Ditangkap KPK, Benarkah Karen Telah Merugikan Negara?
- Surat Terbuka Karen Agustiawan Mantan Dirut Pertamina Kepada Presiden Joko Widodo
Juga sangat menarik ditinjau dari kaca mata tata kelola perusahaan. Saya akan menjawabnya dalam bentuk poin-poin
1.Paling tidak ada tiga isu yang harus dibahas untuk menjawab dengan terang-benderang dua pertanyaan tersebut. Isu pertama adalah tentang keberadaan Pertamina sebagai sebuah makhluk hukum.
2.Mari kita dalami. Sebagai makhluk hukum, PT Pertamina (Persero) lahir pada tanggal 17 September tahun 2003. Dasarnya adalah akta notaris Lenny Janis Ishak, S.H No. 20 tahun 2003.
3.Pendirian sebuah perusahaan pada dasarnya adalah transaksi jual beli. Barang yang diperjual belikan adalah lembaran-lembaran saham. Penjualnya adalah perusahaan yang didirikan. Pembelinya adalah para pemegang saham. Pada sebuah transaksi jual beli, barang berpindah dari penjual kepada pembeli. Uang berpindah dari pembeli kepada penjual. Logika ini ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang berparadigma korporasi, bukan paradigma business owner.
4.Demikian juga pada saat pendirian Pertamina. Sesuai akta, yang diperjual belikan adalah 100 juta lembar saham dengan nilai nominal (par value) Rp 1 juta. Penjualnya adalah Pertamina sebagai sebuah makhluk hukum. Pembelinya adalah pemerintah Republik Indonesia. Nilai transaksinya adalah Rp 100 triliun (100 juta lembar saham dengan harga per lembar Rp 1 juta)
5.Sebagaimana layaknya sebuah transaksi jual beli, begitu transaksi itu terjadi, pembeli dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia tidak lagi memiliki uang Rp 100 triliun tersebut. Asetnya berubah menjadi lembaran-lembaran saham sejumlah 100 juta lembar.
6.Nah, di sini letak isu mendasarnya. KPK mengakui sahnya Akta Notaris Lenny Janis Ishak, S.H No.20 tahun 2003 atau tidak? Jika mengakui maka yang dimaksud kekayaan negara adalah lembaran-lembaran saham Pertamina sejumlah 100 juta lembar. Jika tidak mengakui maka yang dimaksud kekayaan negara tetap berupa uang senilai Rp 100 triliun yang kemudian terus menerus ditransaksikan sampai terjadinya transaksi senilai USD 140 juta tersebut.
7.Isu kedua adalah tentang pengertian merugikan negara. Definisinya tergantung pada isu pertama. Jika KPK mengakui keabsahan akta notaris tersebut dan dengan demikian maka aset negara adalah berupa 100 juta lembar saham, maka negara akan disebut rugi jika terjadi satu dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah jumlah lembar saham yang dimiliki negara berkurang. Kemungkinan kedua adalah nilai per lembar saham menurun.
8.Jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama, yang bertanggung jawab bukan Karen sebagai dirut Pertamina. Mengapa? Karen tidak memiliki otoritas untuk memindah tangankan lembaran-lembaran saham tersebut. Otoritasnya ada pada menteri. Maka, jika kemungkinan pertama ini terjadi maka yang harus bertanggung jawab adalah menteri.
9.Yang bisa menjadi tanggung jawab Karen adalah kemungkinan kedua yaitu menurunnya nilai per lembar saham. Mari kita dalami. Ada 3 nilai pada lembaran saham perusahaan yaitu nilai nominal (par value), nilai buku (book value) dan nilai pasar (market value)
10.Nilai nominal adalah nilai sesuai dokumen legal. Nilai nominal lembaran saham pertamina sejak didirikan sampai pada laporan teraudit tahun 2012 tetap Rp 1 juta. Jadi tidak ada masalah di nilai nominal.
11.Untuk nilai buku, mari kita lihat laporan keuangan teraudit Pertamina tahun 2012. Nilai buku perusahaan pada akhir 2011 adalah USD 13 282 610 000. Dengan jumlah lembar saham sebesar 82 569 779 lembar maka nilai buku per lembar adalah USD 160,9. Nilai buku akhir 2012 adalah USD 15 192 781 000. Dengan jumlah lembar saham sebesar 83 090 697 lembar maka nilai buku per lembar saham adalah USD 182,8. Perhatikan kembali, nilai buku per lembar saham Pertamina sepanjang dikelola Karen tahun 2012 naik 13,6% dari USD 160,9 menjadi USD 182,8.
12.Bagaimana nilai pasarnya? Nilai pasar adalah nilai transaksi terakhir atas saham sebuah perusahan. Adakah transaksi terhadap saham pertamina sepanjang tahun 2012? Pertamina bukan perusahaan tercatat di lantai bursa sehingga pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan data lantai bursa. Saya sudah coba telusuri melalui Google. Tidak ada informasi penjualan saham Pertamina oleh pemerintah pada tahun 2012. Dengan demikian maka tidak ada perubahan nilai pasar saham Pertamina sepanjang tahun 2012
13.Jadi, dari uraian di atas, jika KPK mengakui keabsahan akta Notaris tersebut, Karen harus dibebaskan karena tidak ada penurunan nilai aset negara berupa lembaran-lembaran saham Pertamina. Tidak ada penurunan nilai nominal, nilai buku, maupun nilai pasar. Bahkan nilai bukunya meningkat.
14.Bagaimana definisi rugi jika KPK tidak mengakui keabsahan akta Notaris Lenny tersebut? Rugi harus ditelusuri pada setiap transaksi satu demi satu. Termasuk transaksi senilai USD 140 juta tersebut. Juga harus ditelusuri transaksi terkait dengan transaksi tersebut.
15.Saya tidak memiliki data untuk bisa menganalisis apakah transaksi USD 140 juta itu rugi atau tidak. Tetapi jika KPK tidak mengakui keabsahan akta Notaris Lenny, maka pengangkatan Karen sebagai dirut Pertamina jadi tidak sah. Dan demikian kesalahan mesti dibebankan pada pihak yang telah memberi otoritas Karen untuk memegang aset Pertamina. Konsekuensinya terlalu berat jika KPK memilih opsi ini. Harus ditelusuri satu demi satu setiap transaksi Pertamina sejak berdiri sampai transaksi senilai USD 140 juta itu.
16.Isu ketiga adalah otoritas direksi. Jika KPK mengakui keabsahan akta Notaris Lenny, maka artinya KPK mengakui juga bahwa sesuai Undang-undang PT bahwa direktur bisa bertransaksi mengalihkan (melakukan jual beli) atau menjaminkan aset perusahaan tanpa minta persetujuan siapa pun sampai nilai maksimum 50% aset bersih alias nilai buku perusahaan. Transaksi USD 140 juta itu hanya merupakan 1% dari aset bersih Pertamina awal tahun 2012. Jadi sepenuhnya masih dalam otoritas Karen sebagai direktur utama. Jauh dari batas melebihi 50% aset bersih yang mengharuskan Karen minta persetujuan RUPS sebagaimana diatur dalam Undang-undang PT.
17.Bahkan andai pun Karen melakukan transaksi di luar kewenangannya sesuai Undang-undang PT, direksi bersifat kolektif kolegial. Tindakan hukum salah satu direktur harus ditanggung oleh seluruh direksi. Jadi semua direksi harus ditangkap. Bahkan sesuai UUPT, komisaris juga bertanggung jawab bisa sampai harta pribadi jika tidak menjalankan tugas pengawasan yang dibebankannya. Semua komisaris harus ditangkap jika tidak bisa membuktikan telah melakukan pengawasan yang cukup terhadap transaksi Rp 140 juta tersebut. Tapi ini semua tidak perlu dibahas karena transaksi yang dilakukan Karen masih dalam wilayah otoritasnya.
Pembaca yang baik, itulah tiga isu krusial terkait penangkapan Karen oleh KPK. Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Karen. Jadi saya tidak berkepentingan terhadap nasib Karen secara pribadi. Tapi saya adalah warga negara yang berkepentingan agar perusahaan-perusahaan negeri ini menjadi berkelas dunia sebagaimana visi Pertamina. Saya ingin Pertamina menjadi seperti BP yang nilai bukunya USD 120 miliar pada akhir tahun 2012. Nilainya 8x Pertamina. BP adalah BUMN Inggris yang telah melakukan proses korporatisasi sehingga menjadi besar seperti itu. Saat ini BP adalah perusahaan terbesar ke-28 dunia dalam hal laba, omzet, aset dan nilai pasar.
Kasus penangkapan mantan dirut Pertamina Karen Agustiawan semoga menjadi pembelajaran korporasi bagi negeri ini Saya tidak berkepentingan terhadap nasib pribadi Karen. Tapi sebagai warga negara saya berkepentingan untuk ekonomi negeri ini berkembang. Tulang punggungnya adalah korporasi. Kita harus ingat bahwa 2000 perusahaan terbesar dunia berkontribusi sebesar 50% PDB dunia. Dan kita tidak akan bisa menghasilkan korporasi seperti itu tanpa penguatan posisi perusahaan sebagai makhluk hukum.
Penangkapan Karen oleh KPK adalah pelemahan cara pandang perusahaan sebagai makhluk hukum. Masak iya KPK sebagai institusi penegak hukum justru melakukan hal seperti itu? Semoga segalanya akan kembali pada pengakuan Pertamina sebagai makhluk hukum. Semoga korporasi-korporasi negeri ini menguat. Prestasi negeri ini dalam menghadirkan korporasi kuat masih sangat parah dan memalukan. Baca tulisan saya pada link tersebut.
Pembaca yang baik, bagaimana kesimpulan Anda? Benarkah Karen telah merugikan negara? Tidak bahayakah penangkapan Karen?
EDITOR: REYNA
Related Posts

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama

Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan



No Responses