Oleh: Sutoyo Abadi
Koordinator Kajian Politik Merah Putih
Terlalu tenggelam dan larut dalam puji-pujian sekelompok orang yang sama sekali asing mengenali dunia spiritual, bahkan terlalu asing mengenai alam dunia ghaib, selain hanya menerima cerita fiktif yang masuk dalam angan angan di otaknya.
Sang presiden terbuai dengan cerita Jawa bahwa Sukarno dan Suharto memiliki kekuatan linuih karena laku spiritual yang telah di jalaninya. Sukarno konon anti tembak dan tongkat pusaka nya selalu melindungi dirinya dari bahaya. Suharto anti tenung, santet dan dan serangan ghaib hitam lainnya.
Kedua tokoh tersebut dalam cerita Jawa menilik cerita mistis tersendiri, sehingga mampus menjalani kekuasaan yang cukup lama dan semua rintangan di lewati dengan aman. Disamping kedua tokoh tersebut riil memiliki karisma , wibawa, kecerdasan, kecakapan, kelebihan dan kemampuan memadai sebagai seorang pemimpin.
Berbeda dengan generasi presiden sesudahnya, terseok seok ketika harus tampil sebagai presiden dalam mengendalikan dan mengelola negara terkesan asal asalan .
Muncullah seorang presiden lebih norak dan fatal, dengan kecakapan, kecerdasan dan kemampuan yang minim bernasib malang perannya sebagai pemimpin harus menerima stigma masyarakat hanya sebagai pemimpin boneka.
Ketika negara menjadi berantakan, carut marut bahkan amburadul. Sang presiden tidak mengenali diri akan kekurangan dan kelemahannya. Sering tampil seolah olah sebagai pemimpin besar dan sakti yang memiliki kekuatan spiritual yang hebat dengan penampilan yang aneh aneh
Dipakainya kuluk Sultan Amangkurat I lengkap dengan pakaian Raja Jawa dengan kebesarannya. Lagi-lagi presiden tidak paham sejarah buruk Sultan Amangkurat I yang bernasib malang sebagai boneka Belanda harus melarikan diri dari kerajaan karena diserbu masyarakat karena kebengisan dan kekejamannya kepada rakyatnya.
Setelah Sultan Agung wafat, Raden Mas Sayyidin naik takhta dengan gelar Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama atau biasa disebut Amangkurat I.
Amangkurat I berusaha meneruskan kejayaan Kesultanan Mataram yang diraih pada masa kekuasaan ayahnya.Akan tetapi, sifatnya sangat bertolak belakang dengan Sultan Agung, bahkan disebut sebagai raja yang bengis, dan sebagai raja boneka Belanda.
Ahirnya harus meninggal dalam pelariannya dan berakhir dalam catatan sejarah hitam kerajaan Jawa sebagai raja yang buruk dan kejam.
Mungkinkah dalam sejarah kepemimpinan di tanah air presiden kita akan mengalami nasib yang sama harus berahir dengan sejarah hitam kelam, karena stigma masyarakat sebagai pemimpin boneka tidak akan hilang dan bisa di hapus kecuali dari diri presiden sendiri yang harus merubahnya.
Nampaknya akan sulit dirubah atau merubahnya karena Presiden sendiri terkesan sudah tidak mengenali dirinya. Larut dalam simbol simbol kebesaran yang didefinisikan sendiri dan tenggelam dalam puja puji dari para pembantunya, termasuk para menterinya yang gombal, yang hanya akan mencelakakan presiden sendiri. ***
EDITOR: REYNA
Related Posts

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama

Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan

Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum

Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah

Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas

Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan

Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote



No Responses