Oleh: Habib Jansen Boediantono, Penasehat Front Pergerakan Nasional
Pancasila menempatkan manusia sebagai qua talis, lepas dari keadaan tertentu pada situasi konkret.
Mukadimah diatas hendak mengingatkan, manusia hadir didunia dalam ruang tak kosong tapi bersama – sama orang lain dalam hubungan Liebendes Mit-sein, relasi ” Aku – Engkau ” yang bersifat dialogis dan saling menghormati. Untuk itu manusia harus mengakui keberadaan orang lain sebagai engkau, sebagai bentuk penghormatan pada subjektivitas sesama. Inilah relasi antar manusia sebagai langkah awal peradaban yang akan dibangun pancasila melalui hak suara (hak berpikir).
Konsepsi dasar peradaban tersebut pun luluh lantak akibat demokrasi. Hak suara difaitaccompli oleh komunikasi monolog menjadi hak pilih. Relasi “ Aku – Engkau “ mengalami penciutan signifikansi, terjatuh menjadi relasi (meminjam istilah Martin Burber) “ Aku Itu “ Manusia dalam demokrasi akan cenderung memperlakukan orang lain sebagai objek yang bisa dimanipulasi dan dijadikan alat
Dan kini kita menyaksikan demokrasi membuat orientasi nilai – nilai kehidupan pragmatis, materialiatis , dengan tolak ukur serba kuantitatif, secara telanjang bulat telah menjajah cara berpikir anak – anak bangsa. Situasi seperti ini sangat membahayakan karena akan melahirkan sikap hidup yang kerdil, tertutup dan relasi antar manusia menjadi sangat manipulatif
Inilah bahaya latent demokrasi. Atas nama demokrasi, tibalah bangsa indonesia pada sebuah peradaban dimana manusia tergerus proses dehumanisasi yang begitu rapih dan sempurna sehingga tak pernah menyadarinya.
Untuk mengatasi bahaya latent demokrasi kembali kepada jatidiri bangsa menjadi sebuah keniscahyaan. Bangsa ini harus kembali pada dialog mencari jawab atas persoalan – persoalan yang dihadapi. Dialog bersifat terbuka dan terus berkembang, sampai menemukan hikmah (ilmu) kebijaksanaan yang kalis terhadap keragu – raguan. Oleh karena itu dialog memerlukan sikap bersahabat, tidak apriori dan dogmatis. Dalam dialog setiap pihak tidak boleh memanipulasi pihak lain, yang berarti pula pengakuan pada subjektivitas “engkau”. Dialog menuntut penghormatan pada hak suara orang lain.
Dialog mengandalkan komunikasi agar tidak terjadi manipulasi. Pihak – pihak yang terlibat haruslah mengakrabkan diri untuk bisa melihat kelemahan dan kekuatan setiap pendapat. Dengan pengakraban ini tidak berarti pihak – pihak yang terlibat itu lebur identitasnya. Sebagai subjek yang terlibat komunikasi setiap pihak bertahan pada identitasnya masing – masing. Komunikasi dalam dialog merupakan proses saling hubungan yang dikukuhkan oleh ciri – ciri intersubjektif agar terhindar dari manipulasi antara pihak – pihak yang terlibat. Dialog dan komunikasi seperti ini sejatinya merupakan ciri khas kita sebagai sebuah bangsa. Kita sering menyebutnya dengan istilah musyawarah.
Sebagai bentuk penghormatan pada subjektifitas manusia berikut identitasnya dalam musyawarah bisa saja menghasilkan sebuah perbedaan.Tujuan musyawarah bukanlah menghasilkan kata setuju atau tidak setuju melainkan kemufakatan. Kemufakatan merupakan panggilan sosial untuk melakukan kebaktian bersama atau gotong-royong.
Musyawarah menghendaki suara terbanyak dalam menjembatani perbedaan. Suara terbanyak bukanlah pilihan terbanyak, tetapi pikiran – pikiran yang dianggap mampu mendatangkan kemashlahatan dan dapat diterima orang banyak. Suara terbanyak inilah yang menjadi dasar untuk bergotong-royong
Dengan demikian jelaslah sudah yang membedakan musyawarah dengan demokrasi: dalam musyawarah manusia mengadu ide dan gagasan yang hasilnya dikerjakan secara gotong royong, sedang dalam demokrasi adu massa menjadi faktor penentu siapa yang berkuasa dan siapa yang harus menelan kekalahan.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
No Responses