Oleh: Anthony Budiawan
Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Cengkeraman asing semakin dalam. Kenaikan harga komoditas 2020-2022 hanya menunda permasalahan neraca pembayaran untuk sementara waktu. Tahun ini dan tahun depan, ekonomi semakin lemah, neraca pembayaran memburuk lagi karena harga komoditas terkoreksi, kurs rupiah semakin tertekan.
Meskipun termasuk negara berkembang, ekonomi Indonesia cukup diperhitungkan di tingkat dunia. Pasalnya, Indonesia dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia mempunyai nilai nominal ekonomi yang cukup besar. Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi Indonesia sudah lebih dari satu triliun dolar AS, dan saat ini menempati urutan ke 16 ekonomi terbesar dunia.
PDB Indonesia tahun 2017 sebesar Rp 13.589 triliun atau 1,02 triliun dolar AS. Dan tahun 2018 ini, PDB Indonesia diperkirakan sekitar Rp 14.800 triliun.
Dibandingkan tahun 2004, ekonomi Indonesia 2017 sudah naik pesat sekali, menjadi 5,9 kali lipatnya yaitu dari Rp 2.303 triliun (2004) menjadi Rp 13.588,8 triliun (2017). Kenaikan nilai nominal ekonomi ini tentu saja tidak terlepas dari peran investasi, baik yang dilakukan oleh swasta nasional yang dikenal dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun swasta asing yang dikenal dengan Penanaman Modal Asing (PMA).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah investasi asing setiap tahun jauh lebih besar dari investasi dalam negeri. Total investasi dalam negeri (PMDN) selama periode 2004-2017 sebesar Rp 1.352,77 triliun. Sedangkan investasi asing (PMA) untuk periode yang sama mencapai 269,08 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 2.989,06 triliun (dihitung berdasarkan kurs rupiah rata-rata tahunan untuk masing-masing periode 2004 sampai 2017.
Artinya, investasi asing 2,21 kali lebih besar dari investasi dalam negeri: PMA 68,84 persen versus PMDN 31,16 persen. Jadi, peran investor asing dalam meningkatkan (pertumbuhan) ekonomi Indonesia sangat penting sekali. Dan ini berarti penguasaan asing dalam perekonomian Indonesia semakin besar.
Di satu sisi, investasi asing sangat positif bagi perekonomian nasional karena meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Diharapkan, investasi asing juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di lain sisi, dominasi investasi asing yang berlebihan dalam jangka waktu panjang bisa berakibat buruk.
Akumulasi investasi asing yang berlebihan akan menjadi beban ekonomi dan beban keuangan di masa mendatang. Laba (dan bunga pinjaman) dari investasi asing tersebut pada gilirannya akan dibayarkan kembali kepada pemegang sahamnya di negeri asalnya. Artinya, terjadi aliran dana keluar negeri dan menguras devisa. Hal ini tercermin di neraca Pembayaran Pendapatan Primer (sisi Pembayaran). Kalau aliran dana ke luar negeri ini cukup besar maka bisa memicu krisis neraca pembayaran atau krisis mata uang yang bisa membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam.
Pembayaran kepada investor asing, termasuk investor portfolio, selama periode 2004-2017 meningkat tajam, yaitu dari 12,85 miliar dolar AS (2004) menjadi 39,58 miliar dolar AS (2017). Selama periode 2004-2017 tersebut, akumulasi total cash outflow kepada investor asing mencapai 345,62 miliar dolar AS. Jumlah ini sangat besar, dan sangat mengkhawatirkan. Jumlah ini jauh lebih besar dari akumulasi investasi PMA untuk periode yang sama sebesar 269,08 miliar dolar AS.
Bagaikan candu, defisit pembayaran kepada investor asing yang begitu besar akan diikuti dengan kebijakan ekonomi untuk menarik PMA lebih besar lagi, misalnya melalui pemberian insentif ekonomi yang menarik, termasuk pembebasan berbagai jenis pajak (tax holidays), serta “menyediakan†imbal hasil (suku bunga) yang cukup tinggi kepada investor asing portfolio. Masih kurang cukup, pemerintah siap mengobral berbagai sektor industri lainnya kepada PMA, seperti yang tercermin di Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid XVI. Untung saja PKE tersebut ditunda atau dibatalkan.
Bagaimana dampak pembangunan ekonomi yang cukup pesat tersebut terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia? Meskipun nominal ekonomi Indonesia cukup besar, ternyata jumlah rakyat miskin Indonesia juga sangat besar. Pendapatan (PDB) rata-rata per orang pada tahun 2017 sebesar Rp 51,47 juta per tahun, atau sekitar Rp 4,29 juta per orang per bulan.
Mungkin bagi sebagian besar rakyat Indonesia pendapatan rata-rata tersebut hanya mimpi. Faktanya, pendapatan mereka jauh di bawah itu. Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2017 dengan pendapatan di bawah 5,50 dolar AS PPP (Purchasing Power Parity, 2011) per orang per hari, atau setara Rp 29.513,8 (nilai rupiah 2017) per hari, atau sekitar Rp 885.414 per bulan, tercatat 155,4 juta orang atau 58,9 persen dari total penduduk.
Apakah ini berarti dominasi asing di dalam pembangunan ekonomi nasional tidak memberi manfaat banyak kepada rakyat Indonesia? Sepertinya, pertumbuhan ekonomi tersebut lebih dinikmati oleh pihak asing, yang tercermin di neraca Pembayaran Pendapatan Primer yang naik pesat, dan semakin besar setiap tahunnya.
Akhir kata, cengkeraman asing di dalam perekonomian Indonesia sudah sedemikian dalam dan cukup bahaya bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong pengusaha dalam negeri berperan lebih besar dalam perekonomian nasional dan meningkatkan PMDN secara agresif. Investasi asing seharusnya diarahkan ke sektor industri yang menghasilkan (atau menghemat) devisa sehingga mereka dapat memperoleh devisa secara mandiri untuk mengembalikan investasi dan labanya. [***]
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
No Responses