Ditulis Oleh: Ananda Kusdyansyah Karim, Seisar Arsyad, Oliver Christian Sirait, Sahila Jasmin Ramadini Harahap, Muhammad Desar Eka Syaputra, Jauza Ainun Aswin, Ridwan Erlangga
Mahasiswa Teknik Kelautan,Fakultas Teknologi Kelautan,Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Wilayah yang memiliki geografis yang strategis, berpotensi mengalami ancaman baik tradisional dan nontradisional dalam bidang pertahanan dan keamanan. Ancaman pertahanan dan keamanan bagi Indonesia adalah munculnya agresivitas China di Laut China Selatan yang berbeda pada salah satu wilayah kedaulatan Indonesia yakni laut Natuna bagian utara. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepentingan Indonesia di wilayah Laut Cina Selatan, serta untuk mengetahui respons Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan yang “menyeret” Wilayah Indonesia ,dan untuk mengetahui langkah kedepannya yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik berkelanjutan.
Respons Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan adalah pengiriman nota protes ke pemerintah Tiongkok dan PBB,Selain usaha diplomasi, Indonesia juga memperkuat pengembangan ekonomi dan manusia di daerah tersebut.Akhir kata diperlukan kebijakan dan mediasi yang lebih lanjut untuk menghindari konflik pada permasalahan Laut Cina Selatan.
Sengketa Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan merupakan jalur perairan strategis yang banyak diperebutkan oleh Tiongkok dan beberapa negara ASEAN, antara lain Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Wilayah ini dipandang memiliki sumber daya alam dan biota laut yang melimpah, serta potensi bernilai triliunan dolar. Sengketa Laut Cina Selatan pertama kali terjadi pada dasawarsa 1970-an. Perselisihan mengenai Laut Cina Selatan telah berlangsung selama beberapa dekade, dan berbagai negara mengajukan klaim atas wilayah berbeda di wilayah tersebut.
Laut Cina Selatan menjadi kawasan yang diperebutkan karena memiliki nilai strategis sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines Communication (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga membuat jalur Laut Cina Selatan sebagai jalur tersibuk di dunia. Beberapa poin penting mengenai sengketa Laut Cina Selatan adalah Tiongkok mengklaim hingga 80-90% wilayah Laut Cina Selatan berdasarkan garis batas pemerintah yang disebut nine dash line atau sembilan garis putus-putus (nine dash line).
Negara-negara lain di kawasan ini, termasuk Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam, juga mengajukan klaim atas wilayah berbeda di kawasan tersebut. Negaranegara di kawasan ini bersaing untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya ini, termasuk cadangan minyak dan gas, stok ikan, dan jalur pelayaran.
Perselisihan ini telah menyebabkan ketegangan regional dan internasional, dengan berbagai insiden termasuk upaya militer, penegakan hukum, dan provokasi di wilayah tersebut. Sejumlah negara telah mengajukan tuntutan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan perselisihan ini berdasarkan hukum maritim internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Kompleksitas mengenai isu Laut Cina Selatan bahkan telah membuat negara-negara besar seperti Amerika Serikat ikut serta lewat kekuatan militernya dengan meningkatkan frekuensi aktivitas Freedom of Navigation Operation (FONOPS) untuk memprotes ekspansi Tiongkok di wilayah tersebut.
Dalam perkembangannya, konflik Laut Cina Selatan mulai melibatkan Indonesia sejak tahun 2010, dimana setelah Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Tercatat mulai Maret tahun 2016 wilayah laut Indonesia mulai diganggu oleh kehadiran kapal asing milik negara lain, baik itu nelayan yang dilengkapi senjata maupun kapal penjaga pantai/coast guard.
Umumnya kapal-kapal asing tersebut berasal dari Tiongkok karena mereka beranggapan bahwa mereka memiliki hak atas Kepulauan Natuna yang mereka anggap masih bagian dari Laut Cina Selatan. Berbagai pelanggaran kerap dilakukan oleh kapal asing tersebut dikarenakan perbedaan pandangan antara Indonesia dan Tiongkok.
Oleh karena latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepentingan Indonesia di wilayah Laut Cina Selatan, serta untuk mengetahui respons Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan yang “menyeret” Wilayah Indonesia ,dan untuk mengetahui langkah kedepannya yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik berkelanjutan. Kepentingan Indonesia di wilayah Laut Cina Selatan
Berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara-negara yang mengajukan klaim terhadap Laut China Selatan (LCS) tidak terlepas dari usaha untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka. Ketika kita membahas kepentingan nasional Indonesia, perlu dipahami bahwa ada keterkaitan antara dinamika sengketa LCS dan situasi di Laut Natuna Utara. Meskipun Indonesia bukan salah satu negara yang mengajukan klaim di LCS, namun klaim “nine dash line” yang dinyatakan oleh Tiongkok mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia di Laut Natuna Utara.
Dalam kerangka konsep kepentingan nasional menurut Nuechterlein, kepentingan nasional Indonesia di Laut Natuna Utara mencakup pertahanan, ekonomi, dan stabilitas tatanan dunia. Kepentingan pertahanan Indonesia terkait dengan menjaga kedaulatan wilayahnya, dengan LCS menjadi ujian bagi Indonesia dalam mempertahankan wilayah di Laut Natuna Utara. Indonesia mengklaim wilayah perairan ini sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, yang memberikan hak berdaulat Indonesia untuk mengeksplorasi sumber daya alam di wilayah tersebut.
Selain kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi Indonesia di Laut Natuna Utara terkait dengan hak berdaulat dan yurisdiksi khusus dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Terakhir, kepentingan tatanan dunia Indonesia mencakup menjaga stabilitas keamanan di kawasan sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Keseluruhan, sengketa LCS dan persinggungan dengan Laut Natuna Utara memainkan peran penting dalam upaya Indonesia untuk melindungi dan memajukan kepentingan nasionalnya di wilayah tersebut.
Ilustrasi kekayaan alam Indonesia : North Sokang, Natuna wilayah dengan cadangan gas terbesar di Indonesia, bahkan disebut terbesar di Asia Pacifik
Situasi ini berhubungan dengan kepentingan ekonomi Indonesia di Laut Natuna Utara, yang kaya akan sumber daya laut dan potensi minyak serta gas alam. Dalam Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016, Laut Natuna memiliki beragam jenis ikan, biota laut, serta potensi minyak dan gas alam yang signifikan, seperti Blok East Natuna yang memiliki cadangan minyak dan gas alam yang besar. Ini memberikan Indonesia hak untuk mengelola sumber daya tersebut guna meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi negara.
Selain itu, ada juga kepentingan dalam menjaga stabilitas kawasan global. Tumpang tindih klaim di LCS seringkali menciptakan ketegangan dan potensi instabilitas keamanan di kawasan. Sebagai contoh, persaingan antara AS dan Tiongkok dalam LCS, termasuk peningkatan kekuatan militer dan latihan militer, telah meningkatkan ketegangan, bahkan selama pandemi COVID-19. Ini dapat mengganggu stabilitas kawasan dan perdagangan internasional, serta berdampak pada tatanan dunia yang lebih luas.
Sebagai respons terhadap tindakan asertif dan ekspansi Tiongkok di Laut China Selatan (LCS), berbagai negara termasuk Taiwan, Inggris, Perancis, dan Jerman meningkatkan kehadiran militernya di kawasan tersebut. Vietnam dan Filipina, yang juga
merupakan claimant states di LCS, menguatkan pertahanan militer mereka. Ini telah menciptakan persaingan militer yang meningkat, mengganggu stabilitas keamanan di kawasan dan memicu kekhawatiran terkait dengan jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Kawasan LCS memiliki nilai strategis sebagai jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
ILUSTRASI. Kapal patroli Penjaga Pantai Jepang mencoba mengusir kapal China yang melewati perbatasan di sekitar wilayah Pulau Senkaku/Diaoyu, 8 Mei 2020.
Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN dan negara yang berbatasan langsung dengan LCS, memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan tersebut, mengingat potensi dampak langsung yang mungkin terjadi akibat eskalasi konflik di LCS. Oleh karena itu, menjaga stabilitas keamanan di kawasan dan melindungi kepentingan tatanan dunia merupakan dua prioritas nasional Indonesia dalam konteks ini. Respons Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan yang “menyeret” Wilayah Indonesia.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengadopsi berbagai strategi diplomasi untuk menangani sengketa LCS dengan Tiongkok. Langkah-langkah diplomasi tersebut mencakup pengiriman nota protes ke pemerintah Tiongkok, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Natuna dengan rapat kabinet terbatas di atas kapal, peluncuran peta baru NKRI yang menamakan wilayah sebagai Laut Natuna Utara, upaya meningkatkan aktivitas ekonomi di Natuna, dan pengiriman nota diplomatik ke PBB. Dalam nota protes tersebut, Indonesia menolak klaim Tiongkok atas wilayah dalam LCS berdasarkan klaim historis dan berdaulat
yang dianggap tidak memiliki landasan hukum internasional.
Selain pengiriman nota protes, Presiden Joko Widodo juga melakukan kunjungan ke Natuna sebagai tindakan simbolis untuk menegaskan sikap Indonesia terhadap tindakan Tiongkok. Dalam rapat kabinet terbatas di atas kapal, diskutif perkembangan ekonomi dan pertahanan di Natuna. Selang beberapa bulan kemudian, Presiden Joko Widodo kembali ke Natuna untuk meninjau latihan militer. Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia serius menganggap sengketa perikanan ilegal dan klaim Tiongkok di Natuna sebagai masalah penting dan sebagai penegasan bahwa Natuna adalah bagian dari kedaulatan Indonesia.
Pada tahun 2017, pemerintah Indonesia merilis peta baru yang menandatangani peta tersebut bersama dengan 21 kementerian dan lembaga terkait. Peta ini menamai perairan di sebelah utara Pulau Natuna sebagai Laut Natuna Utara, menggantikan nama LCS. Tujuan utama pemberian nama baru ini adalah untuk menghindari kebingungan dan memberikan panduan yang jelas kepada penegak hukum Angkatan Laut Indonesia.
Selain usaha diplomasi, Indonesia juga memperkuat posisinya di Natuna melalui pengembangan ekonomi dan manusia. Presiden Joko Widodo, sebagai contoh, memberikan sertifikat lahan kepada 102 warga Natuna untuk memperkuat hak hukum mereka atas tanah yang telah lama dimiliki oleh masyarakat Natuna. Selain itu, pemerintah juga mendorong nelayan dari Pulau Jawa untuk berlayar di Laut Natuna, yang diikuti oleh 470 nelayan, bertujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan menegaskan kehadiran Indonesia di wilayah Natuna.
Indonesia juga menerapkan strategi berkesinambungan dengan mengirimkan nota diplomatik ke PBB terkait klaim Tiongkok di LCS. Melalui Perwakilan Tetap RI untuk PBB, Indonesia pada 26 Mei 2020 mengirimkan note verbale kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang menegaskan sikap dan posisi Indonesia dalam sengketa LCS. Ini termasuk penolakan terhadap klaim Tiongkok atas nine dash line dan penekanan pada UNCLOS 1982 sebagai dasar hukum tunggal untuk penentuan hak maritim, kedaulatan, dan yurisdiksi di perairan Natuna. Upaya diplomasi berkesinambungan ini menunjukkan konsistensi dan ketegasan posisi Indonesia dalam sengketa LCS serta penegakan hak berdaulat Indonesia di ZEE Natuna yang berbatasan langsung dengan LCS.
Hindari Konflik
Langkah kedepannya yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik berkelanjutan Konflik di Laut Cina Selatan adalah masalah yang kompleks dan sulit untuk diatasi sepenuhnya. Namun, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil oleh negara-negara yang terlibat dan komunitas internasional untuk menghindari konflik berkelanjutan di wilayah ini. Beberapa langkah tersebut termasuk :
1. Diplomasi Multilateral: Negara-negara yang terlibat dalam konflik perlu terus mendorong dialog dan diplomasi multilateral sebagai cara utama untuk menyelesaikan ketegangan. Misalnya, melalui Kode Etik untuk Laut Cina Selatan (COC) yang diperbarui, negara-negara dapat mencapai kesepakatan tentang norma-norma perilaku dan tata kelola yang mengatur wilayah ini.
2. Transparansi dan Kepatuhan: Negara-negara yang terlibat harus meningkatkan transparansi dalam tindakan dan niat mereka di Laut Cina Selatan. Ini dapat mencakup penerapan aturan internasional seperti Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) dan pemantauan lingkungan yang lebih ketat.
3. Mediasi dan Arbitrase: Negara-negara dapat mengadakan mediasi atau arbitrase oleh pihak ketiga yang diakui untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Ini dapat membantu menghindari eskalasi konflik dan memberikan solusi yang adil
4. Rencana Pertahanan Sipil: Negara-negara yang terlibat harus mengembangkan rencana pertahanan sipil untuk menghindari insiden tak diinginkan dan mengelola krisis. Ini dapat melibatkan langkah-langkah seperti komunikasi darurat dan tindakan pencegahan
5. Keterlibatan Komunitas Internasional: Komunitas internasional perlu terus mendukung upaya penyelesaian damai di Laut Cina Selatan dan menekan negara-negara yang terlibat untuk mematuhi hukum internasional
Kesimpulan
Laut Cina Selatan merupakan jalur perairan strategis yang banyak diperebutkan oleh Tiongkok dan beberapa negara ASEAN, antara lain Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Wilayah ini dipandang memiliki sumber daya alam dan biota laut yang melimpah, serta potensi bernilai triliunan dolar .Berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara-negara yang mengajukan klaim terhadap Laut China Selatan (LCS) tidak terlepas dari usaha untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka. Indonesia mengadopsi berbagai strategi diplomasi untuk menangani sengketa LCS dengan Tiongkok.
Langkah-langkah diplomasi tersebut mencakup pengiriman nota protes ke pemerintah Tiongkok, Selain usaha diplomasi, Indonesia juga memperkuat posisinya di Natuna melalui pengembangan ekonomi dan manusia. Akhir dari penutup ini, pelu perundingan, mediasi dan kepatuhan dari negaranegara yang berbatasan dengan LCS, sehingga tidak perlu ada konflik yang ditimbulkan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Jihad Konstitusi Kembali ke UUD 18/8/1945

Yahya Zaini Dukung Konsep “School Kitchen” Untuk MBG Yang Aman dan Dekat Anak

Ada Pengangkutan Belasan Ton Limbah B3 Asal Pertamina Tanjunguban dengan Tujuan Tak Jelas

Lho Kok Hanya Peringatan Keras…?

Yahya Zaini: Tidak Ada Instruksi DPP Golkar Untuk Laporkan Pembuat Meme Bahlil

Menjadi Santri Abadi

Pendemo Desak KPK Periksa Ketua Komisi VIII DPR RI Terkait Skandal Kuota Haji 2024

Pengamat P3S Jerry Massie Ungkap Demi Selamatkan Golkar, Bahlil Didesak Mundur

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Prof. Djohermansyah Djohan: Serapan Anggaran Daerah Rendah Bukan Karena Kelebihan Uang Tapi Karena Sistem Yang Lambat








No Responses