Penulis: Muhammad Ishak, Farhan Gymnastiar
Mahasiswa Pascasarjana Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Tulisan ini membahas pentingnya pendekatan STEM (Science, Technology, Enggineering, and Mathematic) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang lestari dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, permasalahan yang ada dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan termasuk di wilayah pesisir masih cukup kompleks, namun salah satu poin yang harus menjadi focus kita bersama adalah SDM yang masih terbatas, serta belum maksimalnya penerapan IPTEK dan manajemen profesional.
Untuk itu diperlukan peran dunia pendidikan seperti lembaga penelitian dan juga perguruan tinggi untuk dapat memformulasikan kembali program yang mampu menghasilkan generasi yang produktif dan sadar akan kemajuan teknologi. Konsep pembangunan berkelanjutan seperti blue economy, ICZM, maupun konsep ekowisata bahari sudah cukup baik namun akan lebih maksimal jika dikelola dengan pendekatan IPTEK yang relevan dan termutakhir.
Pendahuluan
Wilayah lautan dan pesisir termasuk pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat beragam dan memiliki peran penting sebagai penyangga ekonomi, sosial, lingkungan, serta budaya. Dengan potensi tersebut, menjadikan semakin meningkatnya upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut oleh banyak pihak. Namun disisi lain menimbulkan kekhawatiran terhadap metode pengelolaan yang kurang berwawasan lingkungan dan penggunaan teknologi yang tidak tepat, sehingga dapat menimbulkan degradasi wilayah pesisir dan laut itu sendiri. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan bagi sebagian orang belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Tentu hal tersebut akan mempengaruhi kondisi dan kelestarian sumberdaya kelautan yang ada.
Jika diperhatikan lebih jauh, berbagai persoalan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, diantaranya: Peraturan perundangan yang ada membatasi daerah dalam menetapkan suatau kebijakan pengelolaan, sebagaimana kondisi saat ini dimana kewenangan daerah untuk pengelolaan wilayah pesisir di level kabupaten/kota sudah tidak diberikan lagi;
Pemanfaatan yang cenderung bersifat sektoral sehingga terkadang kita temui kebijakan yang overlap; Adanya konflik pemanfaatan antar beberapa stakholders, sebagai contoh kawasan konservasi yang harus dirasionalisasi untuk kebutuhan pembangunan seperti pelabuhan. Tantangan lainnya yang tidak kalah penting adalah kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) khususnya di wilayah pesisir.
Mayoritas masyarakat pesisir masih ketergantungan terhadap sumberdaya pesisir dan laut yang seringkali melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya alam sebab tidak dibarengi dengan pengetahuan terhadap IPTEK, seperti penebangan dan konversi mangrove ataupun penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang merusak sekosistem.
Berkaitan dengan persolan-persoalan yang dikemukakan sebelumnya, maka dibutuhkan terobosan kebijakan. Salah satu upaya untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya pesisir dan laut adalah dicetuskan konsep blue economy. Beberapa negara di Kawasan Asia Pasifik telah berkomitmen untuk menerapkan pengembangan ekonomi kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dengan model blue economy yang merupakan pola pembangunan ekonomi kelautan dengan berfokus pada ocean based economy (Pradana, 2021).
Seluruh potensi sumberdaya kelautan yang ada baru dapat di maksimalkan untuk kepentingan yang lebih luas jika didukung dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu pemerintah saat ini memiliki kebijakan yang cukup berpihak
ke sektor maritim dengan merumuskan visi pembangunan yang berbasi maritim dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Hal tersebut cukup berdasar melihat Indonesia yang juga memiliki potensi maritim berupa perairan yang dijadikan salah satu perlintasan internasional, dimana lokasi kepulauan nusantara merupakan persilangan alur lalu lintas laut yang menghubungkan benua bagian Timur dan Barat. Diharapkan dengan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan mendorong optimalisasi pembangunan disektor kelautan dan perikanan.
Fahmi (dalam Hasbullah, 2022) menjelaskan pilar utama agenda pembangunan maritim Presiden Joko Widodo, meliputi: Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia; Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama; Ketiga, komitmen untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, industri logistik dan pelayaran, serta pariwisata bahari; Keempat, diplomasi maritim yang mengajak seluruh mitra Indonesia untuk bekerja sama di sektor maritim; Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia harus membangun kekuatan pertahanan maritim.
Pilar utama pembangunan maritim tersebut menggambarkan besarnya potensi maritim yang dimiliki Indonesia, untuk itu pemanfaatan sumberdaya laut dan potensi maritim yang ada akan dapat dimaksimalkan melalui konsep blue economy yang tidak terfokus hanya pada ekploitasi saja tetapi juga menjaga keberlanjutan potensi dan sumberdaya yang ada.
Blue economy adalah proses dimana bahan baku berasal dari alam dan proses produksi mengikuti cara alam bekerja. Blue economy merupakan salah satu alat yang dapat digunakan memperbaiki perekonomian saat ini dengan lebih memperhatikan sustainability. Konsep yang dikembangkan untuk menjawab tantangan system ekonomi dunia yang cenderung eksplotatif dan merusak lingkungan sebab melebihi kapasitas dan daya dukung lingkungan.
Blue economy merupakan perkayaan dari konsep green economy dengan semboyan “Blue Sky – Blue Ocean” dimana Ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap biru (Ilma, 2016). Selaras dengan blue economy, konsep Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang telah memasuki tahun ke 40 sejak awal dirimuskannya diharapkan dapat mendukung optimalisasi blue economy.
Pada acara 4th ICMMBT di Hotel Grand Inna Kuta, Bali beberapa waktu lalu, Aimee T Gonzales, Direktur PEMSEA atau Kemitraan untuk Pengelolaan Lingkungan di Asia Timur yang berbasis di Manila, Filipina mengatakan jika “integrated coastal management akan terus berkembang dan bersiap untuk memasuki fase baru, yakni mewujudkan ekonomi biru secara berkelanjutan,” ia juga menjelaskan, pendekatan ICZM merupakan system tata kelola dan tata laksana yang mengatur perilaku manusia untuk menjaga fungsi ekosistem daratan dan lautan yang berkelanjutan.
Senada dengan itu Menteri Kelautan dan Perikanan (periode 2001–2004), Rokhmin Dahuri menyampaikan bahwa konsep ICZM sangat relevan untuk mewujudakan blue economy sebab konsep tersebut akan memastikan pemanfaatan sumberdaya pesisir harus didasarkan pada prinsip ilmu pengetahuan dan keberlanjutan. Konsep yang sudah ada baik itu blue economy maupun ICZM, tidak akan terwujud jika tidak ditopang dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan manajemen professional secara tepat dan benar.
Hal tesebut disampaikan oleh Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc., PhD dalam acara Profesor Summit ITS di Surabaya beberapa waktu lalu. Persoalan pengelolaan sumber daya alam baik di darat maupun di laut masih cenderung bersifat merusak dan tidak mengedepankan keberlanjutan ekosistem, hal tersebut mencermikan penerapan IPTEK yang kurang maksimal sehingga dibutuhkan peran berbagai pihak, utamanya dunia pendidikan untuk mendukung pemanfaatan dan pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) melalui IPTEK dan manajemen professional.
Hasil dan Pembahasan
Blue economy dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan World Bank dalam The Potential of The Blue economy mendefinisikan blue economy merupakan model pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan yang mencakup berbagai sektor diantaranya perikanan, budidaya perairan, pariwisata, dan energi terbarukan (De et al., 2017). Model tersebut diarahkan untuk menciptakan
pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya laut dan pelestarian ekosistem.
Pendekatan blue economy harusnya dapat memastikan bahwa manfaat ekonomi dan kesempatan kerja disektor kelautan dapat dinikmati secara adil dan merata oleh berbagai lapisan masyarakat. Sebagai bagian integral dari blue economy, konservasi dan manajemen berkelanjutan terhadap sumberdaya laut beperan penting untuk meminimalisir eksploitasi berlebihan dan kerusakan ekosistem laut. Oleh karena itu kerjasama dan keterlibatan antar negara menjadi aspek yang sangat penting dalam mendukung implementasi dari konsep blue economy.
Konsep blue economy dikemukakan pertama kali oleh Prof. Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul The Blue Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs, yang menggambarkan potensi manfaat teorinya bagi perlindungan lingkungan hidup
komunitas dunia, pelestarian sumber daya alam, pengalihan konsumsi energi hijau, bersih, hasil daur ulang atau terbarukan sebagai inisiatif pengurangan biaya industri.
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa ekonomi biru merupakan kumpulan inovasi yang berkontribusi terhadap penciptaan kesadaran global yang berakar pada pencarian solusi praktis berdasarkan sistem alam yang berkelanjutan. Konsep blue economy dapat diterapkan oleh pelaku usaha untuk mengembangkan bisnis yang menguntungkan secara ekonomi, social, dan lingkungan dimana sumber daya alam dimanfaatkan secara efisien dan ramah lingkungan.
Di negara-negara Asia Pasifik sendiri telah mencapai kesepakatan kerjasama blue economy oleh negara anggota APEC. Seluruh anggota berkomitmen dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan perlindungan terhadap laut berikut sumberdaya kelautan, pengelolaan laut untuk ketahanan pangan, perdagangan bebas, penindakan terhadap penangkapan ikan illegal, pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem kelautan, serta meningkatkan perdagangan produk ikan dan kelautan. Untuk itu sebagai salah satu negara kepulauan terbesar, Indonesia harus memanfaatkan peluang tersebut dalam kebijakan dan implementasi blue economy.
Terdapat beberapa prinsip dalam model kebijakan ekonomi biru menurut (Rani. F & Cahyasari. W, 2015): pertama, nature’s efficiency yang berarti ekonomi biru bekerja sesuai dengan yang disediakan oleh alam dengan efisien dengan tidak mengurangi melainkan memperkaya alam; kedua, zero waste dimana limbah yang dihasilkan dari satu aktivitas menjadi sumber energi bagi yang lain sehingga sistem kehidupan dalam ekosistem menjadi seimbang, energi didistribusikan secara merata tanpa ekstraksi energi eksternal. Bekerja dengan efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrient dan energi tanpa meninggalkan limbah, mendayagunakan seluruh stakeholders dan memenuhi kebutuhan dasar bagi semua.
Implemetasi blue economy di Asisa Pasific dan Indonesia
Blue ekonomi dapat dikatakan sebagai simbol kegiatan industri pengelolaan sumberdaya kelautan yang pro terhadap lingkungan. Konsep blue ekonomi mengarahkan agar pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan menerapkan standar proteksi terhadap ekosistem. Dengan demikian dapat menciptakan pembangunan berkelanjutan pada sektor kelautan yang menyeimbangkan antara ekonomi dan ekosistem, meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, dan adanya keselarasan antara peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan kelestarian ekosistem dan sumberdaya kelautan.
Salah satu bentuk pengeloaan sumberdaya kelautan yang mengimplementasikan konsep blue economy adalah Ekowisata Bahari (Marine Eco Tourism) yang merupakan aktivitas wisata bahari yang bersifat informatif dan partisipatif dengan tujuan menjamin
kelestarian alam dan sosial-budaya. Sehingga aktivitas wisata tidak hanya diarahkan untuk mengutamakan aspek ekonomi namun juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam kegiatan ekowisata diantaranya; keberlanjutan ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan dapat diterima oleh masyarakat. Jadi secara konseptual ekowisata merupakan suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan
mendukung upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.
Pengembangan marine eco tourism tidak akan dapat terealisasi tanpa dukungan seluruh pihak baik itu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Dari sisi masyarakat misalnya, diperlukan adanya pembentukan kelompok pengurus objek wisata yang mampu melakukan upaya pemeliharaan lingkungan dan mampu mengelola dengan baik. Dalam melakukan itu semua tentu harus disusun struktur organisasi dan membuat inovasi untuk bisa menjual dan memasarkan objek wisata. Kemudian dukungan pihak swasta dan pemerintah misalnya dalam bentuk pendanaan, promosi, penyiapan infrastruktur.
Pengembangan SDM juga harus dilakukan seperti pendidikan dan pelatihan untuk menambah wawasan terkait konservasi, inovasi pengolahan limbah, dan kegiatan ramah lingkungan lainnya. Evaluasi juga harus dilakukan secara berkala untuk memonitoring manfaat dan kendala yang dihadapi.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman terumbu karang yang tinggi telah memprakarsai sebuah program kepedulian terhadap ekosistem laut, khususnya penyelamatan terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang (Coral Triangle) yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). Gagasan tersebut dikemukaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela convention on Biological Diversity (CBD) ke-8 di Brazil pada tahun 2006. Tujuan utama CTI-CFF adalah untukmnegatasi ancaman terhadap ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan segitiga terumbu karang.

Kawasan Coral Triangle
Sumber : www.environment.gov.au
CTI-CFF memiliki agenda yang terkait dengan pelestarian sumberdaya kelautan, salah satunya adalah mempromosikan kawasan konservasi laut sebagai ekowisata bahari dan mempertahankan ketersediaan ikan dengan kerangka kerja dimulai dari dari penata kelolaan (identifikasi potensi SDA, penataan ruang, kajian dampak lingkungan, peraturan perundangan, dan pengelolaan wisata bahari), tahapan selanjutnya dengan penyediaan sarana dan prasarana penunjang, kemudian pembentukan kelompok usaha pariwisata.
Salah satu contoh kegiatan eko wisata bahari disebagian besar negara yang ada di Samudera Hindia adalah wisata “Whale and Dolphin Watching”. kemunculan Paus dan Lumba-lumba dijadikan wisata yang mampu menciptakan lapangan kerja dan mendukung penghidupan masyarakat sekitar yang dipadukan dengan kegiatan konservasi lingkungan. Pada tahun 2008 saja terdapat sekitar 13 juta orang di seluruh dunia berpartisipasi dalam kegiatan mengamati paus dan lumba-lumba yang menghasilkan nilai investasi pariwisata sebesar US$2,1 miliar (Iñíguez, 2013). di Indonesia sendiri, konsep ekowisata bahari sudah mulai diterapkan seperti ecomarine tourism Bangsring Underwater sebagai kawasan konservasi bahari di Desa
Bangsring, Banyuwangi. Saat ini menjadi destinasi pariwisata bahari berbasis edukasi dan konservasi terumbu karang. Objek wisata yang menyajikan daya tarik alam bawah laut berupa terumbu karang alami maupun buatan, sebagai habitat berbagai jenis ikan. Melalui konsep tersebut diharapkan dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan lingkungan bahari yang berkualitas dan lestari.
Konsep marine eco tourism harus dapat diimplementasikan di daerah lain yang memiliki potensi seperti di Taman Laut Bunaken yang terkenal dengan kekayaan spesies koral dan berbagai jenis ikan, Taman Laut Banda yang merupakan salah satu taman laut terindah di dunia, Taman Laut Raja Ampat di Papua dan didaerah-daerah lainnya di Indonesia.
ICZM dalam pengelolaan wilayah pesisir berkenjutan ICZM merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengelola wilayah pesisir secara terpadu berkelanjutan. Ini melibatkan koordinasi berbagai pemangku kepentingan dan berbagai tindakan untuk melindungi dan melestarikan ekosistem pesisir sambil mendukung keberlanjutan ekonomi dan sosial. Konsep pengelolaan tersebut harus dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh, menyusun perencanaan untuk menetapkan tujuan, sasaran pemanfaatan serta melakukan evaluasi melalui pengawasan dan pengendalian.
Penilaian secara menyeluruh dimaksudkan mengidentifikasi isu dan permasalah untuk dapat mengetahui stakeholders utama dan kepentingannya, potensi dan kondisi sumberdaya pesisir sehingga dapat dirumuskan tujuan dari pengeloaan pesisir terpadu. Perencanaan dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap isu-isu strategis yang telah teridentifikasi, mengetahui dan mendokumentasikan kondisi awal wilayah pesisir, menyusun rencana pengelolaan, mempersiapkan kelembagaan beserta sumberdayanya, dan menyiapkan pendanaan. Pengawasan dan pengendalian juga perlu dilakukan untuk menjamin pemanfaatan dilakukan dengan tertip, terpadu, berkelanjutan, mengurangi penyimpangan, serta dapat mengevaluasi kemajuan dan permasalan program yang sedang berjalan. Poin terpenting dalam implemtasi konsep ICZM adalah seluruh tahapan pelaksanaan harus dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders.
Konsep ICZM sudah dicetuskan pada saat dilaksanakannya konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) yang dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 atau KTT Bumi Rio De Janeiro. Poin tersebut dituangkan dalam Agenda 21 Chapter 17 sebagai rencana kerja abad 21 dengan judul ”Protection of the Oceans, All Kinds of Seas, including Enclosed and Semi-endclosed Seas, and Coastal Areas, and the Protection, Rational Use and Development of Their Living Resources”. Untuk itu ICZM menjadi fokus utama bagi negara-negara dengan wilayah laut yang luas. Demikian pula oleh negara berkembang dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan mulai dari perairan pedalaman, laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif,l andas kontinen, dan laut bebas (Sunyowati, n.d.).
Sejatinya konsep yang sudah cukup lama ini bisa diterapkan dengan memanfaatkan lembaga dan mekanisme yang ada, disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini. Namun pada kenyataannya masih sering kita jumpai kondisi yang tidak sesuai dengan konsep ICZM itu sendiri, misalnya: penebangan/konfersi hutan mangrove, penangkapan ikan yang berlebihan dan/atau dengan cara yang merusak ekosistem, pengolahan limbah yang kurang baik, bahkan kegiatan pembangunan dan reklamasi yang berlebihan di wilayah pesisir dapat menyebabkan degradasi, terganggunya keanekaragaman hayati, serta ancaman terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir.
Berbagai persoalan tersebut mencerminkan lemahnya komitmen untuk mendayagunakan potensi sumberdaya potensi dan laut. Hal tersebut dapat dilihat dimana pengelolaan wilayah pesisir yang terkesan masih bersifat sektoral, sementara karakteristik wilayah pesisir saling terkait satu sama lain dimana hanya dapat dimaksimalkan dengan pendekatan holistic dan terintegrasi.
Di indonesia sendiri konsep tersebut dituangkan dalam agenda 21 Global Tahun 1997. Dimana Indonesia mengeluarkan Agenda 21 Nasional yang memasukkan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
Dukungan terhadap hal tersebut datang dari UNDP (United Nations Development Programme) dimana dengan bantuan UNDP, Kementerian Lingkungan Hidup untuk meneliti konteks pembangunan berkelanjutan di Indonesia setelah krisis ekonomi. UNDP berkomitmen membantu Indonesia mengkaji dan menilai kapasitas yang diperoleh semenjak penendatanganan kesepakatan Agenda 21. Proses penilaian tersebut akan mendukung perkembangan strategi baru dalam pelaksanaan program-program pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
STEM dalam pengeloaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan STEM (Science, Technology, Enggeenering and Mathematic) merupakan istilah yang pertama kali diluncurkan oleh National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat pada sekitar tahun 1990-an sebagai gerakan reformasi pendidikan untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang-bidang STEM itu sendiri. Selain itu STEM juga diharapkan akan mengarahkan warga negara menjadi lebih melek terhadap IPTEK, serta meningkatkan daya saing Amerika Serikat dalam inovasi IPTEK (Hanover Research,2011).
Terdapat empat disiplin STEM yaitu: pertama, sains memungkinkan kita untuk mengembangkan minat dan pemahaman terhadap dunia, materi, fisik serta keterampilan kolaborasi, penelitian, sikap kritis, dan ekperimen.
Kedua, Teknologi berbagai bidang yang melibatkan penerapan pengetahuan, keterampilan, serta berfikir komputasi untuk meningkatkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan. Ketiga, Enggineering yakni keterampilan dan pengetahuan untuk mendesign dan mengkonstruksikan peralatan dan proses yang bermanfaat untuk menemukan Solusi pada setiap persoalan.
Terakhir adalah Matematika untuk membekali dengan keterampilan yang diperlukan dalam menafsirkan dan menganalisis informasi, menyederhanakan masalah, menghitung resiko, membuat keputusan berdasarkan informasi dan memahami dunia disekitar melalui pemodelan masalah abstrak dan konkret.
Pendekatan STEM untuk mendukung pembangunan berkelanjutan seyogyanya menjadi salah satu program priotitas dalam berbagai jenjang dunia pendidikan utamanya di perguruan tinggi. Sehingga dengan begitu dunia pendidikan akan mencetak professional yang dapat mengaplikasikan seluruh komponen STEM yang diperoleh pada pembelajaran disiplin ilmu pengetahuan alam (sains), teknologi, hasil rekayasa, dan matematika di dunia nyata.
Menurut Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc., PhD, beberapa permasalahan dalam pembangunan bangsa diantaranya: Sebagian besar teknologi yang digunakan merupakan produk dari luar, pelaku dan penggiat usaha belum menerapkan IPTEK dan manajemen professional, lembaga penelitian dan perguruan tinggi masih kurang produktif, terdapat “missing link” diantara kebijakan dan program pemerintah dengan pelaku usaha juga antara lembaga penghasil IPTEK dengan “users”. Oleh karena itu diperlukan peran sentral perguruan tinggi agar IPTEK dan manajemen professional dapat diimplementasikan demi kemakmuran dan kemajuan bangsa, hal tersebut sejalan dengan blue print pembangunan Indonesia yang berbasis kelautan dengan platform pembangunan ekonomi adalah resources-based melalui penerapan IPTEK dan manajemen professional. Peranan penting IPTEK dalam pembangunan bangsa diantaranya akan meningkatkan nilai pemikiran, keterampilan, dan mutu pelayanan, juga dapat meningkatkan produktivitas, daya saing SDM, serta kualitas masa depan masyarakat.
Optimalisasi peran perguruan tinggi dapat dilakukan dengan skema: Perguruan tinggi dan dunia industry membentuk sebuah forum dan kegiatan bersama sehingga hasil penelitian dan kajian relevan dengan kebutuhan pasar; hasil riset teresbut juga harus bisa ditransfer dan dimanfaatkan oleh masyarakat agar nilai tambah menjadi lebih besar; program-program perguruan tinggi untuk memaksimalkan potensi IPTEK harus mendapat dukungan kebijakan dari pemerintah.
STEM dalam pengelolaan SDA kelautan dan pesisir Pengelolaan sektor kelautan dan perikanan dapat dikatakan sebagai sumber pertumbuhan baru di Indonesia yang selama ini lebih terfokus pada pengelolaan sumberdaya di daratan. Untuk itu penerapan STEM menjadi sangat penting untuk dapat menciptakan pengelolaan yang berdaya saing dengan berbasis teknologi namun tetap mengutamakan keberlanjutan ekosistem. untuk itu dituntut adanya peningkatan sumberdaya manusia yang sadar teknologi utamanya masyarakat di wilayah pesisir. peningkatan SDM masyarakat dan stakeholders lainnya merupakan kebutuhan utama
sebuah sebagai negara maritim untuk dapat menjaga dan memanfaatkan semua potensi kelautan.
Salah satu contoh penerapan teknologi dalam pengelolaan SDA kelautan adalah penggunaan teknologi Vessel Monitoring System (VMS) untuk mendukung pelaksanaan Monitoring Control and Surveillance (MCS), sebuah teknologi informasi yang bebasis radio yang diharapkan dapat memaksimalkan pengawasan diwilayah laut. Teknologi VMS telah banyak dipergunakan di banyak negara untuk dapat meminimalisir praktik penangkapan ikan illegal dan tidak sesuai dengan aturan yang ada atau dikenal dengan istilah IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing.
Pendekatan STEM juga sudah dlilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam upaya penyusunan neraca sumberdaya laut untuk memperhitungkan nilai ekonomi ekosistem khususnya di kawasan konservasi. Perhitungan tersebut dapat
menjadi salah satu acuan para pelaku usaha jika ingin berinvestasi di laut. Meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak tantangan seperti kesulitan untuk mendapatkan data termutakhir, namun hal tersebut seharusnya dapat ditanggulangi dengan koordinasi lintas sektor yang menjadi menjadi wali data.
Selain itu terobosan baru juga sudah dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya energi baru dan terbarukan (EBT), yaitu sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Salah satunya adalah teknologi pemanfaatan energi laut (arus, gelombang, OTEC, dll) menjadi energi listrik. teknologi tersebut bertujuan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan listrik hingga ke daerah terpencil. Potensi energi laut Indonesia sendiri dapat dilihat pada table berikut:
Inovasi dibidang IPTEK juga telah dilakukan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember- Surabaya, dengan mengembangkan struktur terapung budidaya lepas pantai untuk budidaya ikan. Struktur tersebut dikenal dengan “Ocean FarmITS” yang dirancang sesuai dengan karakteristik kondidi lepas pantai Indonesia. Konsep tersebut memadukan aspek budidaya ikan dengan wisata bahari, dimana jaring berada di dalam laut untuk budidaya ikan sementara di struktur bagian atas untuk wisata bahari.
Pada dasarnya pendekatan STEM sudah mulai diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, namun diperlukan adanya inovasi-inovasi baru dimana hal tersebut juga bergantung pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Untuk itu, dunia pendidikan utamanya perguruan tinggi harus bisa mencetak generasi yang berkualitas dan sadar teknologi sehingga pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara mandiri namun tetap berdaya saing.
Kesimpulan
1. Konsep blue economy, Integrated Coastal Zone Management (ICZM), serta Ekowisata Bahari (Marine Eco Tourism) merupakan pendekatan yang sangat efektif untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir yang berkelanjutan. Namun, implementasi dari konsep tersebut akan lebih maksimal jika didukung dengan pendekatan STEM.
2. Peningkatan sumberdaya manusia merupakan hal yang sangat penting untuk dapat merealisasikan pembangunan berkelanjutan disektor kelautan dengan didasari oleh penerapan IPTEK.
3. Peran perguruan tinggi menjadi sangat sentral dalam upaya peningkatan SDM melalui pendekatan STEM (Science, Technology, Enggeenering and Mathematic) untuk pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan pesisir yang berdaya saing.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Trump Diprotes Karena Menghancurkan Gedung Bersejarah
Buzzer Tikus Mewarnai Kabinet Merah Putih
Berstatus Bebas Bersyarat, Ahli Hukum: Terhukum Tidak Dapat Menjadi Calon Perangkat Desa
Purbaya Berdaya Menggempur Tipu Daya dan Politik Sandera
Tokoh Yahudi desak PBB dan para pemimpin dunia untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel atas tindakannya di Gaza
Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
Muhammad Chirzin: Predator
Dana Pemerintah Mengendap Rp234 Triliun, Mintarsih: Kejiwaan Masyarakat Pasti Terdampak
Tawaran Tinbergen Rule LBP Mental
Revolusi Sistem Keuangan Presiden Prabowo
No Responses