Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia selama puluhan tahun, sejak awal abad 20 bukan hanya sekadar membaca buku-buku di Nederlands Indie (India-Belanda), di wilayah jajahan Belanda, melainkan menimba ilmu dan melakukan penelitian di beberapa negara di Eropa. Mereka berinter-aksi dengan para aktifis gerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme. Hasil-hasilnya ditulis dan disebarluaskan melalui media-media yang tersedia pada waktu itu. Pengalaman dan pengetahuan mereka yang menjadi dasar menyusun Undang-Undang dari Negara yang akan dibentuk. Jadi sangat salah apabila ada pendapat yang mengatakan, bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia disusun hanya dalam beberapa hari. Bahkan ada seorang tokoh senior yang menulis, bahwa Undang-Undang Dasar Republik disusun hanya dalam 8 jam, yaitu pada waktu ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Semua pasal dan ayat yang dirumuskan bukan tanpa alasan, melainkan dengan pertimbangan yang matang dan sudah melalui pembahasan panjang, bahkan sebelum dimulainya penyusunan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Dalam sidang-sidang dan di sela-sela sidang Badan yang menyusun rancangan Undang-Undang Dasar tersebut, juga dilakukan pembahasan serta perdebatan sengit. Apabila terjadi kebuntuan dalam sidang dan tidak tercapai musyawarah, maka dilakukan voting, antara lain ketika menentukan bentuk Negara yang akan didirikan, yaitu apakah bentuk Kerajaan atau Republik atau bentuk lain. Mayoritas sidang memilih bentuk negara yang akan didirikan adalah Republik.
Salahsatu dasar penting dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sejarah Nusantara, baik di masa pra kolonialisme, di masa kolonialisme Belanda dan di masa pendudukan tentara Jepang. Selain tercantum dalam Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK),[2] hal-hal tersebut di atas juga dapat dibaca di buku-buku yang ditulis oleh para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia.
Mereka yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, bukan hanya harus mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, melainkan juga harus mengetahui perkembangan sejarah Indonesia sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yaitu di masa perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), 27.12.1949 – 16.8.1950 dan di masa pemerintahan kabinet parlementer NKRI, 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, di mana berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang masih disusun parlemen RIS.
Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom, di mana Republik Indonesia dengan Ibukotanya Yogyakarta, adalah satu dari 16 Negara Bagian tersebut. 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom adalah bentukan Belanda. Di banyak Negara Bagian/Daerah Otonom duduk orang-orang Belanda dalam pemerintahan. Belanda sangat berperan dalam mengangkat wakil-wakil dari Negara Bagian/Daerah Otonom untuk menjadi anggota parlemen dalam Parlemen RIS. Dengan demikian, mayoritas anggota Parlemen RIS berasal dari Negara-Negara bagian/Daerah Otonom yang dibentuk oleh Belanda.
Sukarno menandatangani UUDS pada 15 Agustus 1950 masih sebagai Presiden RIS. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang disusun oleh parlemen RIS, digunakan oleh NKRI sampai tanggal 5 Juli 1959, tanggal dikeluarkannya Dekrit Presiden. Di dalam UUDS yang berlaku pada waktu itu, tidak dikenal adanya Dekrit untuk mengubah UUDS. Oleh karena itu perlu kiranya diketahui, mengapa sampai dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk Kembali Ke UUD ’45.
Kemudian juga penting diteliti periode setelah tahun 1965, mengapa timbul tuntutan untuk dilakukannya perubahan UUD ’45, yaitu periode Orde Baru1965 – 1998 dan sampai pada waktu dimulainya pembahasan tahun 1999 untuk mengubah UUD ’45 yang disahkan pada 17 Agustus 1945.
Sekilas Sejarah Penjajahan Bangsa-Bangsa Eropa
Sejarah penjajahan (kolonialisme) oleh bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia, dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis di Maluku tahun 1512. Kemudian berturut-turut datang bangsa Spanyol, Inggris dan terakhir bangsa Belanda. Perancis sempat menguasai wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggra, yaitu ketika Belanda diduduki oleh Perancis di masa kejayaan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) di Eropa.
Tujuan bangsa-bangsa Eropa sejak awal bukanlah untuk berdagang, melainkan untuk menguasai wilayah-wilayah di luar Eropa. Hal ini dapat dilihat dari Traktat Tordesillas (Tordesillas Treaty) yang disepakati oleh dua kekuatan dunia waktu itu, Portugal dan Spanyol. Dalam rangka mencari wilayah untuk dijadikan pemukiman (koloni) bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol yang adalah bertetangga di Eropa selatan, mereka saling berperang. Untuk mengakhiri pertikaian tersebut, kedua negara Katholik tersebut sepakat untuk membuat perjanjian. Dengan difasilitasi oleh Paus Alexander VI, pada 7 Juni 1494 di kota Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan untuk membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan kedua negara tersebut di luar Eropa.
Patokannya adalah Kepulauan Tanjung Verde di sebelah barat pantai Afrika. Sekitar 39°53’BB. Belahan dunia di luar negara-negara Eropa sebelah timur menjadi “milik” Portugis dan “separuh dunia” di sebelah barat Kepulauan Verde menjadi “milik” Spanyol. Namun ketika mereka bersaing lagi di Maluku sejak tahun 1521, dibuat perjanjian baru yaitu Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. di mana Maluku “diserahkan” kepada Portugis. Spanyol menyingkir ke Filipina dan kemudian menjadi penjajah di Filipina.
Negara-negara Eropa lain tidak mengakui Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza, sehingga dalam memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa, mereka saling berperang, merampok dan membunuh. bahkan menjual tawanan-tawanan prang sebagai budak, seperti yang dilakukan oleh Belanda. Selama lebih dari 250 tahun, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia. Melalui perang dan perjanjian-perjanjian, awal abad 20, dengan pengecualian Timor Timur yang dikuasai oleh Portugis, Belanda menjadi penguasa tunggal di wilayah Asia Tenggara yang kemudian menjadi Nederlands Indie (India – Belanda).
Bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Asia Tenggara, tepatnya di Banten, tahun 1596. Pada 20 Maret 1602, di Belanda didirikan kongsi dagang yang dinamakan Verenigde Oost-indische Compagnie – VOC. VOC memperoleh piagam (Ooktroi) dari penguasa di Belanda, Staatengeneraal seperti layaknya suatu negara, yaitu:[3]
– berhak memiliki tentara,
– berhak mencetak mata uang sendiri,
– berhak memungut pajak,
– berhak melakukan perjanjian dengan suatu negara,
– berhak menyatakan perang terhadap suatu negara, dll.
Kepala Kantor Dagang Pusat bergelar Gubernur Jenderal, dan Kepala Kantor Dagang Cabang bergelar Gubernur. Semula VOC membuka kantor dagangnya di Banten. Kemudian VOC meminta izin kepada Pangeran Jayakarta untuk membuka kantor dagang di Jayakarta. Setelah mendapat izin, VOC mendirikan kantor berfondasi Batu dan berdinding kayu. Kemudian VOC menyewa lahan 1,5 hektar dan membangun kantor dan gudang yang kokoh seperti suatu benteng, dengan tembok setinggti 7 meter. Dari “kantor dagang” ini VOC di bawah Gubernur Jenderal VOC ke 4, Jan Pieterszoon Coen (1587 – 1629) menyerang tuan rumah, dan berhasil mengalahkan Jayakarta pada 30 Mei 1619. Dengan demikian, tanggal 30 Mei 1619 adalah awal penjajahan Belanda di Asia tenggara/Nusantara. “Bapak” penjajahan Belanda adalah jan Pieterszoon Coen (JPC). Semboyan JPC adalah: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” artinya “jangan putus asa, jangan beri ampun musuhmu, karena Tuhan bersama kita.” Semboyan JPC yang kejam ini yang dipakai Belanda sampai menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati, Jawa Barat pada 9 Maret 1942.[4]
Komoditi utama yang diperdagangkan oleh Belanda sejak tahun 1600 selain rempah-rempah adalah budak dan candu (opium). Harga rempah-rempah terutama cengkeh dan pala di Eropa dapat mencapai 400 kali lipat dari harga pembelian di Maluku/Kepulauan Banda. Ukuran kekayaan pada waktu itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pemerintah kolonial memegang monopoli perdagangan candu. Dengan praktek-praktek “dagang” yang sangat agresif dan brutal, dalam waktu singkat VOC menjadi perusahaan raksasa. Tahun 1637 VOC menjadi perusahaan terkaya sepanjang masa. Nilai asetnya apabila dikonversikan dengan nilai ekonomi abad 21, mencapai 7,9 TRILIUN US $. Tidak ada satupun perusahaan raksasa multi nasional sekarang yang dapat mencapai prestasi kekayaan VOC tahun 1637. Oleh karena itu, Belanda menyatakan zaman VOC sebagai “zaman keemasan” (de gouden eeuw). Ini tentu sangat ironis. Kekayaan yang diperoleh penjajah bukan hanya melalui perdagangan rempah-rempah, melainkan juga dengan perdagangan narkoba (candu) dan memperjual-belikan manusia serta berhasil memegang monopoli perdagangan melalui perang, pembunuhan, bahkan genosida terhadap etnis Wandan (penduduk Kepulauan Banda), diglorifikasi oleh pemerintah dan rakyat Belanda di abad 20/21 sebagai “zaman keemasan.” Di abad 19, kontribusi keuntungan dari Nederlands Indie (India Belanda) terhadap APBN Negara Belanda mencapai 12,5 %. Sampai tahun 1939, kontribusi dari Nederlands Indie terhadap APBN Belanda masih 9%.
Praktek-praktek penjajahan Belanda yang sangat kejam, yang di beberapa wilayah di Asia Tenggara berlangsung selama lebih dari 300 tahun, tepatnya di Jayakarta (sekarang Jakarta) dan di Kepulauan Banda, telah membangkitkan rasa kebencian terhadap penjajah dan kaki-tangannya. Hukuman mati yang paling kejam dan sadis adalah penyulaan (silakan cari di google dengan memasukkan kata kunci “penyulaan”). Di wilayah jajahan Belanda, selama lebih dari 200 tahun, yaitu dari tahun 1642 – 1860 resmi diberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Seperti ditulis di atas, ukuran kekayaan di masa itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Tentara Belanda yang menangkap orang-orang yang akan dijadikan budak, kebanyakan dari daerah-daerah yang mereka taklukkan. Ada juga raja-raja dan penguasa setempat yang menjual rakyatnya sebagai budak.
Bulan Mei 1619 terjadi genosida, pembantaian etnis Wandan, penduduk asli Kepulauan Banda. Diperkirakan sekitar 13.000 penduduk tewas dibantai dengan sadis, sekitar 1.000 orang berhasil menyelamatkan diri ke pulau-pulau yang berdekatan, kemudian sisanya sekitar 870 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dibawa ke Batavia dan dijual sebagai budak. Ketika wilayah jajahan Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis, Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Untuk kepentingan pertahanan, tahun 1809, dia membangun jalan Raya Pos sepanjang 1.000 km dari Anyer ke Panarukan. Dia memberlakukan sistem Rodi, yaitu kerja paksa dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi. Hal ini mengakibatkan ribuan pekerja pribumi meninggal.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan antara tahun 1830 – 1870 membawa keuntungan yang luar biasa besarnya untuk penjajah. dalam kurun waktu 40 tahun pelaksanaan sistem Tanam Paksa, keuntungan bersih (bahasa Belanda: Batig slot) yang diperoleh penjajah sekitar 850 juta gulden. Tahun 1992 ada yang mengkonversikan dengan index perekonomian tahun 1996. Nilainya sekitar 15,5 milyar gulden. Namun sistem tanam paksa yang membawa keuntungan besar untuk penjajah, menimbulkan kesengsraan untuk pribumi yang dijajah. Tahun 1949 di Grobogan ribuan orang mati kelaparan. Kelaparan juga terjadi di Cirebon dan daerah-daerah lain.
Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) yang membagi penduduk menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Bangsa Eropa (Europeanen). Bangsa Jepang disetarakan dengan bangsa Eropa.
2. Timur asing (bangsa Cina dan bangsa Arab).
3. Pribumi (Inlander).
Tahun 1926 Peraturan Pemerintah ini dikukuhkan sebagai Peraturan Negara (Staatsregeling).
Dalam Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik, tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.[5] Sampai tanggal 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel, tempat pemandian umum, bioskop, bahkan di perkumpulan olahraga, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER. Artinya, TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung, hotel dsb., hanyalah para jongos.
Setelah selama lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, pribumi di wilayah jajahan Belanda naik tingkat menjadi jongos di negeri sendiri. Hal-hal tersebut di atas tentu sangat menyakiti perasaan dan harga diri para pribumi, yang sebenarnya adalah pewaris dan pemilik negeri ini. Pribumi mengalami diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya di negeri sendiri, bahkan tidak dinilai sebagai manusia, melainkan disetarakan dengan anjing.
Demikian sekilas mengenai kekejaman dan diskriminasi yang luar biasa besarnya terhadap pribumi di zaman kolonialisme Belanda di Asia tenggara. Hal-hal tersebut di atas yang membangkitkan kesadaran dan semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan asing.
BACA JUGA:
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
No Responses