POTENSI DISRUPSI INDUSTRI ENERGI TERBARUKAN DI INDONESIA

Oleh: Soni Fahruri
Founder CENITS (Centre of Excellence for Energy Innovations and Technology Studies)

Istilah disrupsi ini mulai populer di Indonesia sejak maraknya industri transportasi online (Go-Jek, Grab, Uber, dll). Awal beroperasi transportasi online mendapatkan pertentangan dari industri transportasi yang sudah eksisting. Namun, melihat manfaat yang diperoleh masyarakat pengguna dan sopir transportasi online serta peran serta Pemerintah yang secara segera merespon fenomena yang terjadi, akhirnya industri transportasi online dapat segera diterima oleh khalayak umum. Hal yang menonjol terlihat pada saat itu, hingga sekarang adalah belum siapnya payung hukum yang mengatur pengelolaan transportasi online. Seolah-olah yang terjadi bahwa transportasi online berjalan bisnisnya, bahkan menjadi bisnis yang besar sebelum payung hukumnya tersedia.

Banyak orang menganggap disrupsi hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), seperti transportasi online, E-commerse, atau Start Up. Terdapat beberapa ciri disrupsi antara lain: 1) Dari kepemilikan perorangan menjadi berbagi peran/ kolektif-kolaboratif; 2) Proses Bisnis menjadi lebih hemat biaya dan lebih simpel; 3) Kualitas yang dihasilkan lebih baik; 4) Menciptakan pasar baru; 5) Produknya mudah diakses dan dijangkau oleh penggunanya; 6) Menjadikan sesuatu lebih smart, pintar, hemat waktu dan akurat.

Di era revolusi industri 4.0 yang mulai diperkenalkan oleh para pemikir di Jerman pada tahun 2013 pada agenda pameran tahunan “Hannover Messe”, terus menggeliat mempengaruhi semua sektor. Kalau selama ini kita hanya mengenal dampaknya di sektor transportasi dan e-commerce, maka sebenarnya potensi terjadi gelombang disrupsi di sektor energi terbarukan juga sudah terlihat. Hal ini ditandai dengan individu maupun kelompok dapat diperkenankan untuk memproduksi listrik yang bersumber dari energi matahari di atap rumah (solar photovoltaic roof top), namun, hal itu masih terjadi di luar negeri.

Di Jerman, sudah sejak sepuluh tahun terakhir atap-atap rumah dipasangi Solar PV Rooftop. Jadi tiap rumah bisa menjadi produsen energi listrik berbasis energi matahari. Dengan melalui model bisnis seperti ini, akan membantu penyedia listrik di jerman untuk memproduksi energi listrik.

Di Indonesia, Implementasi solar PV rooftop yang dapat dilakukan dalam kondisi saat ini yakni perumahan yang baru dikembangkan, tiap-tiap rumahnya atap garasi mobil (car port) menggunakan Solar PV. Dengan biaya investasi yang hampir sama dibandingkan menggunakan atap biasa, car port dari solar PV dapat bermanfaat guna menghasilkan energi listrik untuk sebagian kebutuhan energi listrik, bukan untuk menggantikan seluruh kebutuhan listrik di rumah tersebut. Dampaknya bagi pemilik rumah adalah beban biaya listrik akan berkurang.

Negara-negara yang bergabung dalam Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) ternyata memiliki perkembangan energi terbarukan cukup besar dalam beberapa tahun terakhir, yakni rata-raya sebesar 4.6 persen tiap tahunnya. Sedangkan di Indonesia, masih jauh dari harapan target yang dicanangkan yakni 23% pada tahun 2025. Bahkan beberapa ahli sudah berfikir realistis target tersebut tidak dapat tercapai apabila kita tidak secara serius dan konsisten secara terus menerus mengupayakannya.

Di era revolusi industri 4.0 semua berjalan dengan cepat yang ditunjang oleh makin canggihnya internet/ Internet of Thing (IoT). Hasil penelitian dari Lawrence Barkeley National Laboratory (LBNL) menyebutkan bahwa perkembangan teknologi untuk Solar Photovoltaic (PV) sudah demikian cepatnya sehingga mampu meningkatkan efisiensi produk dan menurunkan cost produksi hingga 70%. Hal ini berpengaruh terhadap besaran biaya pokok produksi listrik, sebagaimana terjadi di negara Meksiko menjadi 2,5 Cent USD/Kwh dan di India sebesar 3 Cent USD/Kwh.

Disrupsi yang mungkin terjadi pada sektor energi terbarukan perlu kiranya dikelola dengan baik. Beberapa teknologi yang meningkat secara pesat, dan dimasa mendatang berpotensi sebagai disrupsi antara lain: teknologi batterai penyimpan energi, teknologi energi matahari (solar PV dan solar thermal), teknologi pengolah sampah menjadi energi, teknologi energi biomassa, teknologi energi angin, teknologi energi laut (gelombang, arus, panas laut, pasang surut), dan teknologi lainnya.

Saat ini dari beberapa media menyebutkan bahwa DPR RI menyampaikan inisiasi untuk menyusun RUU Energi Terbarukan. Tentu, para penggiat energi khususnya energi terbarukan menaruh harapan dengan keberadaan RUU Energi Terbarukan yang akan disusun agar dapat melakukan akselerasi peningkatan bauran energi yang bersumber dari energi terbarukan meningkat secara signifikan.

Seiring berjalan hal tersebut, diperlukan juga penyiapan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten di sektor energi terbarukan, penguatan komunitas penggiat energi terbarukan, peningkatan kolaborasi berbagai sektor (Pemerintah, Perguruan Tinggi, Industri, Masyarakat dan Sumber Daya Alam), serta perlu dicarikan solusi pendanaan dalam penyediaan pembangkit berbasis energi terbarukan.

Perubahan pasti akan berjalan, baik lambat ataupun sangat cepat. Transformasi energi konvensional/fosil menuju energi terbarukan tidak bisa terelakkan lagi. Ada sebuah pernyataan yang cukup terkenal bahwa zaman batu itu berakhir bukan karena dunia sudah kehabisan batu, begitu juga zaman saat ini yang menggunakan energi fosil, akan berakhir jauh sebelum energi fosil habis, namun akan beralih menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Energi yang bermanfaat bagi pembangunan berkelanjutan untuk generasi saat ini dan generasi mendatang.

Related Posts