Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College
Melalui UUD2002 hasil amandemen ugal-ugalan oleh MPR yang mabuk reformasi, partai politik tiba-tiba memperoleh hak istimewa menjadi satu2nya institusi yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejak itu jagad politik dimonopoli secara radikal oleh partai-partai politik. Presiden dan wakil presiden terpilih praktis hanya petugas partai seperti yang sering dikatakan Megawati pada Jokowi. No more no less. Seperti monopoli ekonomi menyebabkan inefisiensi dan high-cost economy, monopoli politik sebagai barang publik telah mengakibatkan inefisiensi dan high-cost politiics. Hampir semua deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yg disebut sebagai prahara bangsa oleh Ichsanudin Noorsyi seperti tindak pidana korupsi berasal dari politik biaya tinggi ini.
Salah satu fitur penting demokrasi ala UUD2002 ini adalah pilpres dan pilkada langsung yg dibanggakan oleh kaum liberal sebagai puncak kemenangan masyarakat sipil melawan otoriterianisme Orde Baru yg didukung militer. Padahal Pilpres untuk negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa ini, dengan jumlah pemilih 160 juta tersebar ke 800.000 TPS -sebagian besar mereka rationally ignorant- yang terjadi adalah asal tusuk kertas suara massal petugas partai akibat Olsonian effect. Ini bukan cara beradab musyawarah bil hikmah memilih presiden mandatris MPR sebagai manusia terbaik negeri ini.
Jika pemilu ala UUD2002 ini adalah mekanisme rekrutmen pejabat-pejabat publik, bisa dibayangkan akibatnya pada rekrutmen mereka. Yang berbicara bukan kompetensi dan integriti, tapi populariti dan duit. Para pejabat publik sebagai law makers seharusnya mengadopsi standard etika tertinggi melebihi standard etika insinyur, dokter bahkan hakim. Kini kita melihat pelanggaran etika itu sebagian besar berujung pada pelanggaran hukum. Yang kita lihat saat ini bukan rule of law, tapi rule by law di mana hukum justru dipakai sebagai alat kekuasaan. Hukum menjadi tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Tiga agenda reformasi yaitu pemberantasan korupsi, demokratisasi, dan desentralisasi selama paling tidak 10 tahuh terakhir justru melahirkan berbagai maladministrasi publik di mana hukum dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite parpol dan taipan ekonomi yang mendukung logistik parpol. Yang tumbuh adalah korporatokrasi alias demokrasi mbelgedhes. Bahkan desentralisasi mengalami kemunduran karena banyak kewenangan pemerintahan ditarik kembali ke pusat. Ini terlihat dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja yang melahirkan banyak Proyek Strategis Nasional (PSN).
Melalui UUD2002, ersatz capitalism era Orde Baru berkembang pesat menjadi full fledged capitalism di era Jokowi yang menyebabkan akumulasi sumber-sumber daya ekonomi pada segelintir taipan. Kesenjangan ekonomi dan sosil makin menganga seiring dengan kesenjangan politik antara elite parpol dengan publik pemilih sebagai jongos politik.
Seperti yang dikatakan oleh Noam Chomsky bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah partai politik yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat, bukan ISIS, Al Qaeda atau HAMAS, apalagi FPI dan HTI. Dulu di Indonesia era Soekarno partai itu adalah PKI, lalu Golkar di era Soeharto. Dalam 10 tahun terakhir ini adalah PDIP. Sebentar lagi mungkin Gerindra.
Penyusupan partai politik ke dalam UUD 2002 itu adalah kudeta kelompok neoliberal atas UUD1945 sebagai pernyataan perang melawan penjajahan sekaligus strategi untuk memenangkan perang ini. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan negara Proklamasi ini kecuali dengan Kembali ke UUD1945. Setelah itu amandemen bisa dilakukan dengan teknik addendum, bukan dengan mengacak-acaknya.
Gunung Anyar, Surabaya. 17 Desember 2024.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
No Responses