Misteri Pagar Laut di PIK-2, Haruskah Nelayan Bertindak Sendiri ?

Misteri Pagar Laut di PIK-2, Haruskah Nelayan Bertindak Sendiri ?
Pagar laut di Banten

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

Fenomena pagar laut yang membentang sejauh 30 kilometer di kawasan PIK-2 menjadi tanda tanya besar di masyarakat. Keberadaannya yang begitu kokoh dan masif mengundang banyak spekulasi, terutama terkait siapa yang membangun struktur ini dan dengan tujuan apa. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengambil tindakan dengan menyegel pagar tersebut, namun hingga kini pembongkaran belum juga dilakukan. Ketidakpastian ini justru mempertegas misteri siapa sebenarnya pihak yang bertanggung jawab di balik pembangunannya.

Pihak-Pihak yang Membantah dan Klaim Nelayan

Pihak PIK-2, sebagai pengembang utama di kawasan tersebut, dengan tegas membantah keterlibatan mereka dalam pembangunan pagar laut ini. Sementara itu, muncul klaim dari kelompok nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Nusantara bahwa merekalah yang mendirikan pagar tersebut. Namun, pernyataan ini menimbulkan keraguan besar. Bagaimana mungkin nelayan, dengan keterbatasan finansial dan teknologi, mampu membangun struktur yang begitu raksasa dan membutuhkan perencanaan matang?

Sebagian pihak menduga bahwa klaim nelayan tersebut hanyalah upaya untuk mengalihkan perhatian. Apalagi, kebutuhan nelayan lebih kepada alat tangkap yang memadai, bukan membangun infrastruktur yang justru bisa membatasi akses mereka ke laut lepas. Kontradiksi ini membuat publik semakin skeptis terhadap kebenaran klaim tersebut.

Struktur yang Tidak Mungkin Dibangun dalam Waktu Singkat

Dari segi teknis, membangun pagar laut sepanjang 30 kilometer bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Proyek sebesar ini membutuhkan dana besar, peralatan berat, dan sumber daya manusia yang terorganisasi. Jika melihat dari durasi dan kompleksitas pengerjaannya, besar kemungkinan bahwa pagar laut ini mulai dibangun jauh sebelum pemerintahan baru dilantik. Hal ini menambah lapisan misteri, terutama karena pembangunan dengan skala sebesar itu hampir pasti membutuhkan izin dan pengawasan dari pihak berwenang.

Tindakan Pemerintah yang Tertahan

Menteri KKP telah menyegel pagar laut ini sebagai langkah awal, namun sampai saat ini pembongkaran belum juga dilakukan. Ada kesan ragu-ragu dari pihak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. Apakah keraguan ini disebabkan oleh tekanan dari pihak tertentu, ketidakjelasan status hukum, ataukah karena alasan lain yang belum terungkap ke publik? Yang jelas, kebuntuan ini menimbulkan spekulasi liar, mulai dari dugaan keterlibatan pihak swasta berpengaruh hingga kemungkinan adanya kelalaian dari aparat pemerintahan sebelumnya.

Dampak pada Lingkungan dan Nelayan Lokal

Keberadaan pagar laut ini tidak hanya menjadi masalah administratif, tetapi juga berdampak signifikan pada ekosistem laut dan kehidupan nelayan. Pagar tersebut berpotensi merusak habitat laut, mengganggu jalur migrasi ikan, dan membatasi akses nelayan lokal untuk mencari nafkah. Hal ini menjadi ironi, mengingat kawasan PIK-2 berada di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari komitmen pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan dan inklusif.

Haruskah Nelayan Bertindak Sendiri?

Dalam situasi di mana pemerintah ragu-ragu dan tidak memberikan kepastian hukum, masyarakat nelayan yang merasa dirugikan oleh keberadaan pagar laut ini memiliki hak moral dan hukum untuk mengambil langkah lebih lanjut. Hak atas lingkungan yang bersih dan akses ke sumber daya laut adalah hak dasar yang harus dilindungi. Ketika pemerintah terkesan lamban, nelayan tidak seharusnya hanya menunggu tanpa kepastian.

Tindakan kolektif dapat menjadi langkah strategis untuk menuntut pembongkaran pagar tersebut, baik melalui mekanisme hukum maupun aksi damai. Dengan mengedepankan prinsip-prinsip hukum dan perlindungan lingkungan, masyarakat nelayan dapat menjadi pelopor dalam menegakkan keadilan. Sebagai contoh, nelayan dapat bekerja sama dengan organisasi lingkungan dan advokat hukum untuk mengajukan gugatan atau melibatkan media dalam meningkatkan kesadaran publik. Langkah ini tidak hanya menunjukkan keberanian mereka, tetapi juga mengirimkan pesan kuat kepada pemerintah bahwa hak rakyat kecil tidak boleh diabaikan.

Siapa Penaburnya?

Misteri pagar laut di PIK-2 ini bukan hanya persoalan teknis atau administratif, tetapi juga menyentuh persoalan transparansi dan akuntabilitas. Siapa pun pihak yang berada di balik pembangunannya, harus bertanggung jawab atas dampak yang telah ditimbulkan. Pemerintah perlu menunjukkan keberanian untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan kejelasan kepada masyarakat.

Namun, jika pemerintah terus berlarut-larut dalam ketidakpastian, masyarakat nelayan harus berani mengambil inisiatif. Tindakan ini bukan hanya untuk menjawab rasa penasaran, tetapi juga untuk memastikan bahwa laut tetap menjadi milik bersama, bukan segelintir pihak yang mengejar keuntungan pribadi. Keberanian nelayan untuk bertindak akan menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan, sekaligus upaya nyata melindungi lingkungan dan masa depan mereka yang bergantung pada hasil laut.

Surabaya, 13 Januari 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K