Oleh: Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Ketua Umum MUI dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Yogyakarta.
Disampaikan dalam Kajian Korwil Forum Tanah Air DIY di Aula Gedung PDHI Yogyakarta pada hari Sabtu, 25 Januari 2025.
Yogyakarta adalah kota pelajar, kota perjuangan, kota budaya, kota wisata, dan kota rukun beragama dengan kekayaan budaya, sejarah, dan destinasi wisata.
Yogyakarta memiliki peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia dan pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan.
Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar karena menjadi pusat pendidikan dengan sejarah panjang.
Jogja merupakan rumah sejumlah institusi pendidikan ternama dan berkualitas, yakni universitas, sekolah tinggi, akademi, dan sekolah-sekolah kejuruan.
Belanda memperkenalkan konsep pendidikan formal mencakup berbagai aspek, seperti pertanian, bahasa, kebudayaan, dan hukum.
Organisasi dengan lembaga Pendidikan: Muhammadiyah, 1912 – pendiri KHA Dahlan, dan Perguruan Taman Siswa, 1922) – pendiri Ki Hadjar Dewantara.
Universitas Islam Indonesia didirikan tahun 1945, dan Universitas Gadjah Mada berdiri sejak tahun 1949.
Tujuh belas Universitas terkemuka di Yogyakarta:
1. Universitas Gadjah Mada (UGM)
2. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
3. Universitas Islam Indonesia (UII)
4. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
5. Universitas Alma Ata (UAA)
6. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
7. Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
8. Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)
9. Universitas Sanata Dharma (USD)
10. Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta
11. Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW)
12. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST)
13. Universitas Mercu Buana Yogyakarta
14. Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
15. Universitas Amikom
16. Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa)
17. Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY)
Yogyakarta menyediakan berbagai fasilitas pendukung proses belajar dan pengembangan diri berupa perpustakaan kampus dan perpustakaan umum.
Jogja memiliki banyak tempat wisata edukatif, seperti museum-museum, candi, dan situs sejarah yang dapat memperkaya pengetahuan pelajar.
Yogyakarta terkenal dengan budaya akademis yang kuat dan suasana kota yang nyaman serta penuh kegiatan intelektual.
Banyak lulusan kampus-kampus di Yogyakarta yang sukses dan kompeten di bidangnya; menjadi pengusaha, dan pemimpin bangsa.
Yogya memiliki semangat dan komitmen membentuk generasi cerdas yang berkontribusi bagi bangsa.
Merawat Yogyakarta sebagai kota pelajar dilakukan dengan menjaga kebersihan, mendukung kebijakan lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas belajar yang ada.
Masyarakat dapat menjaga kebersihan kota dengan tidak membuang sampah sembarangan, dan membiasakan perilaku ramah lingkungan.
Mendukung kebijakan lingkungan, membantu mempertahankan pesona kota Yogyakarta, dan mendukung kebijakan pemerintah.
Memanfaatkan fasilitas belajar, memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) untuk belajar mengajar.
Memanfaatkan fasilitas belajar yang ada di kampus, seperti laboratorium, perpustakaan, dan museum.
Yogyakarta turut memainkan peran penting bagi perjalanan bangsa Indonesia baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Belanda, Kesultanan Yogyakarta berperan penting dalam sejumlah peristiwa yang melatari kelahiran bangsa Indonesia.
Yogyakarta menjadi tuan rumah sejumlah kegiatan penting di masa lalu, tempat Kongres Wanita Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928.
Yogyakarta menjadi ibu kota negara pada tahun 1946 menyusul kekacauan yang dilancarkan tentara Belanda yang ingin berkuasa kembali di Tanah Air.
Pada akhir abad ke-16 berdiri kerajaan Islam Mataram yang berpusat di daerah Kotagede, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura, dan Surakarta.
Sultan Agung menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629 untuk mengusir VOC dari Pulau Jawa, karena VOC mengancam kekuasaan Mataram Islam, melakukan monopoli dagang yang menghalangi kapal dagang Mataram ke Malaka, menolak mengakui kedaulatan Mataram.
Pada tanggal 13 Maret 1755, Kasultanan Yogyakarta mengumandangkan proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Diponegoro mengobarkan perang melawan penjajah Belanda tahun 1825 hingga 1830, dilatarbelakangi pemasangan patok di makam leluhur Pangeran Diponegoro, dan campur tangan urusan internal Kesultanan.
Setelah lahir Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Raja Yogyakarta segera mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru kepada para proklamator kemerdekaan.
Dukungan terhadap republik semakin penuh ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.
Merawat Yogyakarta sebagai kota perjuangan dilakukan dengan mengingat dan memperingati peristiwa-peristiwa penting di kota ini.
Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya, meraih penghargaan Kota Peduli HAM dan Kota Terinovatif dari Kementerian Dalam Negeri RI.
Yogyakarta meraih penghargaan sebagai Kota Cerdas melalui penilaian berdasar Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) pada tahun 2015 dan 2018.
Yogyakarta pernah ditetapkan sebagai Kota Kebudayaan ASEAN ke-5 untuk periode 2018-2020 oleh Menteri ASEAN bidang kebudayaan dan kesenian.
Pembangunan manusia di Kota Yogyakarta menunjukkan kemajuan. Pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) sejak tahun 2010 “sangat tinggi”.
Pada tahun 2020, IPM Kota Yogyakarta mencatatkan nilai 86,61, dan masih menempati peringkat pertama secara nasional.
Umur harapan hidup mencapai 74,56 tahun, rata-rata lama sekolah 11,46 tahun, dan angka kemiskinan pada Maret 2020; 31,62 ribu (7,27 persen).
Jogja menawarkan keanekaragaman budaya yang menjadikan wisatawan asing banyak yang betah berlama-lama tinggal di Jogja.
Tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Ini membuktikan bahwa batik benar-benar menjadi ciri khas Indonesia, khususnya di Jogja.
Batik adalah kebudayaan yang diturunkan dari nenek moyang, sebagai karya seni yang tidak sekadar goresan canting yang cantik di mata, tapi juga kaya makna.
Sekatenan adalah pesta rakyat di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad dengan Grebeg Maulud.
Sendratari Ramayana merupakan sebuah seni tari dan drama yang digabungkan menjadi satu pertunjukan yang apik tanpa dialog dengan cerita Ramayana.
Menjaga dan melestarikan tradisi Jawa yang melekat di Yogyakarta, seperti batik, kerajinan perak, pertunjukan wayang, musik tradisional, dan makanan khas.
Merawat Yogyakarta sebagai kota budaya dilakukan dengan mengembangkan kesenian dan kreativitas masyarakat, melaksanakan pendidikan dan penyuluhan budaya, promosi dan pemasaran budaya, advokasi dan kebijakan budaya, menjalin kerja sama dan kolaborasi dengan komunitas dan masyarakat, melestarikan dan mengembangkan kawasan cagar budaya.
Toleransi dan kerukunan umat beragama di Kota Yogyakarta patut disyukuri dan diapresiasi. Yogyakarta memiliki potensi kerukunan sejak era kemerdekaan; mampu menerima beragam suku dan agama.
Masyarakat Kota Yogyakarta menjunjung tinggi filosofi jawa Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungkebi – Berani Mawas Diri, Merasa Ikut Memiliki, Wajib Ikut Menjaga atau Membela.
Kemajemukan merupakan aset sosial pembangunan yang sangat berharga.
Penganut agama saling melengkapi dan mendukung proses pembangunan yang memerlukan sumber daya yang besar.
Peranan para tokoh lintas agama yang ada di Yogyakarta sangat menentukan dalam mendorong umat berperan serta menjaga keharmonisan lingkungan.
Yogyakarta sangat kondusif untuk melaksanakan ibadah berkat saling pengertian dan menghormati di antara umat beragama.
Kegiatan merawat kerukunan beragama di Yogyakarta, antara lain pentas seni budaya, sarasehan ormas keagamaan, dan lomba kelurahan rukun beragama.
Kota Yogyakarta pernah mendapatkan penghargaan Harmony Award 2018 dari Kementerian Agama RI sebagai kota dengan kerukunan beragama yang baik.
Penyakit masyarakat dapat mengancam keberadaan Yogyakarta sebagai kota pelajar, kota perjuangan, kota budaya, kota wisata, dan kota rukun beragama.
Penyakit masyarakat adalah perbuatan atau kegiatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat yang dapat diatasi dengan berbagai upaya, seperti sosialisasi, razia, dan pembinaan.
Langkah pemberantasan penyakit masyarakat: (1) memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang penyakit masyarakat, penyebabnya, dan cara pencegahannya; (2) memberikan bimbingan dan nasihat kepada yang terjaring razia; (3) menetapkan peraturan tentang penanggulangan penyakit masyarakat berupa narkoba, minuman keras, gelandangan dan pengemis, pelacuran, dan perjudian yang dapat memicu kejahatan.
Penanggulangan pergaulan bebas yang menjadi bibit penyakit masyarakat: (1) menanamkan nilai-nilai agama dan pendidikan seks sejak dini; (2) Membangun komunikasi yang terbuka dan hangat dengan anak; (3) mengawasi secara bijak aktivitas anak tanpa kesan mengekang; (4) menyediakan kegiatan positif untuk menyalurkan energi dan kreativitas; (5) memberikan pemahaman yang benar tentang kesehatan reproduksi dan seksual; (6) mengajarkan anak untuk memanfaatkan teknologi secara positif dan bertanggung jawab; (7) menciptakan lingkungan pertemanan yang sehat; (8) menanamkan pendirian positif yang kuat tentang tujuan hidup.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Tawaran Tinbergen Rule LBP Mental
Revolusi Sistem Keuangan Presiden Prabowo
Pancasila Sebagai Sumber Moral dan Spiritual Bangsa
Orang Berstatus Bebas Bersyarat Tak Boleh Jadi Calon Perangkat Desa, Ini Penjelasan Hukumnya
Berjihad Melawan Korupsi, Menyelamatkan Hak Anak Indonesia Menuju Indonesia Emas
Habib Umar Alhamid: Prabowo Pantas Ajak TNI dan Rakyat untuk Bersih-bersih Indonesia
HIPKA Tegas Tolak Politisasi Hukum Demi Stabilitas Pembangunan Ekonomi Kalbar
Skandal Tirak, Ketua BPD Nilai Rizky Putra “Mbah Lurah” Belum Layak Sebagai Calon Karena Belum Bebas Murni
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Reformasi Polisi dan Kebangkitan Pemuda: Seruan Keras Dr. Anton Permana di Hari Sumpah Pemuda
No Responses