Aku Sangat Pilu, Anakku Dicaci Selalu

Aku Sangat Pilu, Anakku Dicaci Selalu
Agus Wahid, analis politik

Oleh: Agus Wahid

“Orang tua mana yang ga pilu, apalagi sebagai ibu. Hati ini remuk-redam bagai dipanggang di tengah siang. Sungguh malu. Sebab, tiada hari, setiap jam, bahkan menit dan detik, anakku dicaci selalu. Itulah yang tertayang di sejuta media sosial (medsos). Memang, tidak secara langsung. Namun, pada saat-saat tertentu karena tugas kenegaraan, pun caci-maki tetap melayang. Setidaknya, menjadi bahan ketawaan. Ga dianggap, meski dikawal sejumlah ajudan yang garang. Anakku seperti tak ada secuilpun benar atau memiliki kebenaran”, keluh Anairi, yang juga menjadi cover berita di berbagai media, termasuk medsos.

“Ya, mah. Saya – setiap malam – memperhatikan masku yang cool itu. Tapi, sejak dilantik sebagai orang “nomor 2” di negeri ini, Masku bukan hanya diam atau cool, tapi selalu murung. Tak pernah ada lagi senyum. Tampak memanggul beban entah berapa ton”, ujar menantunya, sembari menambahkan, “Kira-kira, Masku mampu bertahan ngga ya?”

“Hehehe…”, timpal seorang warga ndeso sembari mengipas dadanya yang terasa sumuk. Maklum, seharian, banting tulang. Pergi menelusuri jalan dengan menjual es cendol, mengais rezeki. Untuk keperluan harian anak-istri. Dirinya bergumam, meski di bawah terik matahari, daku tak pernah mengeluh. Sebab, insya Allah, rezeki yang kuperoleh halal. Bukan, nimpe uang negara atau rakyat. Najis. Rakyat yang lagi banyak kelaparan dan mencari kerja ke sana-sini, tapi mereka – para petinggi negara, termasuk sosok nomor 2 itu dan kedua orang tuanya – main sikat uang negara, meski melalui fasilitas yang notabene dibenarkan negara.

“Lhu, kerja apa Tong? Ga becus juga. Otaknya juga kopong. Mau ikut benahin negara yang lagi gelap ini? Pendidikanmu juga sangat tidak jelas, bahkan di bawah standar. Opo yo lulus SMA, bahkan setingkat akademi? Konon, di Singapura? Weleh, weleh… Persis Bapakmu yang ga jelas juga pendidikan formalnya. Makin ancurrrr kalau orang sepertimu tetap bertahan di sanggasa tinggi itu. Orang seperti ini kok bisa menikmati fasilitas negara. Semakin lama duduk di tahta itu, negeri ini jelaslah makin ancurrr. Ngaca dong Tong…. Ra usah nunggu dimakzulkan. Bersikaplah kesatria. Seperti yang diteladankan tokoh politisi Jepang: Merasa berbohong kepada publik, langsung menyerahkan kekuasaannya.

Celoteh salah satu warga negara asal ndeso itu tentu tak digubris, meski sejatinya sampai ke kupingnya. Apalagi, suara gemuruh seperti wong ndeso itu jutaan orang jumlahnya. Malalui apa? Apalagi kalau bukan melalui medsos. Kalau media meanstream tentu tak sudi memuat celoteh kaum kritis. Karena itu medsos saat ini sejatinya merupakan pengganti media mainstream. Di Era digital seperti ini, apapun informasi begitu cepat sampai ke telinganya. Minimal, melihat tayangan rakyat yang mengeluhkannya.

Sang Anairi pun duduk termangu, sembari mengernyitkan dahinya. Di tengah kesendirannya, mulai terbuka kesadarannya. “Ngger, ger… anakku sayang. Kowe mesakno tenan. Kamu benar-benar menjadi korban keserakahan bapakmu yang mengabaikan konstitusi, apalagi suara keberatan jutaan rakyat. Hanya karena ambisi memperpanjang masa jabatannya menjadi tiga periode, kamu harus manut kemauan Bapakmu. Dipaksa loncat jauh dari tingkat kota langsung ke istana. Sejatinya, kakimu ga akan sampai. Bukan hanya lompatannya. Tapi, usiamu yang waktu itu baru 36 tahun pun sesungguhnya tidak bisa menurut UU Politik No. 7 Tahun 2017. Tapi, Bapakmu tetap ngeyil. Prinsipnya, hambatan apapun, termasuk konstitusi, disingkirkan. Dan kamu, ngger… dipaksa harus dilegalkan secara hukum. Agar bisa memenuhi syarat sebagai calon orang nomor 2 di negeri Konoha ini.

Ngger, ger… Sekali lagi, karena ambisi Bapakmu dan mamaksakan kamu harus ikut kontestasi pemilihan presiden walau berposisi sebagai wakil, maka om kamu yang baru menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dipaksa harus melakukan simsalabim. Menuruti titah sang kakak ipar, terbitlah Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanpa proses persidangan di MK. Aneh tapi super nyata, permohonan judicial review didaftarkan, esok paginya keluar putusan MK yang menggegerkan itu. Jadilah dirimu sebagai anak haram konstitusi.

Hai Mak Anairi…. Sekarang ini bilang pilu. Bukankah, saat putusan MK keluar, dirimu melambai-lambai tangan kirinya dengan senyum sumringah? Seolah sudah memenangkan pertarungan besar? Raut wajahmu yang tertangkap kamera saat itu tak bisa dibohongi.

Memang benar. Begitu MK mengetok putusan yang bersifat final and binding itu dan karenanya amar putusannya harus ditindaklanjuti, KPU pun memprosesnya, apalagi di bawah ancaman. Menurut informasi A1, Ketua KPU Hasyim Asy`ari saat itu tak bisa menolak saat nama putera sulung Anairi-Iwok itu didaftarkan bersama Presiden Wowo. Jika menolak, kejahatan moralnya segera beredar di tengah publik. “Di alat kecil ini (flash-disk), seluruh kebejatan moralmu tersimpan”, ujar sesorang suruhan Iwok.

KPU – atas nama amanat MK (amr putusan MK. No. 90 itu) harus menindaklanjuti proses pendaftaran anak haram konstitusi itu. BAWASLU pun sendiko dawuh. Hai Anairi, dengan segenap kekuatan kekuasaan yang ada di tangan suamimu yang oon itu, anakmu berhasil manggung di negeri Konoha ini. Luar biasa. Di tengah sistem demokrasi masih terjadi sublimasi politik yang penuh drama mengenaskan.

Kini, kau pilu. Memohon-mohon agar anakmu tak dicaci selalu. Sudahlah. Tak perlu mengemis. Jutaan rakyat ini juga tak bodoh dan tak mau dibodohi terus. Membiarkan anakmu bertahan di sanggasananya, sama artinya menanti negeri ini kian hancur. Hanya anak bangsa yang foolish yang rela membiarkan sosok pemimpin yang under capacity itu. Benar-benar akan membenamkan kepentingan masa depan bangsa dan negara ini.

Sebagai ibu yang peka, apalagi merasa malu, pilu dan prihatin, alangkah indahnya jika sang emak menasehati putera sulungnya agar lebih baik melepaskan diri jabatan kenegaraannya. Agar rakyat – dengan sendirinya – menahan diri. Tak melanjutkan aksi provokatif-heroiknya. Kau pun harus menasehati suamimu yang masih saja menunjukkan ambisiusnya ingin kembali berkuasa, meski bersikap sebagai “God-Father”.

Bangsa ini sudah cukup ditipu mentah-mentah dengan daya tipu level dunia. Boleh jadi, hanya suamimu di dunia ini yang berhasil menipu jutaan orang, termasuk kalangan akademisi yang jernih pemikiran dan bersih vestednya. Semua disapu bersih oleh suamimu hanya dengan modal wong ndeso dan terkesan lugu.

Sekali lagi, sudahlah Anairi… Jangan lagi pilu. Tak perlu menyalahkan rakyat yang mencaci maki. Meski kau ibu kandungnya, tapi itu semua akibat keserakahan suamimu. Dan kau sendiri kala itu sehati sikap dan langkahnya dalam mendorong anakmu yang sesungguhnya masih suka main layaknya anak-anak TK.

Namun, jika kau benar-benar ingin mengakhiri caci-makian rakyat terhadap anakmu, hanya satu hal yang layak dilakukan: bisiki anakmu. Turun dari tahtanya. Jika anakmu menuruti nasehatmu, maka sekitar 50% masalah keluargamu akan tereduksi. Tinggal membisiki suamimu, anakmu yang ragil dan menantunya. Jika menjauhkan dari jagad raya politik, maka – perlahan tapi pasti – persoalan keluargamu akan tenang. Bisa hidup damai. Sudahlah… Hartamu tak akan habis dimakan, bukan hanya tujuh turunan, tapi ratusan turunanmu.

Bekasi, 25 Juli 2025
Penulis: Analis Politik, disajikan dalam gaya sastra (ringan-renyah)

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K