Api di Kabupaten Pati

Api di Kabupaten Pati
Foto: Saat rakyat Pati menuntut Bupati Sudewo turun, karena dipandang arogan dan membuat kebijakan menaikan pajak ugal-ugalan

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Dosen di STT Multimedia Internasional Malang, Wakil Ketua ICMI Jatim

“Wong jare diopeni, kok malah ditampani.” (Orang yang katanya akan mengasihi, malah menindas) — Pepatah Jawa

Pati selama ini dikenal sebagai kabupaten yang damai dan sederhana. Sebagian besar wilayahnya adalah hamparan sawah menghijau, desa-desa yang teduh, dan jalan-jalan kecil yang menghubungkan pasar tradisional dengan ladang-ladang padi. Warganya terkenal patuh, taat pada aturan, dan tidak neko-neko. Mereka bekerja keras tanpa banyak mengeluh, hidup rukun, saling menolong, dan jarang terseret arus hiruk-pikuk politik.

Justru karena sifat sabar itulah, kemarahan mereka menjadi sesuatu yang langka—dan sekaligus mengerikan. Rakyat Pati tidak mudah tersulut. Mereka biasanya memilih menahan rasa kecewa, berharap pemimpinnya menyadari kesalahan tanpa harus diingatkan keras. Namun kesabaran yang terus-menerus diuji akan berubah menjadi bara. Bara itu mungkin tampak kecil pada awalnya, tetapi jika disiram bensin kesombongan dan pengkhianatan janji, ia akan menyala dan menjalar ke segala penjuru.

Hari itu, wajah Pati berubah drastis. Desa yang biasanya sunyi oleh suara ayam berkokok kini dipenuhi derap langkah massa. Jalan-jalan yang biasanya hanya dilalui sepeda dan motor kini penuh sesak oleh ribuan orang. Udara yang biasanya tenang kini bergetar oleh teriakan. Kabupaten yang dikenal tenang itu mendadak menjadi samudra manusia, ombaknya mengalun dari desa ke kota, membawa satu pesan: Kami sudah cukup bersabar.

Mereka tidak datang dengan tangan kosong—mereka membawa kemarahan, membawa luka, membawa janji yang dikhianati. Mereka datang karena harga diri mereka telah diinjak, karena kebijakan yang menampar logika: pajak dinaikkan 250% di tengah napas ekonomi yang masih terseok. Dan yang membuat bara itu menjilat lebih tinggi adalah tantangan seorang bupati: “Kalau kalian demo 50.000 orang, akan kami hadapi.”

Bendera-bendera berkibar di atas kepala lautan manusia. Teriakan bergema, menembus panas matahari siang itu. Wajah-wajah tegas memandang ke depan, mata mereka menyala seperti obor yang tak bisa dipadamkan. Dari desa-desa di ujung kabupaten hingga gang-gang kecil di jantung kota, rakyat berbondong-bondong datang. Jalan-jalan Pati penuh sesak, bukan oleh lalu lintas kendaraan, melainkan oleh arus manusia yang menuntut keadilan.

Hari itu, Pati menjawab tantangan itu dengan dentuman langkah 250.000 jiwa. Tidak lagi sekadar unjuk rasa—ini adalah pernyataan: Kami ada, kami melawan.

Dentuman Langkah Rakyat

Dan Pati pun menjawab. Bukan dengan 50.000 orang, tapi dengan 250.000 jiwa. Dari desa-desa di tepian hingga kampung-kampung di pinggir sawah, mereka datang bagai gelombang tanpa akhir. Di tengah terik matahari, bendera-bendera berkibar, genderang ditabuh, dan teriakan “Mundur!” membelah udara.

Di depan kantor bupati, lautan manusia itu bergulung seperti ombak musim badai. Wajah-wajah yang biasanya ramah kini mengeras. Suara yang biasanya lirih kini menggelegar. Setiap teriakan menjadi palu yang mengetuk pintu kesadaran—bahwa kekuasaan bukan milik pribadi, melainkan amanah rakyat.

Detik-Detik Puncak Amarah

Teriakan “Mundur!” menggema dari ribuan mulut. Papan-papan tuntutan diangkat tinggi, bendera berkibar, genderang protes ditabuh. Di depan kantor bupati, gelombang manusia itu bergulung seperti ombak di musim badai. Wajah-wajah yang biasanya ramah kini mengeras, suara yang biasanya lirih kini memekakkan telinga. Di tengah lautan itu, rakyat bersatu tanpa memandang warna baju atau latar belakang. Semua menyatu dalam satu tujuan: mengakhiri kepemimpinan yang mereka anggap telah berkhianat.

Bukan sekadar orasi, ini adalah vonis rakyat yang dibacakan di jalanan. Setiap sorak dan teriakan menjadi palu yang mengetuk kesadaran siapa pun yang masih menganggap kekuasaan adalah milik pribadi, bukan amanah.

Ketika Janji Dikhianati, Rakyat Bangkit

Pemimpin lahir dari janji. Janji yang dibisikkan saat kampanye, janji yang dituliskan dalam visi, janji yang ditegaskan dalam sumpah jabatan. Janji itulah yang membuat rakyat rela berpanas-panas di TPS, meninggalkan pekerjaan demi memilih.

Tapi apa jadinya bila janji itu dikhianati? Kepercayaan runtuh, rasa hormat berubah menjadi luka. Dan luka rakyat, jika tak diobati, akan menjelma menjadi badai yang menghantam siapa pun yang berdiri di hadapannya.

Pelajaran dari Kepemimpinan Nabi

Sejarah sudah menulis teladan. Nabi Muhammad memimpin bukan dengan ancaman, melainkan dengan keteladanan. Beliau berkata, “Pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.” Tidak pernah beliau mengingkari janji. Tidak pernah beliau meninggalkan rakyatnya di tengah kesulitan.

Beliau juga bersabda: “Tidaklah seorang pemimpin menipu rakyatnya, melainkan Allah akan mengharamkan surga baginya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalau pemimpin menipu, ia tidak hanya berhadapan dengan rakyat, tapi juga dengan Tuhan.

Pati Adalah Cermin

Hari ini, Pati memberi pelajaran: jangan bermain-main dengan kesabaran rakyat. Jangan uji mereka dengan kesombongan. Jangan pancing amarah mereka dengan tantangan murahan.

Kekuasaan adalah titipan. Rakyatlah yang mengangkat, rakyat pula yang bisa menurunkan. Mereka mungkin diam saat awal, tapi ketika mereka bergerak, gelombang itu akan menghantam tanpa pandang bulu.

Pesan Moral

“Sapa nandur, bakal ngundhuh.” (Siapa menanam, akan menuai) — Pepatah Jawa

Pati membara bukan karena rakyat haus kekacauan, tetapi karena mereka haus keadilan. Mereka bangkit bukan untuk meruntuhkan, tetapi untuk mengingatkan: pemimpin yang ingkar janji telah kehilangan hak moral untuk memimpin.

Kepada para pemimpin di seluruh negeri, dengarlah baik-baik pesan dari Pati: jangan biarkan sejarah mencatat nama Anda sebagai pemimpin yang dimusuhi rakyatnya. Pimpinlah dengan amanah, berlaku adillah, tepati janji. Sebab bila tidak, bukan hanya rakyat yang akan menuntut di dunia—Allah pun akan menuntut di akhirat.

Surabaya, 14 Agustus 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K