Rakyat Pati Menang, Bupati Sadewo Tumbang

Rakyat Pati Menang, Bupati Sadewo Tumbang
Kisruh di Pati bermula karena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, kebijakan itu menuai kontroversi hingga akhirnya dibatalkan. (ANTARA FOTO/AJI STYAWAN)

Laporan Investigasi Khusus Tim Independen

PATI – Riak kecil yang awalnya dianggap sepele berubah menjadi badai politik terbesar dalam sejarah Kabupaten Pati. Bupati Sadewo—yang selama ini terkenal keras kepala, gemar menantang lawan, dan memaksakan kebijakan—akhirnya jatuh tersungkur di tengah teriakan massa: “Rakyat Bersatu, Bupati Tumbang!”

Bagi warga, ini bukan sekadar pergantian pejabat. Ini adalah pembuktian bahwa ketika kekuasaan arogan dan ugal-ugalan, rakyat yang bersatu bisa menjadi kekuatan yang mustahil dibendung.

Foto: Saat rakyat Pati menuntut Bupati Sudewo turun, karena dipandang arogan dan membuat kebijakan menaikan pajak ugal-ugalan

Awal Bara: Pajak Ugal-ugalan

Kronologi berawal empat bulan lalu, ketika Pemkab Pati di bawah kepemimpinan Sadewo mengumumkan kebijakan kenaikan pajak daerah secara drastis. Kenaikan ini meliputi:

Pajak UMKM naik rata-rata 50–100%. Pajak pasar dan retribusi kios melonjak hingga dua kali lipat.Pajak hasil tangkapan nelayan naik signifikan, ditambah pungutan baru untuk izin melaut.

Kebijakan diumumkan tanpa sosialisasi memadai. Bagi warga yang baru bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca-pandemi, ini ibarat *pisau yang menusuk di saat luka belum sembuh.

“Pajak pasar naik, tapi atap bocor tetap bocor. Kami bayar mahal, tapi tak ada perbaikan,” keluh Mariyah, pedagang sayur di Pasar Juwana.

Percikan Arogansi

Alih-alih mendengar keluhan, Sadewo justru menanggapi dengan sikap yang memancing amarah. Dalam sebuah forum resmi, ia berkata dengan nada menantang:

“Kalau tidak setuju, silakan demo. Saya tunggu. Jangan cuma bicara di belakang.”

Video pernyataan ini beredar luas di media sosial dan memicu gelombang komentar pedas. Kalimat itu menjadi bensin yang menyulut bara protes di seluruh Pati.

Gelombang Aksi: Dari Desa ke Kota

Minggu Pertama– Protes dimulai dari puluhan pedagang pasar di Desa Tlogowungu yang menggelar aksi di depan kantor kecamatan. Mereka membawa spanduk sederhana bertuliskan “Tolak Pajak Ugal-ugalan”.

Minggu Kedua – Aksi menyebar ke desa-desa pesisir. Nelayan Juwana menutup akses pelabuhan sebagai simbol perlawanan. Di media sosial, tagar #PatiMelawanmulai trending lokal.

Minggu Ketiga – Aliansi mahasiswa, LSM lingkungan, komunitas petani, dan kelompok buruh bergabung membentuk Forum Rakyat Pati Bersatu (FRPB). Posko-posko aksi didirikan di 21 kecamatan.

“Kita sadar, melawan sendirian itu percuma. Tapi kalau bersatu, kita bisa membuat sejarah,” ujar Suyanto, koordinator FRPB.

Dokumen Bocor: Pukulan Telak

Titik balik terjadi di bulan kedua protes, ketika dokumen internal Pemkab bocor ke publik. Dokumen itu berisi:

1. Target penerimaan pajak daerah yang dinaikkan secara ekstrem tanpa kajian ekonomi.
2. Catatan aliran dana “tak resmi” yang mengarah pada rekening pihak-pihak dekat bupati.

Bocoran ini diperkuat oleh investigasi media lokal yang menemukan pola setoran dari pengusaha tambang dan pengelola pasar ke lingkaran terdekat Sadewo.

“Bocoran ini membuktikan bahwa pajak ugal-ugalan bukan sekadar untuk kas daerah, tapi ada dugaan bancakan,” kata Fitri Ananda, aktivis mahasiswa.

Kepung Pusat Kota

Minggu Keempat – Aksi mencapai puncak. Lebih dari 150.000 orang dari berbagai penjuru Pati bergerak menuju pusat kota. Konvoi truk, sepeda motor, dan bahkan perahu nelayan yang diseret ke darat menjadi pemandangan ikonik.

Jalan-jalan utama lumpuh. Alun-alun Pati berubah menjadi lautan manusia. Spanduk raksasa bertuliskan “Rakyat Pati Bersatu, Sadewo Mundur” membentang di antara pohon-pohon beringin tua.

Aparat keamanan berjaga di setiap sudut, namun aksi berlangsung tertib karena koordinator lapangan menerapkan disiplin ketat: tidak ada provokasi, tidak ada kekerasan.

Hari Tumbangnya Sadewo

Minggu Kelima, Hari Rabu (13/8/2025), 15.47 WIB – Setelah terkepung massa sejak pagi, Sadewo muncul di balkon kantor bupati. Wajahnya tegang, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tegas:

“Demi menghindari perpecahan dan demi kebaikan Pati, saya memutuskan mundur dari jabatan Bupati, efektif mulai hari ini.”

Suara massa pecah seperti ombak besar. Tangis, pelukan, dan sorakan membahana. Banyak yang tak percaya bahwa hari yang mereka perjuangkan selama berminggu-minggu akhirnya tiba.

Euforia dan Peringatan

Meski euforia kemenangan terasa di udara, para tokoh aksi mengingatkan: “Ini baru awal. Kita sudah menumbangkan satu orang, tapi sistem yang melahirkan kebijakan ugal-ugalan ini masih ada. Kita harus tetap mengawal.”

Pelajaran dari Pati

Perjuangan rakyat Pati membuktikan bahwa demokrasi lokal masih hidup—meski kadang harus dibangunkan dengan teriakan lantang. Satu hal yang pasti, ketika rakyat bersatu, bupati pun bisa tumbang.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K