Mengenal Fenomena PBB

Mengenal Fenomena PBB
Andi Syamsul Bahri, SH, Ahli Hukum dan Pengacara, tinggal di Jakarta

Oleh: Andi Syamsul Bahri, Salam Pramuka

Sejarah Pajak Bumi ada pada jaman Penjajahan Belanda walaupun sebelumnya di Jaman Kerajaan Nusantara adalah berupa upeti. Di Jaman Belanda dikenal dengan pajak hasil Bumi, jadi yang dipungut pajaknya adalah hàsil yang diperoleh setelah ditànami atau hasil galian. Setelah Indonesia Merdeka dikenal dengan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) atau Petok D. Pungutan inipun berdasarkan adanya hasil yang diperoleh jika tanah mendapatkan hasil dari budi daya tanàman padi, jagung, polowija, tembakau kelapa, cengkeh dll.

Pada 1985 Reformasi Perpajakan di Jaman Menteri Keuangan Radius Prawiro sistem perpajakan dirubah dan dimasukkan Ipeda kedalam Sistem Perpajakan Nasional dengan bersanding Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai. Proporsi Pembagian awal 80 % untuk Kab/Kota, 10% untuk Provinsi dan 10% untuk Pusat sebagai Fiscus.

Dasar Filosofi Pajak berubah dari pajak hasil bumi menjadi Pajak Bumi Bangunan, objek Pajaknya Tanah, dan Bangunan, maka semua yang berupa bangunan jika mencapai nilai tertentu sesuai dengan ketentuan perpajakan dikenai pajak, seperti Rumah, pagar, kolam renang, sekolah,mesjid, gereja dll. Dengan tarif 1 permil = satu perseribu, contoh jika nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 1 juta maka pungutan pajaknya adalah 1000 rupiah.

Setelah dianggap bahwa PBB ini dianggap milik daerah maka Dirjen Pajak menyerahkan Sistim PBB kepada Daerah ybs dimulai penetapan tarif dan memungut sendiri tanpa campur tangan Pusat. Daerah untuk meningkatkan PADnya tarif satu permil sangat kecil sedangkan biaya operasional pemerintah daerah semakin membesar. Jalan pintas adalah merubah tarif dasar pungutannya.

Kalau melihat fenomena pemerintah daerah menaikkan tarif ke ratusan persen sekarang berdasarkan UU No. 21 tahun 2022.Tarif pajak PBB 0,5 % x NJKP. Nilai Jual Kena Pajak inipun tidak 100% tapi cuma 40% dari NJOP dikurangi Nilai Jual Tidak Kena Pajak = Nilai Jual Kena Pajak. Tarif 0,5% x 40% dari NJKP (harga taksir bukan harga pasar) – 12 juta.

Tarif 0,5 % mau dinaikkan menjadi 250% oleh Pemerintah Daerah kalau melihat hirarki hukum tidak ada kewenangan. Karena kalau mau menaikkan Tarif UU HARUS DIRUBAH, ya domainnya DPR RI bukan domain Bupati atau Gubernur.

Bupati dan Gubernur termasuk DPRD tidak bisa merubah tarifnya tanpa adanya perubahan norma dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Undang Undang Hubungan Keuangan Daerah dan Pusat.

Saya menyatakan kalau ada Gubernur dan Bupati merubah tarif PBB tanpa adanya Perubahan norma dalam UUHKPD maka dia Makar terhadap NKRI.

Jakarta 14 Agustus 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K