Abraham Lagaligu : Saat Puasa Di Madura

Oleh : Abraham Lagaligu 

Pada suatu malam dipertengahan Ramadan 1424 Hijriah, sebagai seorang reporter muda Harian Pagi Memorandum, aku mendapat tugas menarik dari Pemimpin Redaksi, Haji Agil Haji Ali (Almarhum). “Abraham, besok kamu wawancarai Kiai Alawy Muhammad. Tanya beliau, apa kriteria pemimpin ideal Indonesia kedepan,” perintah Bos Agil.

Melalui sambungan telepon, salah seorang santri Kiai Alawy mempersilahkan Memorandum menemui Sang Kiai di pesantrennya, di Sampang, Madura, Jawa Timur, ba’da dhuhur. Sekilas langsung terbayang, perjalanan dua jam Surabaya-Sampang, saat puasa, ditengah udara panas yang menyengat.

Sebenarnya sempat beberapa kali aku mewawancarai Kiai Alawy melalui telepon. Namun malam itu Bos Agil juga berpesan, ambil foto Kiai Alawy yang terbaru. Sebagai wartawan, apa pun kondisinya, pantang menolak tugas. Sapta marga bak tentara. Yang boleh terucap hanya kata “siap Bos…!”.

Pukul 09.00 wib mulai kutunggangi pelan-pelan Honda GL MAX 1997 andalanku. Start menuju pelabuhan Tanjung Perak, untuk selanjutnya menyeberang dengan ferry ke Pulau Garam. Baru sepuluh menit bersepeda motor sudah terasa mata pedih terkena sengatan mentari.

Maklum, dua tahun melakoni profesi jurnalis aku terbiasa tidur ba’da subuh. Saat puasa, umumnya ba’da duhur baru beredar. Kalau tidak puasa sih mending, sepagi apa pun berangkat, rokok dan kopi sudah cukup membuat mata kembali menyala.

Tergodalah imanku waktu itu. Di dalam hati terbersit niat. “Ah nanti di ferry kan banyak penjual minuman dan rokok, aku batalin aja puasa. Kan lagi safar, gak ada yang kenal aku juga. Aman, diluar Ramadan puasanya bisa diganti. Yang penting tugas selesai”.

Harapanku kandas. Sesampai di ferry, orang-orang Madura yang biasa menjajakan aqua, kopi, rokok, kacang, telur puyuh, permen, tak satu pun tampak batang hidungnya. Iseng bertanya pada sekuriti ferry “Kak, kok sepi gak ada penjual sama sekali ini?”. Pak sekuriti cuma nyengir. ” Aduh, bulan puasa ini Dik, dosa kalau jualan makanan siang-siang. Nanti habis magrib, baru keluar semua,” ujarnya membuatku kecut.

Tapi tak apalah, ujarku dalam hati. Nanti saat sampai pelabuhan Kamal kan banyak warung. Namun sekali lagi harapanku kandas. Sampai Pelabuhan Kamal, Bangkalan – Madura, warung-warung yang biasanya ramai 24 jam, tampak sepi bagaikan kuburan. Hanya ada meja kursi yang dibalik tak berpenghuni. Kulkas-kulkas kaca isi teh botol pun tertutup rapat oleh terpal. “Aseeeeemmmm…,” jerit hatiku.

Dengan kecepatan tak lebih dari 40 kilometer per jam, kususuri jalan poros Bangkalan – Sampang yang lengang. Sesekali aku menoleh kanan-kiri, siapa tahu ada warung rujak yang buka. Niatku membatalkan puasa demi membuat melek mata tak tergoyahkan. Sulit rasanya sampai Sampang kalau harus tetap puasa.

Namun orang-orang Madura memang sungguh tega. Sampai menjelang batas kota Bangkalan, tak juga kutemui warung atau sekedar penjual minuman yang buka. Padahal mata nyaris tak bisa diajak kompromi. Belum lagi badan yang terasa lemas karena udara yang amat panas.

Masih untung di sepanjang jalan banyak halaman warga yang menyediakan musholla. Siapa saja boleh mampir. Saat kantuk tak tertahan, musholla-musholla itu menjadi rest area terbaik. Bisa wudhu, sholat dhuha, rebahan di lantainya yang sejuk, atau sekedar cuci muka. Empat kali mampir di musholla yang berbeda, sampailah aku di Kota Sampang.

*****

Kota Sampang tidak asing bagiku. Daerah yang berada di ‘perut’ Pulau Madura itu tempatku melakukan penelitian saat menulis skripsi pada 2001. Sebulan bisa dua-tiga kali aku ke sana, dan beberapa kali menginap.

Belum lagi saat menjadi wartawan. Ke Sampang ibarat pergi ke rumah teman saja. Bisa sewaktu-waktu. Namun itu semua tidak di bulan puasa. Meski kurang lima kilo lagi ke pesantren Kiai Alawy, keinginanku membatalkan puasa hari itu, belum hilang.

“Gawat ini kalau wawancara sambil ngantuk. Di hadapan Kiai lagi. Bisa dianggap tidak sopan,” pikirku. Otak kiriku tetap mendorongku mencari tempat ngopi dan merokok, biar mata melek.

Ingatanku pun tertuju pada alun-alun Kota Sampang. Di sana seingatku selalu ramai oleh warung mulai pagi sampai malam. Namun sesampai di tempat itu, harapanku kembali sirna.

Sama seperti pemandangan di Bangkalan, di alun-alun Kota Sampang juga sepi bagaikan kota mati. Sempat aku mengenali seseorang di sana, Rohmat, tukang parkir yang istrinya juga membuka warung makan. Kuhampiri laki-laki ceking yang sedang duduk santai di bangku warung istrinya itu. Namun gayung tak bersambut.

“Kak Rohmat, aku mau menghadap Kiai Alawy ini wawancara, tapi ngantuk sekali. Ada rokok sama kopi?,” tanyaku. “Aduh Kak, gak puasa?,” jawabnya spontan. “Puasa, tapi mau aku batalkan. Gak kuat Kak, gak enak sama Kiai kalau ketemu ngantuk-ngantuk,” ujarku lagi.

“Aduh Kak, warung buka nanti habis magrib. Dosa saya kalau jualan sekarang,” jawab Rohmat lagi. “Tapi gimana ini, aku gak kuat lagi, panas banget,” desakku. “Puasa ya puasa Kak, gak boleh ngopi, saya gak boleh juali. Kalau maksa, itu di belakang ada sumur, banyak airnya. Tapi saya gak ikut-ikut,” tegas Rohmat.

Asem… gerutuku dalam hati. Dimintai tolong batalkan puasa malah orang disuruh minum air sumur. Dasar Madura. Kutinggalkan Rohmat dengan hati dongkol. Setengah emosi, kupacu sepeda motorku menuju pesantren Kiai Alawy.

Waktu menunjukkan pukul 11.30 wib saat aku tiba di halaman pesantren Kiai Haji Alawy Muhammad. Kumandang azan dhuhur menyambutku. Ratusan santri tampak bergegas menuju musholla model panggung berbahan kayu dan bambu, yang berada di halaman depan pesantren.

Santri yang semalam membuat janji denganku menyalamiku, sesaat ae aku memarkir sepeda motor. “Tunggu ya Mas, Kiai mengimami dhuhur dulu. Bisa menunggu di teras ruang tamu,” ujarnya ramah.

“Oh gak apa Kak, saya sekalian ikut jamaah dhuhur juga,” jawabku. “Tafaddhol,” ucapnya sembari mengacungkan ibu jari ke arah musholla.

Saat ikut jamaah dhuhur, lagi-lagi kantukku kambuh. Pasca salam, kuputuskan tidak ikut wirid yang begitu panjang. Aku bergeser ke teras ruang tamu, duduk bersila bersandar ke tembok sembari memejamkan mata.

******

“Maaf Pak Abraham, Kiai sudah siap diwawancara,” seseorang berkata di telingaku sambil menggoyang tanganku. Setengah kaget, kulihat santri Kiai Alawy tersenyum padaku sambil mengacungkan jempol ke arah pintu ruang tamu.

“Oh siap,” tukasku bergegas berdiri. Tape recorder, kamera, dan notes sudah siap ditanganku. Kulihat jam tangan pukul 12.10 wib. Lumayan, sekitar seperempat jam aku tertidur.

Setelah menguluk salam dan mencium tangan Kiai Alawy, aku pun menyampaikan kembali maksud dan tujuan. Dengan sorban dan safari biru tua, berikut sarung batik Madura, Kiai karismatik yang tersohor membela hak-hak warga sekitar Waduk Nipah era Orde Baru itu, cukup tangkas menjawab berbagai pertanyaan seputar politik kebangsaan. Utamanya tentang kriteria ideal pemimpin Indonesia. Sembari berbicara, tangannya tak berhenti bergerak mengikuti intonasi kalimat yang meluncur dari bibirnya. Sangat pas untuk difoto.

Cukup setengah jam, seluruh daftar pertanyaan terjawab sudah. Aku pun pamit kembali ke Surabaya. Ulama kharismatik yang wafat pada 2014 itu pun mendoakanku selamat diperjalanan, dan sukses dalam karir serta jodoh. Tak lupa beliau berpesan, “awas… jangan diplintir ya, kalau diplintir beritanya ta’kutuk sampean”. “Siap Kiai,” jawabku tersenyum, memaklumi kekhawatirannya.

Tak mau lagi berharap pada pedagang warung di seantero Madura, selepas keluar halaman Kiai Alawy kupacu tunggananku tak menoleh kanan kiri lagi. Harapanku, segera sampai Pelabuhan Kamal, naik ferry, dan rebahan di kursi penumpang.

******

Tiga puluh menit dibuai angin laut yang sejuk, sirine Kapal Motor Joko Tole membangunkanku. Patung Jalasveva Jayamahe tampak gagah tak jauh dari hadapanku. Sesaat kemudian aku pun telah mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak.

Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 wib. Udara pun sudah tidak terlalu panas. Alhamdulillaah, hilang sudah hasratku membatalkan puasa. Bukan apa-apa, sayang saja sudah berjuang seharian, bedug magrib kurang 2,5 jam lagi kok mau dibatalkan.

Sampai kantor Harian Pagi Memorandum di Jalan Pahlawan nomor 10 Surabaya, dinginnya udara ber-AC membuatku segar kembali. Sempat melewati dispenser dengan galon aqua terisi penuh dan gelas yang berjajar, hatiku tak lagi tergoda. “Enak aja, kurang dua jam lagi buka, kau tak akan mampu menggodaku,” ucapku pada sang dispenser. Temanku sekantor yang melihat adegan itu hanya melongo.

Usai sholat asar, kuletakkan punggungku di sajadah. Alhamdulillaah, aku tetap puasa hari ini, meski sempat berniat membatalkannya. Semua ini gara-gara orang Madura yang takut dosa, menjual makanan disaat orang berpuasa. “Madura memang ettoooopppp…,” gumamku sembari tersenyum. (end)

Related Posts