Oleh: Achmad Badawi
Berapa banyak Guru Bangsa atau Cendekiawan yang terjebak dalam partikularitas ‘pragmatisme sempit & jangka pendek’. Sebagai aktivis yang menegakkan nilai-nilai kosmopolit universal termakan ‘isyu-isyu departemental” yang partikular. Akhirnya mencari pejuang negarawan yang berintegritas berdarah-darah bagi spititualitas, bangsa, keadilan & kemanusiaan dst, amat sangat sulit & langka, hanya segelintir orang: Sri Sultan HB X, Emha Ainun Nadjib, Jenderal Purn Gatot Nurmantyo dkk. Betapa jahatnya ‘sistem sospol kita’. “
Seperti juga nilai-nilai universal Pancasila yang – Apinya Islam (Bung Karno), detail operasional Tauhidnya payah betul (Ustadz Ahmad Thoha Faz), belum turun dalam pandangan dunia “Jujur & Adil” utama sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan.
Bangunan filsafat, bangunan epistemologi/ kerangka teori, bangunan teosofi transenden Bhinneka Tunggal Ika, ‘bangunan kalimatunsawa/ prinsip yg sama antar agama & lokal jenius suku-suku bangsa’, teorema-teorema turunan teori,
Kepada modal sosial, etika sosial hingga etiket sosial pada keseharian, belum lagi teologi pembebasan bangsa Marhaenisme Plus (ilmu pengetahuan yang berkembang pesat) dalam tujuan masyarakat gotong royong/ egaliter dalam masyarakat warga sejati yang mandiri berkualitas/ civil society/ masyarakat madani dst.
Dr KH Abdi Kurnia Djohan: Sayang Ilmu Logika Berhenti Sebagai Alat Debat
Ilmu mantiq atau logika, merupakan jalan mudah untuk memahami sains. Namun yang disayangkan, proses belajar yang berlangsung di lembaga pendidikan formal, mulai dari SD hingga perguruan tinggi, tidak pernah memperkenalkan mantiq atau logika. Lho, bukannya sudah ada pelajaran matematika? Matematika itu bukan ilmu logika tapi bagian dari ilmu filsafat.
Hanya sayangnya, penyampaian pelajaran matematika mulai dari tingkat dasar hingga SMA lebih menekankan kepada menghapal rumus dan mencari jawaban, bukan merangsang imajinasi pelajar untuk berpikir.
Kalaupun ada yang mengajarkan ilmu mantiq di pesantren, orientasinya lebih kepada usaha memahami dalālah lafzhiyyah wadh’iyyah (penunjukan konteks kalimat). Sehingga ilmu mantiq belum mampu merangsang munculnya keinginan untuk memahami sains. Justru ilmu mantiq berhenti pada fungsinya sebagai alat berdebat.
(Padahal ulama-ulamanya mestinya memicu ke arah kesadaran “filsafat Huduri/ Intuisi Ilahi, filsafat akal/tata rasional, paradigmatik/ agregat sistem teori dari matematika, fisika, sosiologi, antropologi, tehnik, ekonomi dst”. Bahkan sampai teorema-teorema/ turunan dari teori, modal sosial, etika sosial hingga etiket sosial pada kehidupan sehari-hari. Tentu akan terbangun Masyarakat Warga Sejati yang mandiri berkualitas/ Madani. Sesuai dengan nilai-nilai universal Pancasila seperti Mbah KH Ahmad Sidik & Prof Dr Ahmad Thayeeb Grand Syekh Universitas Al Azhar).
Islam Itu Baik, Indah & Bijaksana, Kok Praktek Amaliyahnya Jadi Obyek Penderita?
Islam itu kan toleran full (tasamuh), berkeadilan berkeseimbangan (al adl – al mizan), demokrasi hikmah kebijaksanaan (syura), cinta tanah air (hubbul wathon), moderat (wasathon), berkemansiaan (insaniyah), bijaksana (hikmah),
Damai senang sedap sejahtera (islam), diversity (litaarofu), bekerjasama dalam kebajikan (taawun alal birri), berbuat bajik (amal soleh), kebenaran obyektif (tawasho bil haq), kesabaran metodologis (tawsho bisobr), transendensi (iman), tahu ukuran diri ‘timbang bela rasa’ (izzatun nafsi),
Kaum terbaik bangsa (choiru ummah), mengembangkan kesadaran berkeadaban (ta’muruna bil ma’ruf), mentransformasi sistem yg buruk (yanhauna anil munkar), berlomba-lomba mengejar keunggulan-keunggulan kompetitif peradaban (fastabikhul choirot), menempatkan tinggi ilmu pengetahuan (ulul ilmi),
Sebagai Pohon Cahaya Peradaban dari kalimat baik (kalimah toyyibah) yang integral organik (Mr Soepomo) akarnya menghunjam ke bumi pucuknya menjulang ke langit diterpa oleh angin sebesar apapun tak goyah , atau ‘satu organisasi administrasi manajemen’ yang padu (saffan) seperti bangunan yang kokoh tak tergoyahkan (kaannahum bunyanummarsus), atau seperti satu sistem tubuh yang organ-organnya saling berfungsi (hadis), sebagai bisnis yang agung (gracia commercia/tijarotan salim) dalam sejarah keselamatan (history of salvation/ sajaroh salim).
Sebagai ‘rahmat – maitrea – cinta kasih welas asih kepada segenap publik/ alam (rahmatan lil alamin), dengan ‘akhlak- moral- etika’ yang agung (chuluqin adzim), dst-dst.
Di negara-negara Barat & Timur yang maju menjadi modal ‘kesalehan’ sosial yang “Islami” walau negaranya ‘sekuler bermodal etika sosial atau berdasarkan tradisi’ seperti Selandia Baru, Luxemburg, Jepang, Kanada, Inggris, Korea, Jerman, Perancis, negara-negara Skandinavia, Australia, negara-negara bekas jajahan Uni Soviet dkk (penelitian Rehman – Asykari tentang Keberislaman Negara-negara dari George Wasingthon Univrersity). Indonesia no.140 termasuk negara yang “tidak/ kurang Islami” dengan “takdir sosial buruk” yang: tak disiplin, korup, berkesadaran metadunia, kurang menghargai kepentingan umum, instan/ menerabas tak menghargai proses/ sistem, tak bertanggung jawab, munafik, malas, tak rasional, meremehkan mutu dst, padahal kita punya jalan tengah “nilai-nilai universal Pancasila” yang kata Bung Karno adalah “Apinya Islam”.
Dari negara yang masyarakatnya Islam dan menerapkan Islam secara kaffah/ holistik, bisa disebut Turki (Sunni), Iran (Syiah), Chechnya (Sunni) dan negeri sufi Maroko (Sunni) sebagai suri tauladan (uswatun hasanah) dengan keunggulan-keunggulan kompetitif peradabannya masing-masing.
Landasan Idealitas ‘Bung Karno & Founding Fathers’ yang Belum Menjelma Menjadi Landasan Realitas Bermasyarakat, Berbangsa, Sistem Ekonomi Kerakyatan yang Berkeadilan & Bernegara
“Meski ide gemilang tapi klo TDK ada kewenangan itu percuma. Untuk ada kewenangan harus ada kekuasaan & untuk merebut kekuasaan harus dgn cara politik.” -Renaldo Christian Oley.
Jatuh bangun peradaban selalu diiringi tampilnya seorang nabi (seputar 124.000 nabi) sepanjang sejarah, sampai ditutupnya era kenabian dengan Nabi Muhammad Saw yang sukses dengan Al Quran beserta Sunnah (perilaku beliau dari mengcreate Konstitusi Madinah, mengintegrasikan – membangun ekonomi kerakyatan yang berkeadilan & peradaban Madinah, sebagai rahmat bagi seluruh alam). Robert Bellah (sosiolog) meneliti dengan amat cermat dan menyimpulkan peradaban yang dibawa nabi sebagai sangat modern (terutama modal kesalehan sosialnya), jauh melampaui zamannya, bahkan Piagam HAM PBB/ UNO tahun 1950/60-an.
Bung Karno & Founding Fathers tampil membangun Rumah NKRI dengan Landasan Idealitas: nilai-nilai universal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, pandangan dunia ‘Jujur & Adil’, UUD45 Asli, teologi pembebasan Marhaenisme Plus (didukung perkembangan Ilmu yang pesat), tujuan masyarakat gotong royong/ egaliter Indonesia dst, untuk dijadikan Landasan Realitas dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa, negara, sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dst.
Sejarah dengan ‘takdir sosial buruk’ membelokkan Landasan Idealitas tersebut dalam lorong-lorong Got-got Peradaban dimulai sejak Orde Baru dengan ‘simbolis- prosedural demokrasi – prakteknya otoriter’ yang Anti Demokrasi dengan terciptanya sistem KKN, masyarakat massa mengambang yang kosong landasan idealitas dan berkembangnya ‘9 Naga’ sebagai cikal bakal kaum oligark Indonesia yang nantinya mengatur elit-elit pribumi sebagai proksi mereka ‘Menjajah Bangsa Sendiri’ melalui kaum Nekolim (Bung Karno). Orde Reformasi sebagai kelanjutannya, semakin Neolib tanpa ‘Daulat Kemaslahatan Rakyat’ yang kini sudah mencapai 275 juta jiwa.
Adakah suara nurani kepada Jati Diri Bangsa dengan Landasan Idealitas ‘Bung Karno & Founding Fathers’ (kembali kepada nilai-nilai universal Pancasila & UUD45 Asli dst), dengan Pohon Cahaya Peradaban Nusantara Indonesia yang integral organik (Mr Soepomo)? Sebagai penjelmaan Peradaban Esoteris/ Berdasar Ruh Nusantara (terutama Roh Absolut Negara – Kepentingan kemaslahtan umum publik rakyat)?
Semoga, putra-putra Terbaik Bangsa dan para Sejati Nusantara Indonesia selalu ‘eling – berkesadaran penuh’ hakikat didirikannya Rumah Bersama NKRI dengan semangat kesadaran Republik (res publica – kepentingan kemaslahatan umum rakyat) sebagai definisi politik filusuf Aristoteles bahwa “politik adalah hal kemaslahatan umum rakyat”, tujuan masyarakat gotong royong/ egaliter – berkeadilan dan berdasarkan gerak IIahi Allah Swt – Tuhan YME, dari peradaban Esoteris/ Berdasar Ruh Nusantara.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Jihad Konstitusi Kembali ke UUD 18/8/1945

Yahya Zaini Dukung Konsep “School Kitchen” Untuk MBG Yang Aman dan Dekat Anak

Ada Pengangkutan Belasan Ton Limbah B3 Asal Pertamina Tanjunguban dengan Tujuan Tak Jelas

Lho Kok Hanya Peringatan Keras…?

Yahya Zaini: Tidak Ada Instruksi DPP Golkar Untuk Laporkan Pembuat Meme Bahlil

Menjadi Santri Abadi

Pendemo Desak KPK Periksa Ketua Komisi VIII DPR RI Terkait Skandal Kuota Haji 2024

Pengamat P3S Jerry Massie Ungkap Demi Selamatkan Golkar, Bahlil Didesak Mundur

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Prof. Djohermansyah Djohan: Serapan Anggaran Daerah Rendah Bukan Karena Kelebihan Uang Tapi Karena Sistem Yang Lambat



789BET เว็บเดิมพันออนไลน์ระดับโลกJanuary 11, 2025 at 7:50 am
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/nasional/achmad-badawi-pancasila-masih-simbolis-belum-berkembang-kepada-fungsi-dan-makna-peran-yang-bekeadaban/ […]