Agus Mualif : Kafir, Warga Negara Dan Ummah

Karena bermakna politis, suatu saat bisa saja terjadi apabila ada orang mengatakan kafir maka orang tersebut nantinya di stigma inteloran, radikal dan bisa dianggap telah melakukan ujaran kebencian yang dicarikan pasal pelanggaran undang undangnya dan kemudian dipenjarakan.

Oleh : Agus Mualif Rohadi

Ada sedikit surprise pada bahtsul masail NU yang menghimbau agar jangan menggunakan panggilan kafir kepada :
1) sesama muslim yang berbeda pendapat.
2) non muslim.

Untuk non muslim agar digunakan panggilan muwathinun atau warga negara.

Meskipun tidak penting amat untuk ditanggapi, namun perlu sedikit bahasan karena usulan untuk sebutan itu lebih bermuatan politis temporal dibanding makna keagamaannya.

Karena bermakna politis, suatu saat bisa saja terjadi apabila ada orang mengatakan kafir maka orang tersebut nantinya di stigma inteloran, radikal dan bisa dianggap telah melakukan ujaran kebencian yang dicarikan pasal pelanggaran undang undangnya dan kemudian dipenjarakan.

Alasan utama himbauan itu adalah penggunaan kata kafir mengandung unsur kekerasan teologis. Hanya saja tidak dijelaskan apa itu kekerasan teologis. Oleh karena tidak ada penjelasan tentang hal itu, maka agak sulit menanggapinya.

Perbedaan pandangan tentang pengertian ketuhanan dianggap sebagai bentuk kekerasan. Padahal dalam Islam perbedaan pandangan tentang keyakinan itu sudah ada jawabannya, yaitu agamamu adalah agamamu agamaku adalah agamaku, tidak ada paksaan dalam memeluk agama.

Pemahaman tentang kekerasan teologis itu juga ahistoris, karena semua pemeluk agama mempunyai sebutan sebutan sendiri sendiri untuk pemeluk agama lain.

Apalagi kalau dengan Kaum Yahudi dan Kristen, makna kekerasan teologis sulit dicari pembenarannya, karena dua agama tersebut mempunyai hubungan erat dengan Islam.

Tuhan agama Yahudi dengan Islam adalah sama, meskipun yahudi menyebut nama tuhannya YaHWeH. Tapi penyebutan YaHWeh tidak bisa menghapus penyebutan Ellohim atau EL sebagai nama tuhan bani Israel.

Demiikian pula terhadap pemeluk Kristen. Tuhan kaum Kristen adalah Ellohim atau tuhan Bapa, meskipun kaum Kristen lebih mengenal Yesus sebagai tuhan.

Jadi kekerasan teologis terhadap kaum yahudi dan kristen terletak dimana ?

Kata kafir bila dicarikan padanan katanya maka kafir bisa diterjemahkan sebagai hati yang tertutup (terhadap kebenaran tentang Allah dan Rasul serta ajarannya).

Hati yang tertutup padanan katanya mungkin lebih dekat ke pengertian bebal . Jadi kaum kafir adalah kaum yang bebal (terhadap kebenaran tentang Allah, Rasul dan ajarannya).

Jika dibandingkan pengertiannya, sebutan bebal untuk manusia jauh lebih halus dibanding dengan sebutan domba. Seburuk buruk orang bebal tetaplah pantas sebagai sebutan untuk manusia.
Sedang sebaik baik domba yang sesat tetaplah domba. Tentu tidak pantas manusia di padankan dengan binatang.

Apalagi, kata kafir sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan banyak ayat yang lainnya. Kafir bukan hanya memiliki makna yang berdiri sendiri namun terkait degan banyak ayat.

Misal dengan ungkapan ayat … wa lan tardho ‘anka al yahuudu wa al nashara ……
kata lan diayat itu mempunyai makna lan nafiyin (yang menafikan atau men-tidak-kan) dan lan istigban (akan datang atau selamanya). Sedang kata “ka” disitu adalah kamu yang kembali ke rasul atau Nabi Muhammad, karena wahyu diterima oleh nabi Muhammad.

Jadi ayat itu dapat diterjemahkan “Dan orang orang yahudi dan nashara tidak akan ridho selamanya hingga kamu (nabi Muhammad dan kaumnya) mengikuti agama mereka…..

Jadi pengertian kafir dalam spirit agama, tidak bisa dimakna berdiri sendiri, tapi harus dimakna dengan dikontekskan sesuai ayat ayat yang menyertainya.

Kata kafir juga tidak tepat jika dipadankan dengan warga negara, karena pengertian warga negara lebih dekat pengertiannya dengan Ummah, yaitu warga bangsa dalam suatu negara yang terdiri dari banyak suku dengan bermacam agama. Jauh pengertiannya dengan kata kafara (telah tertutup hatinya).

Secara historis kaum muslim telah mengkategorikan kafir ada kafir dzimmi, kafir harbi, dan kafir lainnya. Tidak semua kafir kemudian menjadi musuh. Apalagi dalam sebuah Ummah, semua katagori kafir pasti ada, ada kafir yang menjadi teman, menjadi saudara tetapi juga ada yang menjadi lawan. Suatu hal yang wajar dalam pergaulan manusia. Mereka yang non muslim juga sudah mengerti, paham tentang sebutan kafir dan pengertiannya tidak lepas dari pergaulan dalam suatu ummah.

Jadi mencoba menyimpangkan pengertian kafir justru akan menyulitkan sesama saudara muslim, cenderung memecah belah kaum muslim sendiri. Sedang Allah tidak senang dengan perpecahan.

amr 02042019

Related Posts