Oleh : Agus Mualif Rohadi
Langkah Radikal Mengamputasi Kewenangan Daerah
Radikal adalah perubahan mendasar atau mengakar yang mengakibatkan perubahan besar pada struktur maupun sistem.
Omnibus Law telah mengamputasi secara luar biasa kewenangan pemerintah propinsi dan kabupaten, hak hak normatif perburuhan dan lain lainnya.
Ada sekitar 70 UU yang diamputasi belum termasuk ratusan PP, Perpres, SK Menteri, Perda Propinsi, Kabupaten/Kota, Pergub dan Perbup Perkota yang menjadi aturan pelaksanaannya.
Sangat mengejutkan bahwa dalam rangka memperoleh tuah ajimat investasi, dilakukan dengan mengambil langkah radikal dalam administrasi pemerintahan yang dasar pemikirannya dapat dibaca dalam penjelasan pasal-pasal bidang perijinan Omnibus Law.
Dasar pemikiran atau argumen amputasi kewenangan adalah dalam bentuk contoh penerbitan ijin toko modern. Mungkin yang dimaksud adalah toko-toko seperti Indomart dan Alfamart yang luasnya sekitar 100 m2 dengan tenaga kerja 6 atau 7 orang, untuk meringkas ijin-ijin mulai dari ijin prinsip, tataruang, lokasi, IMB, AMDAL, ijin lingkungan dan lain lain diringkas jadi satu dalam hanya satu ijin yaitu ijin usaha.
Dengan kasus ijin toko modern itu maka dibangun sebuah sentralisasi administrasi dengan mengamputasi pasal-pasal otonomi daerah untuk menyederhanakan proses investasi.
Jika sesederhana itu perijinan investasi maka sungguh aneh bila sebelum ini ada serobot menyerobot tanah dan konflik pertanahan antara perusahaan dengan perusahaan di banyak tempat di Kalimantan dan Sumatera.Sungguh aneh ada pencemaran sungai sangat berat hingga sampai ke pencemaran laut. Sungguh aneh ada ribut-ribut ijin reklamasi di Jakarta. Sungguh aneh ada pengusiran tenaga kerja ilegal dari RRC yang jumlahnya ribuan pekerja hanya dengan menggunakan visa kunjungan yang diusir oleh penduduk sekitar. Sungguh aneh banyak lubang bekas tambang yang meminta kurban nyawa penduduk sekitar. Dan masih banyak keanehan. Ini belum sampai membahas keanehan tentang potensi hilangnya pendapatan negara dari pelanggaran bea masuk dan bea keluar, iuran tenaga kerja asing dan lain sebagainya. Masalah pertanahan malah ada yang beranggapan jutaan hektar tanah hak pengelolaan pemerintah tiba-tiba tidak menghasilkan pendapatan bagi pemerintah. Waah makin banyak dibutuhkan penjelasannya.
Disamping membangun sentralisasi administrasi investasi di pemerintah pusat, untuk membuat lempang jalannya produksi, maka kekuatan buruh yang bersumber dari Undang Undang nomor 13 tahun 2003 juga diamputasi sehingga investor mempunyai kekuatan lebih dalam berhadapan dengan buruh. Nasib pekerja dan calon-calon pekerja praktis dalam genggaman tangan investor.
Terbentuknya Oligarki Kekuasaan
Untuk memuluskan pengesahan Omnibus Law, jauh-jauh hari koalisi pemerintah memperbesar kekuasan dengan mempreteli kekuatan oposisi hingga tinggal menduduki kurang dari 20% kursi parlemen.
Pemerintah sukses menggabungkan kekuatan PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Gerindra dan PAN. Partai partai tersebut dalam sejarah politik Indonesia tercatat berhasil membangun sebuah oligarkhi politik.
Diluar oligarki politik, terdapat sebuah Satgas Omnibus Law, yang berisi para taipan Indonesia. Sangat mungkin Satgas inilah yang mempersiapkan rancangan Omnibus Law melalui beberapa konsultan legal drafting.
Rasanya tidak mungkin birokrasi di beberapa kementerian bersama-sama berkoordinasi membuat legal draftingnya. Tentu ini perlu dicheck kebenarannya dengan cara meneliti apakah di banyak kementrian telah membentuk tim khusus yang bertugas mempelototi perundang-undangan sektoral masing masing untuk diamputasi. Kemudian ada tim dari kementrian tertentu mengkoordinasikan tim tim dari kementrian lainnya untuk mensinkronisasikan rumusan legal draftingnya. Apa ada dokumen di masing-masing kementerian tersebut.
Satgas yang bisa disebut sebagai oligarki finasial terebut oleh Faisal Basri telah disebut berhasil menggolkan Undang Undang.
Oligarki politik bertemu dengan oligarki finansial kemudian bersama-sama membentuk oligarki kekuasaan melalui pembentukan Omnibus Law.
BACA JUGA :
Selamat Datang Era Konflik
Apakah tujuan oligarkhi kekuasaan tersebut akan berhasil?
Sistem politik Indonesia dibangun dalam desain demokrasi liberal dengan banyak partai melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat untuk jangka waktu 5 tahunan. Seorang Presiden hanya berkuasa selama 5 tahun paling lama 10 tahun. Dalam waktu 5 tahun atau 10 tahun bisa terjadi perubahan kekuasaan, kecuali ada perubahan Undang-Undangnya.
Dengan sistem itu rakyat sudah menikmati kebebasan. Dan sekarang kebebasan tersebut akan dicoba dimasukkan ke dalam dinding-dinding bangunan oligarkhi kekuasaan.
Dalam bangunan tersebut dihadapkan rakyat yang pernah merasakan nikmat kebebasan dengan kepentingan kepentingan perusahaan dalam negeri kepulauann yang luas ini.
Birokrasi pusat jelas efektif membangun dinding-dinding tersebut.Tapi bagaimanakan dengan birokrasi daerah? Apakah cukup kuat mendukung kekuatan bangunan tersebut ? Birokrasi daerah telah dipreteli kewenangannya. Apakah akan mampu membersihkan sampah-sampah yang dihasilkan investasi?
Sangat mungkin birokrasi daerah yang dipimpin oleh kekuatan politik dengan besar kekuatan kurang dari 50 % kekuatan rakyat tersebut akan gamang dalam menghadapi semangat kebebasan rakyat di berbagai daerah.
Dengan Omnibus Law, seorang bupati atau walikota tidak lebih hanya sebagai koordinator pimpinan proyek APBD dan hanya jadi penonton geliatnya investasi di daerahnya. Para pemimpin daerah tidak tahu bagaimana ceritanya ada investasi di daerahnya tetapi diberi tugas membersihkan sampah investasi yang bangunan untuk membersihkan sampahnya juga tidak cukup kuat karena sudah dipreteli untuk memperlancar kegiatan investasi.
Semangat kebebasan yang dinikmati rakyat akan berhadapan dengan kegiatan produksi yang menempatkan tenaga kerja dalam posisi yang lemah dihadapan pengusaha. Akankah ini menghasilkan konflik yang kemudian konflik tersebut menjadi lahan bisnis baru yaitu bisnis mengelola konflik.
Pebisnis mengolah konflik rakyat dengan perusahaan bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh lokal dari berbasis wilayah pedesaan hingga berbasis kabupaten/kota.
Pebisnis konflik yang bisa saja berbaju tokoh agama, politisi, aparat keamanan ditingkat lokal hingga preman betulan. Tentu perusahaan yang harus membayarnya.
Bisa jadi ini adalah wujud sentralisasi administrasi dalam sistem politik demokrasi.
EDITOR : SETYANEGARA
Tags:Related Posts
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
Quo Vadis Kampus Era Prabowo
Habib Umar Alhamid: Prabowo Berhasil Menyakinkan Dunia untuk Perdamaian Palestina
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Kelemahan Jokowi
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Tanah Yang Diwariskan Nabi Ibrahim Pada Anak-anaknya Dan Tanah Hak Suku Filistin (Palestin) Dalam Ayat-ayat Taurat
No Responses