ZONASATUNEWS.COM, JAKARTA – Ada satu yang perlu diingat, kata Muhammad Taufiq, Jimly Asidqi itu pernah membuat keputusan yang mendelegitimasi kekuatan Komisi Yudisial Apa itu? Pada tahun 2006 saat Ketua MK dijabat oleh Jimly, tiba-tiba kewenangan (KY) untuk mengawasi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi itu sudah tidak ada.
“Lalu, pasca itu kita lihat, bagaimana Mahkamah Konstitusi samoai Ketua Mahkamhnya (Aqil Muchtar), ditangkap dan diberi hukuman tertinggi seumur hidup. Ini akibat tidak ada pengawasan. Dan yang menginginkan tidak ada pengawasan itu Jimly,” kata Muhammad Taufiq, Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI).
Dikaitkan dengan tugasnya yang sekarang sebagai Ketua Majelis Kehormatan MK, Taufiq mengingatkan kembali, dalam hati nuraninya yang paling dalam, serta berdasar akal sehatnya, dia berharap Jimly ini memiliki sebuah kekuatan moral dan pendapat intelektual.
Dan yang pasti, katanya, dia mengajak masyarakat untuk memperbaiki hukum lewat Mahkamah Konstitusi. Karena itu adalah lembaga yang (pernah) dia pimpin.
Menurut Taufiq, Jimly ini juga seorang Senator atau Anggota DPD. Ada satu peristiwa, yang teman-teman harus paham. Ini terkait dengan integritas dan independesi.
“Pak Jimly ini, tanggal 20 Oktober, yang bersangkutan ketemu Prabowo di Kertanegara. Dan menyatakan memberikan dukungan kepada Prabowo. Nah, apakah lolosnya putusan yang kemudian membuat Gibran sebagai wakil Prabowo ini, bisa dianalisa secara akademis dan intelektual.
Secara akademis, apakah bisa disatu sisi dia ketemu dengan Prabowo dan memberikan dukungan, disisi lain hari ini dia harus mengadili perkara yang langsung terkait dengan posisi Prabowo,” ungkkap Taufiq.
Karena itu, menurutnya, sebaiknya ada tokoh lain dan bukan Jimly (yang ditunjuk sebagai ketua MKMK). Misalnya ada Refly Harun, ada Hamdan Zoelva, atau orang-orang yang hari ini tidak ada kepentingan politik praktis mendukung partai satu atau yang lainnya.
Kalau kemudian diserahkan kepada Jimly lalu dia membuat suatu analisa yuridis, kemampuannya ada tetpai keterkaitannya dengan politik besar. Apakah dia indepeden? Karena menurut Taufiq yang diadili ini sebuah keputusan perilaku etik, sikap moral hakim konstitusi.
“Padahal Jimly dulu pernah memutus Komisi Yudisial tidak punya kewenangan mengawasi hakim konstitusi. Secara terang-terangan Jimly menyatakan mendukung Prabowo, tapi disisi lain dia mengadili etik satu perbuatan hukum yang kita semua sadar, paham dan mengerti bahwa itu tidak benar,” tegas Taufiq.
Yang dibutuhkan adalah orang berintegritas, katanya. Karena kalau sekedar orang pinter banyak. Tetapi yang berintegritas itu sedikit.
“Inilah catatan kaki saya tentang Jimly Asidqi. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa membekali kita (dalam melihat kasus ini),” pungkas Taufiq.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ridwan Hisyam: Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Dr. Anton Permana: “Soliditas TNI Masih Terjaga, Konflik Internal Itu Wajar Tapi Tak Mengancam”

Lebih Mudah Masuk Surga Daripada Masuk ASEAN

Zohran Mamdani adalah Pahlawan Kita

Soeharto, Satu-satunya Jenderal TNI Yang 8 Kali Jadi Panglima

Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Antara Rekonsiliasi dan Pengkhianatan Reformasi

Kasusnya Tengah Disidik Kejagung, Sugianto Alias Asun Pelaku Illegal Mining Kaltim Diduga Dibacking Oknum Intelijen

Habib Umar Alhamid: Waspada, Ombak dan Badai Bisa Menerpa Pemuda-Pemudi Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

OKI mendesak Dewan Keamanan untuk mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB




No Responses