Aku Bukan Bung Karno : Tonggak Pergulatan Pemikiran Intelektual Muda Lampung

Mengembalikan kesadaran akan keadilan kita dari seorang yang bukan Bung Karno

Abdi Mansurni
World literacy volunter Australia
Founder ekstraparlemen insitute

Dua hari pasca mendarat dari perjalanan saya ke Manila ,Filipina saya mendapatkan broadcast tentang sebuah acara berjudul “curhat kebangsaan ” dari sebuah grup what’s app. Kemudian saya arahkan jari saya sembari menikmati segelas kopi, dan ternyata itu adalah bagian dari acara launching buku berjudul “Aku bukan bung Karno ” karya bung Fauzul Adzim. Sosok aktivis kampus yang tidak asing bagi saya karena saya sempat bertemu dan berdiskusi dengan beliau bersama sahabat saya bung Ahmad Risani disebuah warung tongkrongan dibandar Lampung awal tahun lalu. Pada saat itu perbincangan antara saya, bung fauzul , bung Sani , dan ada juga teman teman dari BEM Unila membahas strategi pemenangan Pemira.

Lama tak bersua , bung Fauzul ternyata mengikuti jejak atau mungkin terinpirasi dari bung Sani sahabat karib saya yang sudah merilis buku terlebih dahulu. Jika bung Sani merilis buku tentang generasi milinieal maka bung Fauzul merilis buku tentang perenungannya terkait kondisi bangsa selama masa aktivisnya berkelana dari satu daerah ke daerah lain .

Proses dialektika antara deliberasi (diskursus antara suara hati dalam ruang batin) dan diskusi (dialog antar manusia) menciptakan rangkaian essay yang apik yang membahas kondisi bangsa.

Keaslian gagasan, penekanan terhadap sikap apa adanya , dan peretasan keapatisan melalui spririt kebangsaan adalah tiga hal utama yang saya lihat sekilas dari judul buku ini .

Saya beruntung mendapatkan buku ini dan kemudian langsung membaca. Essay tentang keadilan adalah bagian yang paling saya suka.

Keadilan yang merupakan keharusan mutlak yang harus di tegakkan dan dihadirkan oleh negara kepada masyakarat , namun semakin hari keadilan jauh dari harapan bahkan sudah tidak lagi bisa diharapkan .

Sejatinya keadilan bukan tentang harapan di atas langit tapi harus menjadi kepastian yang mesti diturunkan di bumi.

Teringat oleh khotbah seorang aktivis kemanusiaan di Filipina di mimbar sekolah minggunya pada saat saya tinggal di pinggir kota Manila yang mengutip dari sebuah petuah agama nya yang berberbunyi ” kita sejatinya dipanggil untuk bertindak dengan adil , kita dipanggul untuk mengabdi dengan setia”.

Namun sistem saat ini yang menyesatkan kehidupan berbangsa kita lambat laun memisahkaan keadilan dari massa rakyat, sehingga adil menjadi sebuah barang yang mahal.

Kita terkondisikan dengan sebuah kehidupan yang memisahkan pengorbanan dari pergerakan, solidaritas dari pergaulan, budaya ilmiah yang memanusiakan dari pendidikan, dan refleksi pembebasan dari semangat keagamaan sehingga kita melihat keadilan hanya sebagai teori dibuku buku teks kita dan mengaharapkan keadilan secara ilahiah semata. Kondisi keterpisahan tersebut sudah tergambar jelas dalam refleksi kritis bung Fauzul .

Peran intelektual muda dalam mengurai masalah ketidakadilan adalah yang paling sangat penting pertama sekali harus dimulai dari proses penyadaran posisi dirinya sebagai intelektual.

Untuk menyadari maka harus mengenal konsep “intelektual”. Jika dalam pengertian modern konsep ini mulai dikenal luas berkat Dreyfusard (pembela Alfred Dreyfus) sejak “Manifesto Intelektual” pada 1898, yang terinspirasi oleh surat terbuka Emile Zola berisi protes terhadap Presiden Prancis, mengutuk tipu muslihat terhadap perwira artileri Prancis, Alfred Dreyfus, yang dihukum atas tuduhan pengkhianatan dan menjadi mata-mata militer. Para pendukung Dreyfus meneguhkan gambaran para intelektual sebagai pembela keadilan, yang melawan kekuasaan dengan keberanian dan integritas

Manifesto tersebut menulis spesifikasi dari intelektual yaitu Mereka harus “suci dan mulia”, “orang-orang yang memiliki kecerdasan, patriotisme, dan kebebasan”, “mereka yang dengan bijak dapat sangat memahami kepentingan utama negaranya, dan mereka yang berjiwa patriot dan cinta keadilan hingga tidak mungkin mengorbankan kepentingan tersebut untuk sementara atau secara parsial”.Dengan kemampuan yang begitu diberkati, orang-orang ini akan “menyaring dan memperluas pandangan publik”, menjaga kepentingan publik dari “keonaran” demokrasi oleh tirani mayoritas tertentu .

Saya melihat penulis buku “Aku Bukan Bung Karno” sedang berproses menginternalisasi konsep intelektual dalam dirinya dan mengajak rekan-rekan intelektual muda lainnya untuk kembali kepada Marwah mereka .

Seorang intelektual dalam melakukan perubahan Tidak perlu memulai dengan hal yang sulit namun cukuplah dengan menggalakkan tradisi ilmiah berupa aksi , diskusi , dan berkarya baik dalam tulisan maupun media lainnya .

Khusus untuk tulisan saya percaya dengan adagium dari Sayyid Qutub ” tulisan bisa menembus seribu kepala ” tulisan yang mencerahkan akan mampu menggerakkan banyak kepala menuju pembebasan yang akan mengeluarkan keadilan yang sudah terpenjara .

Dan kedua adalah berorganisasi , bung Fauzul melalui refleksi kritis mengajak para intelektual muda untuk bergerak secara kolektif mengurai masalah bangsa. Dalam essay tentang aksi bung fauzul meluruskan konsepsi aksi yang sudah dirusak oleh para tiran dan sukses di tanamkan di banyak kepala kalau aksi hanyalah sebuah buih.

“Jangan takut, aksi adalah panggilan nurani ” begitu judul essay nya yang juga bisa dipakai sebagai tagline edukasi medekontruksi penyetanan makna aksi .

Aksi adalah sebuah keberanian dan kepedulian, kita butuh kerja kerja kolektif yang terorganisir dalam bentuk aksi sebagai bagian dari upaya menegakkan keadilan berharap banyak dengan aparatus negara hanya akan menambah panjang catatan represi .

Pram pernah menulis dalam bukunya jejak langkah ” didiklah rakyat dengan organisasi, didiklah penguasa dengan perlawanan “.

Membaca ” Aku Bukan Bung Karno ” mengingatkan saya dengan perjuangan Minke dalam novel jejak langkah menyadarkan masa rakyat untuk berorganisasi karena dengan berorganisasi maka kau akan jadi raksasa dan membawa ketidakadilan pada kekuatan semester kata mediang istri Minke , Ang Sang Mei.

Ironis mahasiswa sebagai inti struktur intelektual mulai apatis berorganisasi jikapun berorganisasi taring – taring kritis mereka dilenyapkan oleh budaya kekauan , kita butuh progresiftias merusak tatanan yang memisahkan kita dari ketidakadilan .

Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku ini sebagai buku yang wajib dibaca mereka yang sudah menjadi aktivis atau sedang dan proses menjadi seorang aktivis .

Ingatlah pesan bung Karno wahai pemuda dalam bukunya dibawah bendera revolusi pada saat pidato hari ulang tahun ke dua Republik Indonesia dibawah ancaman bom dari Belanda, Soekarno berkata “lebih mudah memerdekakan daripada mempertahankan”.

Related Posts