JAKARTA – Bencana ekologis di Sumatera kembali menyisakan luka. Lahan yang terbakar, banjir bandang yang merenggut nyawa, dan rusaknya ekosistem yang menjadi penopang hidup jutaan warga menjadi gambaran betapa mahalnya harga kerusakan lingkungan. Di tengah keprihatinan ini, sejarawan terkemuka Anhar Gongong melontarkan pernyataan keras: para perusak hutan, terutama yang terbukti melakukan pembalakan besar-besaran, layak dijatuhi hukuman mati.
Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, tindakan tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan, karena menyasar langsung pada keberlangsungan hidup generasi sekarang hingga generasi yang akan datang.
Merusak Hutan sama dengan Membunuh Masa Depan
Dalam pandangan Anhar, hutan bukan sekadar ruang hijau, melainkan fondasi kehidupan. Ketika hutan-hutan Sumatera dirusak demi keuntungan segelintir orang, maka yang dihancurkan bukan hanya pohon, tetapi seluruh masa depan manusia.
“Siapapun yang merusak hutan, kalau ketahuan, harus dihukum mati. Kenapa? Karena dia telah merusak kehidupan manusia,” ujar Anhar Gongong.
“Kerusakan yang dilahirkan dari penebangan itu adalah pembunuhan terhadap masa depan. Dia mendapat keuntungan, tetapi generasi yang akan datang menanggung azabnya.”
Pernyataan tegas itu mencerminkan kegelisahan mendalam seorang sejarawan yang melihat pola kerusakan ini telah berlangsung puluhan tahun, tanpa pembenahan yang berarti.
Bencana Sumatera: Sinyal Alarm yang Tidak Pernah Didengar
Warga Sumatera kembali menghadapi bencana: banjir besar, longsor, rusaknya pemukiman, hingga hilangnya sumber penghidupan. Rangkaian malapetaka ini bukan terjadi tiba-tiba, melainkan konsekuensi dari kerusakan ekologis yang berlapis-lapis.
Sebagai warga negara, rasa pedih itu semakin terasa ketika menyaksikan fakta bahwa hutan yang dulunya menjadi penjaga alam, kini hilang digantikan batang-batang kayu lapuk yang ditebang, pucuk-pucuk tanah tergerus, dan sungai yang kehilangan keseimbangannya.
Anhar menilai, pelaku perusakan hutan tidak hanya merampas kekayaan alam, tetapi juga mencabut harapan dari jutaan orang.
“Bencana yang dialami masyarakat sekarang adalah hasil dari generasi yang dirusak,” tegasnya.
Mengapa Hukuman Mati?
Di balik pernyataan kerasnya, Anhar Gongong melihat adanya unsur kesengajaan dan keuntungan pribadi dalam praktik perusakan hutan skala besar. Dalam perspektif moral dan sejarah, tindakan ini jauh lebih fatal dibandingkan pelanggaran kriminal biasa.
Ada beberapa alasan logis yang ia sampaikan:
1. Dampaknya Massif dan Berlapis
Kerusakan hutan tidak hanya merugikan satu atau dua orang, tetapi mengancam keselamatan jutaan manusia dari Aceh hingga Lampung.
2. Kerugian yang Tidak Bisa Dipulihkan
Hilangnya hutan primer butuh ratusan tahun untuk pulih. Bencana ekologis yang muncul tidak bisa diselesaikan hanya dengan kompensasi uang.
3. Aksi yang Terencana dan Terstruktur
Sebagian besar pembalakan besar dilakukan oleh korporasi kuat dengan jaringan rapi, bukan oleh individu miskin yang mencari makan.
4. Elemen Pembunuhan Tidak Langsung
Ketika banjir bandang menewaskan orang, atau kabut asap membuat anak-anak sesak napas, di situlah secara tidak langsung terjadi pembunuhan akibat keserakahan.
“Jangan Ada Maaf Bagi Perusak Hutan”
Anhar menegaskan bahwa pelaku kejahatan ekologis seharusnya tidak diberi ruang kompromi.
“Orang seperti ini jangan diberi maaf,” katanya.
Dalam hukum pidana modern, kejahatan berat seperti terorisme atau pembunuhan berencana bisa dijatuhi hukuman mati. Bagi Anhar, apa yang dilakukan perusak hutan berada dalam kategori yang sama, bahkan dampaknya bisa lebih luas dan lebih lama.
Menagih Ketegasan Negara
Pernyataan keras seorang sejarawan bukanlah seruan emosional semata. Ini adalah alarm moral agar negara bertindak lebih tegas:
-
Menindak pelaku utama, bukan hanya pekerja lapangan.
-
Mengusut korporasi yang terlibat pembalakan liar.
-
Memberikan sanksi yang sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan.
-
Mengakui bahwa bencana ekologis bukan kebetulan, tapi hasil dari kebijakan yang salah dan pengawasan yang lemah.
Karena tanpa langkah tegas, bencana serupa akan terus terulang, dan Sumatera—serta pulau-pulau lain—akan semakin kehilangan masa depan.
Penutup: Saatnya Memilih Pihak
Pernyataan Anhar Gongong memang keras, tetapi lahir dari rasa pedih melihat alam Indonesia dilukai tanpa henti. Ia menempatkan moralitas di atas kepentingan ekonomi, dan masa depan anak cucu di atas keuntungan para pengusaha.
Sebagai warga negara, kita harus bertanya: ada di pihak mana kita berdiri?
Di pihak kehidupan, atau di pihak mereka yang memperjualbelikan masa depan bangsa?
EDITOR: REYNA
Related Posts

HMI Cabang Kota Semarang Mencetak Sejarah, Formateur Terpilih Hafal Al Qur’an dan Pelaksanaan Konfercab Yang Lebih Cepat

Jejak Panjang Dewi Astutik, Buron 2 Ton Sabu Yang Dibekuk di Kamboja: Operasi Intelijen Senyap Lintas Negara

Buron Penyelundup 2 Ton Sabu Senilai Rp5 Triliun Ditangkap di Kamboja

Donasi Meledak 10 Miliar dalam Sehari, Ferry Irwandi Terharu: Target 500 Juta Tembus 20 Kali Lipat

MTs Darul Hikmah Kabupaten Ngawi Menerima 280 Wakaf Al Quran Dari Singapura

Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini Apresiasi Program Magang Nasional

Yahya Zaini: Pemerintah Perlu Mempertimbangkan Kenaikan UMP Tahun 2026

Syahganda: Roy Suryo cs masih memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan keadilan langsung dari presiden

Pengakuan Mantan Pekerja : Kerja di IMIP Morowali, Seperti Kerja di Negara Asing

LBP Melawan Kebijakan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin?



No Responses