Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Dr Anton Permana

Oleh: Budi Puryanto

Dunia sedang mengalami pergeseran besar yang tidak terjadi hanya dalam hitungan tahun, melainkan dekade. Kekuatan ekonomi, politik, dan militer global tidak lagi terpusat pada satu atau dua negara adidaya, melainkan mulai menyebar ke berbagai kutub baru. Para pengamat menyebutnya sebagai era multipolaritas baru — dan di tengah pusaran ini, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah: antara menjadi pemain strategis atau sekadar pengikut arus global.

Salah satu tokoh yang cukup tajam membaca arah perubahan ini adalah Dr. Anton Permana, pengamat politik dan keamanan nasional yang menekankan perlunya Indonesia mengambil peran aktif dalam membentuk keseimbangan baru dunia. Menurutnya, prinsip politik luar negeri bebas aktif bukan hanya jargon masa lalu, melainkan kunci untuk bertahan dan berkembang di tengah tarikan kepentingan global yang semakin rumit.

Dunia Multipolar dan Pergeseran Kekuatan Global

Teori geopolitik klasik dari Halford Mackinder dan Nicholas Spykman menekankan pentingnya “Heartland” dan “Rimland” dalam menguasai dunia. Namun, kini teori itu berkembang menjadi jaringan kekuatan ekonomi, data, energi, dan teknologi. Kekuatan global tidak lagi ditentukan oleh wilayah geografis semata, tetapi oleh kendali atas rantai pasokan, energi bersih, kecerdasan buatan, dan narasi ideologis.

Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa masih memegang pengaruh besar, tetapi munculnya blok alternatif seperti BRICS — yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan — menandai resistensi terhadap dominasi barat. China dan India menjadi dua kekuatan Asia yang kini memainkan peran global, sementara Rusia tetap menjadi kekuatan militer yang diperhitungkan.

Dr. Anton Permana melihat bahwa dalam konteks ini, Indonesia tidak boleh terjebak menjadi satelit kekuatan besar manapun. “Kita tidak boleh inferior. Justru sekarang saatnya menempatkan diri sebagai mitra strategis yang diperhitungkan, bukan sekadar pasar konsumtif,” ujarnya dalam salah satu tulisannya di Catatan Permana.

Bebas Aktif: Doktrin Lama, Makna Baru

Prinsip bebas aktif yang dulu diperkenalkan oleh Mohammad Hatta pada masa awal kemerdekaan kini menemukan relevansi baru. Dalam kacamata Anton, kebebasan dalam menentukan sikap dan keaktifan dalam ikut serta menyelesaikan persoalan dunia harus diterjemahkan ulang dalam konteks ekonomi digital, teknologi, energi, dan keamanan siber.

Indonesia, sebagai kekuatan menengah (middle power), memiliki modal besar: populasi besar, ekonomi yang tumbuh stabil, dan posisi geostrategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik. Namun, modal itu tidak akan berarti jika kebijakan luar negeri dan ekonomi domestik tidak saling sinkron.

Anton menegaskan bahwa diplomasi Indonesia harus lebih proaktif, bukan reaktif. “Kita harus membaca perubahan global bukan hanya sebagai ancaman, tapi juga peluang,” katanya. Pandangan ini senada dengan analisis Fareed Zakaria dalam bukunya The Post-American World, bahwa dunia tidak sedang melawan Amerika, tetapi sedang menyetarakan diri.

Geopolitik Ekonomi dan Ketahanan Nasional

Fokus Anton bukan hanya pada politik luar negeri, tetapi juga pada keterkaitan antara geopolitik dan ekonomi nasional. Dalam pandangannya, ketergantungan ekspor-impor Indonesia terhadap satu blok ekonomi harus diimbangi dengan diversifikasi mitra dagang dan investasi.
Hal ini penting untuk melindungi Indonesia dari efek domino seperti embargo, fluktuasi harga energi, atau krisis rantai pasokan global.

Pendekatan ini selaras dengan teori geoeconomics yang dikemukakan Edward Luttwak, bahwa “dalam dunia modern, perebutan kekuasaan antarnegara lebih banyak dilakukan melalui ekonomi daripada militer.” Dengan demikian, strategi luar negeri Indonesia harus memasukkan dimensi ekonomi dan teknologi sebagai bagian dari pertahanan nasional yang lebih luas.

Pertahanan dan Keamanan di Era Ketidakpastian

Pergeseran geopolitik global juga menuntut reformasi dalam pertahanan dan keamanan. Anton Permana, yang banyak berbicara soal hubungan sipil-militer dan strategi keamanan nasional, menilai bahwa Indonesia perlu menyiapkan doktrin pertahanan adaptif, bukan hanya berbasis ancaman konvensional.

Hal ini sejalan dengan teori comprehensive security dari Jepang dan human security yang dikembangkan oleh PBB — bahwa keamanan kini mencakup pangan, energi, teknologi, bahkan stabilitas informasi digital. Ancaman tidak lagi hanya berbentuk invasi militer, tetapi juga cyber attack, data manipulation, hingga perang ekonomi yang dikemas dalam diplomasi dagang.

Strategi Nasional: Menyusun Skenario Alternatif

Anton menilai bahwa setiap negara yang ingin selamat dari turbulensi global harus mempersiapkan skenario alternatif menghadapi risiko eksternal: konflik, proteksionisme ekonomi, embargo, atau perubahan aliansi. Indonesia, dengan posisi geopolitik yang strategis di Indo-Pasifik, harus mampu mengantisipasi semua skenario itu dengan diplomasi cerdas, bukan hanya kekuatan militer.

Dalam hal ini, pendekatannya mengingatkan pada strategi Hedging Policy — sebuah teori hubungan internasional yang populer di Asia Tenggara — di mana negara-negara tidak memilih berpihak total, tetapi mengelola hubungan dengan semua pihak untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaat.

Indonesia sebagai Aktor Strategis

Anton Permana menawarkan kerangka pikir bahwa Indonesia tidak bisa pasif dalam menghadapi perubahan global. Tatanan dunia yang terus berubah, aliansi yang bergeser, dan ekonomi yang saling terhubung menuntut strategi yang adaptif, fleksibel, dan berdaulat.

Dalam konteks ini, posisi Indonesia sebagai negara menengah harus dioptimalkan — bukan sebagai pengikut, tetapi sebagai aktor strategis yang mampu memilih mitra, menjaga kedaulatan, dan memanfaatkan peluang global.

Seperti kata Henry Kissinger, “Dalam dunia tanpa kepastian, strategi yang bijak adalah menciptakan ruang manuver.”

Anton Permana menambahkan satu catatan penting: ruang manuver itu hanya bisa digunakan oleh negara yang tahu siapa dirinya, dan tahu ke mana dia akan melangkah.

Kesimpulan

Pergeseran global menuju dunia multipolar tidak hanya mengubah peta geopolitik, tetapi juga menantang setiap negara untuk menegaskan kembali identitas dan kepentingannya. Pandangan Anton Permana mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh menunggu arah dari kekuatan besar.
Sebaliknya, Indonesia harus menulis narasinya sendiri dalam sejarah dunia baru — narasi tentang kedaulatan, keseimbangan, dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K