JAKARTA – Suasana politik Indonesia kembali berdenyut panas setelah pernyataan lantang Anton Permana di kanal YouTube Reborn TV yang tayang pada 15 Agustus 2025. Dalam tayangan tersebut, deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini menyuarakan harapan agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap sejumlah tokoh publik, mulai dari Roy Suryo, Rismon, dr. Tifa, hingga mantan Ketua KPK Abraham Samad.
“Semoga tidak ada lagi kriminalisasi terhadap Roy Suryo, Rismon, dr. Tifa, Abraham Samad, dan tokoh lain yang kritis terhadap kekuasaan,” ujar Anton dengan nada serius. Bagi Anton, praktik kriminalisasi adalah gejala dari lemahnya demokrasi dan kian menipisnya ruang kebebasan berekspresi di negeri ini.
Mengangkat Isu Lama yang Tak Pernah Usai
Pernyataan Anton mengingatkan publik pada rangkaian kasus hukum yang menjerat para tokoh nasional selama satu dekade terakhir.
Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, pernah dipidana dalam kasus konten meme stupa Candi Borobudur.
dr. Tifa dikenal kritis terhadap kebijakan pandemi dan pernah tersandung laporan polisi terkait ucapannya.
Abraham Samad, mantan Ketua KPK, sempat dibidik kasus hukum setelah masa kepemimpinannya yang dianggap frontal melawan korupsi elite.
Rismon, meski tak sepopuler nama-nama sebelumnya, juga dikaitkan dengan kritik vokal terhadap pemerintah yang berujung jeratan hukum.
Menurut Anton, pola kriminalisasi tokoh kritis ini menunjukkan bahwa negara masih belum sepenuhnya dewasa dalam mengelola perbedaan pandangan. Alih-alih mengedepankan debat publik dan klarifikasi, jalan pintas melalui hukum pidana justru dipilih.
Kritik Anton: Negara Jangan Anti Kritik
Dalam wawancara tersebut, Anton menyoroti bagaimana hukum bisa menjadi alat politik untuk membungkam kritik. “Kalau setiap kritik dianggap ujaran kebencian atau penyebaran hoaks, maka siapa pun yang bicara akan terancam. Ini berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa bangsa Indonesia lahir dari dialektika ide, perdebatan keras, dan ruang kebebasan berpikir. Menutup pintu kritik sama saja menutup peluang untuk memperbaiki diri. Anton menilai, kriminalisasi bukan hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan ketakutan massal di kalangan masyarakat sipil.
Bayang-Bayang Masa Lalu
Pernyataan Anton terasa ironis jika melihat rekam jejak pribadinya. Ia sendiri pernah divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Mei 2022 dalam kasus ujaran kebencian. Kala itu, ia mengunggah kritik keras terhadap pemerintah di media sosial yang dianggap memuat informasi palsu.
Meski demikian, pengalaman itu justru membuatnya semakin lantang menentang pola serupa yang kini dialami tokoh lain. “Saya tahu rasanya dikriminalisasi. Bukan enak. Bukan hanya soal saya dipenjara, tapi soal bagaimana stigma dan tekanan sosial itu menghancurkan ruang kebebasan kita,” katanya.
Seruan untuk Reformasi Hukum
Anton menekankan perlunya reformasi hukum, terutama dalam penerapan pasal karet seperti UU ITE. Menurutnya, pasal-pasal multitafsir sering digunakan aparat untuk menjerat lawan politik atau suara-suara kritis.
“Pasal-pasal itu ibarat pisau bermata dua. Bisa dipakai melindungi masyarakat, tapi bisa juga untuk mengiris siapa pun yang berbeda pendapat. Selama tidak direvisi, kita akan terus melihat kriminalisasi seperti ini,” jelas Anton.
Reaksi Publik dan Potensi Efek Politik
Pernyataan Anton menuai beragam reaksi. Sebagian kalangan masyarakat sipil dan aktivis HAM mendukung, menilai apa yang disuarakan Anton adalah kenyataan pahit yang perlu diubah. Namun, tak sedikit pula yang menilai Anton sedang membangun panggung politik baru dengan memanfaatkan isu sensitif.
Bagi sebagian elite, seruan Anton dianggap berlebihan dan cenderung menyudutkan pemerintah. Namun publik luas, terutama kelompok pro-demokrasi, menilai pesan itu penting di tengah rasa waswas bahwa kebebasan berpendapat semakin menyempit.
Demokrasi yang Diuji
Apakah kriminalisasi benar-benar sudah menjadi pola sistemik di Indonesia, atau sekadar kebetulan kasus per kasus? Pertanyaan itu masih terbuka. Namun, pernyataan Anton Permana di Reborn TV kembali mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak pernah selesai. Ia selalu diuji oleh bagaimana negara memperlakukan warganya yang berbeda pendapat.
Selama kritik masih bisa dibungkam dengan pasal pidana, maka ancaman terhadap kebebasan berekspresi masih nyata. Dan suara Anton, setidaknya, menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati hanya akan lahir ketika kritik dipandang sebagai vitamin, bukan virus.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Runtuhnya Bangunan Al Khoziny Masuk Berita Internasional
Rektor Universitas Diponegoro, Memberikan Stadium General pada acara Pelantikan Pengurus HMI Korkom UNDip
Dugaan Mega Korupsi Rp 285 Triliun di Pertamina Perkapalan: CERI Desak Kejagung Usut Tuntas “Tiga Pintu” Pertamina
Kejahatan Hukum di Balik Solusi Dua Negara
Api Diujung Agustus (Seri 19) – Pembersihan Internal Garuda Hitam
Membangun Surabaya, Waqaf sebagai Alternatif Pembiayaan
Mualim Balas Bobby: 1.000 Ekskavator Sumut di Aceh Siap Dipulangkan
Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini Apresiasi Kinerja BLK Medan, Dorong Peningkatan SDM Siap Kerja
Yahya Zaini Bongkar Akar Masalah MBG: Jangan Kriminalisasi SPPG, Benahi Dulu Tata Kelola BGN!
Razia Plat Aceh di Sumut: Apa Maunya Gubernur Bobb Nasution?
No Responses