Apa itu ‘kolonialisme sampah’ dan mengapa Thailand melarang impor plastik?

Apa itu ‘kolonialisme sampah’ dan mengapa Thailand melarang impor plastik?
FOTO: Aktivis Thailand dan aktivis Greenpeace berdiri di depan sampah plastik dan elektronik di Kementerian Luar Negeri di Bangkok, Thailand di tengah KTT ASEAN ke-34 [Berkas: Sakchai Lalit/AP Photo]

Tiongkok telah mengambil hampir setengah dari sampah plastik dunia sejak 1992 hingga memberlakukan larangan impor pada 2018, yang mengubah pasar secara signifikan.

Thailand telah menjadi negara terbaru yang menangani krisis sampah plastik global dengan melarang impor sampah plastik.

Selama bertahun-tahun, negara tersebut telah menjadi tujuan utama sampah plastik dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang.

Berikut ini hal-hal yang perlu diketahui tentang larangan tersebut, impor sampah plastik global, dan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan.

Mengapa Thailand melarang impor sampah plastik?

Sejak 1 Januari 2025, Thailand telah berhenti mengimpor sampah plastik dalam upaya untuk mengekang polusi beracun di negara tersebut.

Sejak 2018, Thailand telah menjadi importir utama limbah plastik dari negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan Jepang.

Menurut pejabat Thailand, antara tahun 2018 dan 2021, negara tersebut mengimpor lebih dari 1,1 juta ton sampah plastik. Pada tahun 2023, Jepang sendiri mengekspor sekitar 50 juta kilogram (50.000 ton) limbah plastik ke Thailand.

Impor ini sering kali ditangani dengan buruk, dengan banyak pabrik membakar limbah alih-alih mendaur ulangnya.

Larangan baru, yang diperkenalkan oleh Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, disetujui oleh kabinet negara tersebut pada bulan Desember 2024. Namun, para pegiat lingkungan telah mendorong hal ini selama bertahun-tahun. Pada tahun 2019, aktivis dari Thailand dan Greenpeace mengadakan demonstrasi untuk pelarangan limbah elektronik dan plastik selama KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke-34 yang diadakan di Bangkok.

FOTO: Aktivis Thailand menempelkan logo ASEAN pada sampah plastik dan elektronik [Berkas: Sakchai Lalit/AP Photo]

Mengapa negara-negara Barat mengekspor sampah plastik ke negara-negara seperti Thailand?

Ini ekonomi yang dingin.

Negara-negara Barat sering mengekspor sampah — termasuk plastik — ke negara-negara seperti Thailand karena lebih murah dan lebih mudah daripada mengelola sampah di dalam negeri.

Negara-negara di belahan bumi selatan, termasuk Thailand, biasanya memiliki biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan nilai tukar yang lebih lemah, sehingga dapat memproses dan mendaur ulang sampah dengan biaya yang lebih rendah daripada yang mungkin dilakukan di negara-negara Barat. Bagi negara kaya, harga daur ulang turun — sementara negara itu masih dapat mengklaim telah memenuhi target daur ulangnya, dan memproyeksikan dirinya berkomitmen pada lingkungan yang bersih dan hijau.

Ekonomi lebih lanjut menjelaskan mengapa praktik ini juga umum di negara-negara kaya tetapi tidak setara — seperti AS, di mana dinamika seperti itu juga terus berlanjut di dalam negeri.

Selama bertahun-tahun, negara-negara bagian timur laut di AS telah mengirimkan sampah mereka ke negara-negara bagian selatan, di mana peraturan lingkungan yang lebih lemah dan kesenjangan ekonomi dalam hal upah dan nilai tanah yang lebih rendah membuat pengelolaan tempat pembuangan sampah menjadi lebih murah.

Pada tahun 2018, “kereta sampah” yang penuh dengan limbah dari New York dan New Jersey terparkir di negara bagian Alabama di tenggara AS selama berbulan-bulan, yang memicu kemarahan.

Mengapa negara-negara di belahan bumi selatan setuju dengan hal ini?

Negara-negara di belahan bumi selatan sering menerima limbah plastik karena insentif ekonomi. Penggunaan kembali limbah plastik impor juga dapat menciptakan lapangan kerja dan mendukung ekonomi lokal.

Pasar pengelolaan limbah plastik global diperkirakan bernilai $37 miliar pada tahun 2023 dan diproyeksikan akan tumbuh menjadi sekitar $44 miliar pada tahun 2027.

Perkiraan dari Observatory of Economic Complexity (OEC) mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, Turki, misalnya, memperoleh $252 juta dari impor plastik bekas. Malaysia mengimpor plastik bekas senilai $238 juta tahun itu, Vietnam $182 juta, dan Indonesia $104 juta.

Apa dampak limbah plastik ini terhadap kesehatan dan lingkungan?

Limbah plastik, terutama plastik rumah tangga campuran, dicairkan menjadi pelet plastik, dibakar, atau dibuang. Plastik campuran ini sulit didaur ulang karena sering kali tercampur dengan barang-barang yang tidak dapat didaur ulang seperti botol dan kemasan. Pelet yang meleleh digunakan untuk membuat produk seperti kemasan atau furnitur.

Para ahli juga memperingatkan bahwa jika Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak dapat menyelesaikan perselisihan yang sedang berlangsung mengenai perjanjian untuk mengakhiri polusi plastik, hal itu dapat menyebabkan krisis kesehatan manusia yang besar.

Kekhawatiran utama termasuk meningkatnya paparan mikroplastik—partikel plastik kecil yang dihasilkan dari pemecahan barang-barang plastik yang lebih besar—yang ditemukan di mana-mana, mulai dari udara dan air hingga makanan dan jaringan tubuh manusia.

Mikroplastik juga ditambahkan ke produk-produk tertentu untuk meningkatkan kualitasnya pada saat-saat tertentu. Misalnya, mikroplastik digunakan dalam lulur pengelupas atau pasta gigi sebagai butiran abrasif. Bahkan ketika dibilas, mikroplastik tidak terurai karena air dan malah terakumulasi di lingkungan.

Penelitian menemukan bahwa mikroplastik membutuhkan waktu mulai dari 100 hingga 1.000 tahun untuk terurai sedemikian rupa sehingga menghilang.

Negara mana saja yang menerima sampah plastik dari negara Barat?

Beberapa negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, juga secara historis dibayar untuk menerima sampah plastik.

Tiongkok sebelumnya merupakan pasar terbesar untuk sampah rumah tangga dan telah menerima hampir setengah dari sampah plastik dunia sejak 1992 hingga menerapkan larangan pada 2018. Ini menjadi momen penting bagi perdagangan.

Pada tahun yang sama, 2018, sampah plastik yang dikirim ke Thailand melonjak hingga lebih dari 500.000 ton – peningkatan sepuluh kali lipat dari jumlah rata-rata sebelum 2015, menurut statistik dari departemen bea cukai Thailand.

Sementara itu, setelah larangan Tiongkok, Inggris mulai mengekspor lebih banyak sampah plastik ke Turki daripada negara lain mana pun, dengan jumlah yang meningkat dari 12.000 ton pada 2016 menjadi 209.642 ton pada 2020. Ini mencakup sekitar 30 persen dari ekspor sampah plastik Inggris.

Pada bulan Mei 2021, Turki mengumumkan larangan impor limbah plastik polimer etilen, yang umum digunakan dalam kemasan makanan dan wadah seperti botol. Larangan tersebut dicabut beberapa hari setelah penerapan menyusul tekanan dari industri plastik lokal, yang mengandalkan impor limbah sebagai bahan baku.

Mengapa para pegiat menyebut ini sebagai ‘kolonialisme limbah’?

Banyak eksportir limbah plastik terkemuka di dunia adalah negara-negara maju dengan kemampuan daur ulang yang signifikan. 10 eksportir teratas semuanya adalah negara-negara maju berpenghasilan tinggi — tujuh di antaranya adalah negara Eropa. Bersama-sama, mereka menyumbang 71 persen dari ekspor limbah plastik global, dengan total lebih dari 4,4 juta ton per tahun.

Jerman, misalnya, mengekspor sekitar 688.067 ton per tahun, menjadikannya eksportir teratas secara global. Inggris mengekspor sekitar 600.000 ton per tahun, yang menyumbang 61 persen dari limbah plastiknya.

Sebaliknya, AS mendaur ulang sebagian besar limbah plastiknya. Namun, negara itu masih mengekspor sejumlah besar sampah: Pada tahun 2018, AS mengirim 1,07 juta ton sampah plastik ke luar negeri, yang mewakili sekitar sepertiga dari daur ulangnya, dengan 78 persen dari ekspor tersebut dikirim ke negara-negara dengan sistem pengelolaan sampah yang tidak memadai.

Apakah ada negara Barat yang berhenti mengekspor sampah plastik ke negara-negara berkembang?

Ya, beberapa negara Barat telah mengambil langkah-langkah untuk menghentikan atau mengurangi ekspor mereka.

Pada tahun 2023, Uni Eropa mengumumkan akan melarang ekspor sampah plastik ke negara-negara miskin di luar Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mulai pertengahan tahun 2026 untuk melindungi lingkungan dan kesehatan di negara-negara tersebut. OECD adalah kelompok perdagangan dan pembangunan yang beranggotakan 38 negara yang sebagian besar kaya.

Ekspor ke negara-negara OECD akan memiliki aturan yang lebih ketat, dan negara-negara non-OECD dapat mengajukan pengecualian dari aturan UE yang baru jika mereka membuktikan bahwa mereka dapat mengelola sampah secara berkelanjutan.

Apa solusinya?

Pembatasan khusus negara atau blok seperti itu hanyalah perbaikan tambal sulam, menurut banyak aktivis.

Mereka telah menyerukan perjanjian limbah plastik global yang efektif. Perjanjian ini akan menetapkan aturan yang mengikat secara hukum untuk mengurangi produksi plastik dan meningkatkan kerangka kerja pengelolaan dan daur ulang limbah di tingkat global.

Pada bulan Desember 2024, negara-negara gagal menyetujui perjanjian selama pembicaraan yang dipimpin PBB di Busan, Korea Selatan. Lebih dari 100 negara mendukung rancangan untuk memangkas 400 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun dan menghentikan penggunaan bahan kimia dan plastik sekali pakai tertentu. Namun, negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, Iran, dan Rusia menentang pemangkasan tersebut, yang menyebabkan negosiasi gagal. Plastik dibuat dari petrokimia yang berasal dari minyak dan gas, sehingga produksinya terkait erat dengan industri bahan bakar fosil.

Tidak jelas kapan pembicaraan global berikutnya seputar perjanjian plastik akan berlangsung.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K