Oleh: Budi Puryanto
Maya berjalan menyusuri lorong istana dengan langkah hati-hati. Pakaian formal sederhana membuatnya tampak seperti staf biasa, tak mencolok, hanya satu dari banyak wajah yang lalu-lalang dalam protokol negara. Namun, di balik tenang wajahnya, ada degup cepat—setiap detik di sini adalah taruhannya.
Lewat jaringan lama yang Seno buka, Maya berhasil ditempatkan sebagai staf teknis dalam tim komunikasi istana. Itu memberinya akses ke rapat-rapat persiapan, dokumen protokol, dan—yang paling penting—kesempatan untuk mengamati Menteri Koordinator Polhukam, sosok yang baru terungkap sebagai simpul Garuda Hitam.
Hari itu, Maya mendapati sesuatu ganjil. Setelah rapat resmi bubar, menteri itu tidak langsung kembali ke ruangannya. Ia memberi isyarat kecil pada seorang perwira berseragam hijau gelap yang sejak tadi duduk di pojok ruangan. Mereka melangkah keluar, masuk ke lorong samping yang jarang dilewati.
Maya menunggu sejenak, lalu mengikuti dari jarak aman. Langkahnya senyap, matanya awas pada setiap sudut kamera CCTV. Ia tahu lorong itu tidak tercantum di peta publik istana—jalur yang hanya dipakai untuk pertemuan tertentu.
Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan. Maya mendekat, cukup untuk mendengar percakapan dari dalam.
“Kita harus pastikan Seno tetap sibuk dengan bayangan kecil,” suara menteri terdengar jelas, berwibawa.
“Pasukan cadangan sudah siap, Jenderal,” jawab sang perwira. “Begitu sinyal diberikan, mereka akan bergerak. Tak ada yang mencurigai, karena semua masih tercatat sebagai latihan rutin militer.”
Maya terdiam. Jenderal. Itu berarti menteri tidak sendirian. Ada jaringan yang lebih dalam—bukan hanya birokrat sipil, tapi juga perwira militer aktif yang siap digerakkan.
Malamnya, di safehouse, Maya melaporkan temuan itu kepada Seno melalui saluran terenkripsi.
“Ini lebih besar dari dugaan kita,” kata Maya dengan suara bergetar. “Mereka bukan hanya menyusupkan menteri. Mereka punya jaringan militer yang siap digerakkan kapan saja. Kalau ini meledak, Presiden Pradipa akan terkepung dari dalam, bahkan sebelum Garuda bergerak di luar.”
Seno mendengarkan dengan wajah membatu. Ia sudah menduga ada lapisan lain, tapi mendengar konfirmasi langsung membuat beban di pundaknya kian berat.
“Nama perwira itu?” tanya Seno singkat. Maya menggeleng.
“Belum jelas. Tapi dia dipanggil ‘Jenderal’. Dari insignia di seragamnya, dia perwira tinggi angkatan darat. Aku butuh lebih banyak waktu untuk memastikan.”
Di ruang kendali, Seno menatap layar dengan sorot mata tajam. Ia menarik garis merah dari foto sang menteri ke siluet hitam bertuliskan Jenderal X.
“Jika benar mereka menanam jaringan di militer,” ucap Seno pelan, “maka Garuda bukan lagi sekadar bayangan. Mereka sudah berubah jadi tulang punggung kekuatan tersembunyi. Dan saat waktunya tiba, mereka bisa mematahkan negara dari dalam.”
Maya kini semakin dalam masuk ke lingkar protokol istana, tetapi posisinya kian berisiko karena sudah mendengar rahasia tingkat tinggi.
Seno menghadapi kenyataan pahit: Garuda ternyata punya simpul di tubuh militer, dipimpin seorang jenderal yang hingga kini identitasnya masih kabur.
Operasi Pengalihan
Pagi itu Jakarta terlihat normal, sibuk dengan rutinitasnya. Namun di balik layar, badai tengah disiapkan. Seno duduk di ruang kendali bawah tanah, menatap monitor yang menampilkan peta Indonesia dengan garis-garis komunikasi yang bergerak seperti urat nadi.
“Informasi sudah kita sebarkan,” ujar analis teknis. “Dokumen tentang pemindahan pasukan ke Kalimantan bocor sesuai rencana. Sekarang tinggal menunggu siapa yang menggigit.”
Seno mengangguk. “Jangan buru-buru menutup jaring. Biarkan ikan besar itu bergerak lebih dalam.”
Sementara itu, Maya kembali berada di istana, mengenakan identitasnya sebagai staf protokol. Ia tahu dirinya sedang bermain di tepi jurang. Sekali salah langkah, bayangan Garuda bisa mencapainya sebelum Seno sempat bergerak.
Hari itu, ia melihat sang Menteri Koordinator keluar dari ruang rapat kecil dengan wajah serius. Beberapa staf protokol mencatat agenda resmi, tapi Maya tahu ada “agenda bayangan” yang tidak tercatat.
Seperti dugaan, Menteri memberi isyarat kecil ke perwira berseragam hijau tua. Jenderal bintang tiga itu muncul lagi, kali ini lebih tegas, lebih berwibawa. Mereka melangkah menuju lorong samping.
Maya mengikuti, kali ini lebih dekat. Ia menekan perangkat mungil di saku jasnya—rekaman aktif.
“Kalau pasukan sungguhan dipindahkan ke Kalimantan, itu artinya istana kosong,” ujar Jenderal itu.
“Sempurna untuk kita masuk,” jawab Menteri.
“Tapi kita harus pastikan Seno tidak mencium ini. Dia terlalu tajam.”
“Tenang, aku punya orang yang mengawasinya.”
Maya menahan napas. Orang yang mengawasi Seno? Itu berarti pengkhianatan lebih dalam lagi.
Namun saat ia hendak berbalik, sepatu haknya menyentuh lantai marmer dan menimbulkan suara kecil. Kepala Jenderal menoleh cepat. Tatapan matanya menusuk gelap lorong.
“Siapa di sana?”
Maya kaku. Ia menempelkan tubuh ke dinding, menahan napas sekuat mungkin. Suara langkah mendekat.
Di ruang kendali, Seno tiba-tiba melihat pergerakan komunikasi militer yang mencurigakan. Beberapa titik merah muncul serentak: markas di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung.
“Pancingan berhasil,” ujar analis.Seno mengerutkan dahi.
“Tapi terlalu cepat. Mereka bergerak bersamaan… seolah-olah sudah siap sejak lama.”
Saat itu juga, sinyal peringatan masuk dari jalur komunikasi aman: Maya dalam bahaya.
Lorong istana kini hening. Jenderal itu berdiri hanya beberapa meter dari Maya yang bersembunyi dalam bayangan. Tangannya menyentuh gagang pistol di pinggang.
“Keluar, siapa pun kau,” suaranya berat, penuh ancaman.
Maya menggertakkan gigi. Dalam hatinya, hanya ada dua pilihan: tetap sembunyi dan mungkin ditemukan, atau keluar dengan alasan yang masuk akal.
Sementara di ruang kendali, Seno berdiri tegang, memandang layar, menyadari dua hal sekaligus.
Jaring Garuda di militer mulai terbuka lewat reaksi atas dokumen palsunya.
Nyawa Maya bisa berakhir dalam hitungan detik jika ia salah langkah di lorong itu.
Maya hampir tertangkap basah saat mengintai pertemuan rahasia kedua.
Seno mulai melihat peta besar, Garuda memiliki jaringan militer yang siap bergerak serentak.
Namun, ada intrik baru, ada orang dalam yang mengawasi gerak-gerik Seno sendiri.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Related Posts
Purbaya vs Luhut: Ketegangan di Balik Kebijakan Fiskal dan Investasi
Menkeu Purbaya Terima Aduan: Oknum Pegawai Bea Cukai Sering Nongkrong di Starbucks, Bicarakan “Bisnis Aset” — Minta Ditindak Tegas
Kilang Minyak dan Petrokimia TPPI Tuban Terbakar
Tikus Raksasa Akan Memangsa Kaum Pribumi
Barang Busuk Luhut di Peron Kereta Cepat Jakarta–Bandung
Forum Kebangsaan Yogyakarta Memandang Indonesia Diambang Krisis Legitimasi Kepemiminan Nasional
Mengenal Saifuddin Qutuz (Saif al-Din Qutuz) Tokoh Islam Penakluk Pasukan Mongol Dalam Perang ‘Ain Jalut (1260 M)
Mengenal Khalid bin Walid (592 – 642 M) Jenderal Yang Tidak Pernah Kalah Dalam 100 Perang
Halo Pak Polisi, Di Desa Kelapa Gading, Sei Bamban, Serdang Bedagai Ada Judi Tembak Ikan-Ikan
The New SITALAS: Wujud Komitmen Partisipasi Anak dalam Pembangunan Kota Surabaya
No Responses