FIKSI POLITIK
Oleh: Budi Puryanto
Lorong Istana bergetar oleh ledakan demi ledakan. Pasukan Pegawal Pradipa terbelah, yang tersisa bertahan dengan sisa amunisi, sementara di luar pagar suara deru tank dan senapan mesin tak pernah berhenti.
Seno berlari ke ruang kendali utama. Napasnya berat, seragamnya penuh debu dan bercak darah kering. Ia menggenggam tablet yang baru saja menerima rekaman dari Maya. Begitu masuk, ia mendapati Presiden Pradipa dikelilingi para ajudan dan pejabat kepercayaannya.
“Pak Presiden,” suara Seno lantang, meski suaranya bergetar menahan emosi. “Saya menemukan bukti siapa dalang sebenarnya di balik gerakan Garuda Hitam ini.”
Pradipa menoleh cepat, matanya merah penuh amarah bercampur lelah.
“Siapa?”
Seno menekan layar. Rekaman suara Wiratmaja memenuhi ruangan:
“Operasi Cahaya Merah berjalan sesuai rencana. Istana akan jatuh sebelum matahari terbenam. Begitu televisi dan pusat informasi dikuasai, pemerintahan Pradipa tamat. Kita akan umumkan pemerintahan darurat Garuda Jaya.”
Ruangan hening. Semua tatapan mata mengarah kepada orang disebelah Presiden, yang wajahnya dingin tanpa ekspresi.
Pradipa terpaku. “Ma… ja?” suaranya nyaris patah. “Orang yang kuberi kepercayaan penuh…?”
Wiratmaja tersenyum tipis, seolah tak merasa bersalah. “Pak Presiden, jangan berpura-pura terkejut. Bapak tahu negeri ini hancur di tangan Bapak. Garuda hanya mempercepat sejarah. Rakyat butuh penyelamat, dan penyelamat itu bukan Anda.”
Beberapa pengawal segera mengangkat senjata ke arah Wiratmaja. Tegangan meledak di dalam ruangan yang sempit.
Seno melangkah maju. “Bapak Presiden, kita tidak punya waktu. Garuda sudah hampir menembus gerbang utama. Jika Bapak tidak segera mengambil sikap, negara ini akan jatuh di tangan pengkhianat.”
Pradipa terdiam, matanya beralih dari Seno ke Wiratmaja. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang menumpuk.
Wiratmaja, dengan tenang, menambahkan: “Kalau Bapak menyerah sekarang, saya bisa menjamin keselamatan Bapak dan keluarga. Jangan melawan, karena setiap menit perlawanan hanya menambah korban rakyat.”
Kalimat itu membuat darah Seno mendidih. “Jangan percaya padanya, Pak! Mereka tidak pernah menepati janji. Kudeta tidak mengenal belas kasihan. Jika Bapak menyerah, Bapak akan digilas—dan bangsa ini akan dipaksa tunduk pada para pengkhianat bangsa.”
Ketegangan mencapai puncak. Pradipa menghela napas panjang, lalu menatap Seno lurus. “Kau yakin, Sen?”
“Demi bangsa ini, Pak. Yakin.”
Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Lalu Pradipa menoleh ke pengawalnya. “Tangkap dia.”
Wiratmaja baru sempat melangkah mundur, tapi peluru peringatan meletus di samping kakinya. Dua prajurit langsung memborgolnya. Untuk pertama kali sejak lama, wajah dingin itu kehilangan kendalinya.
Namun, sebelum ia dibawa keluar, Wiratmaja sempat berteriak:
“Kalian pikir dengan menangkapku, kalian bisa menghentikan Garuda? Roda sudah bergerak. Dalam hitungan jam, istana ini akan menjadi abu!”
Pradipa menutup matanya sejenak, lalu membuka kembali dengan tatapan baja. “Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih dulu runtuh. Seno, ambil alih operasi. Saya akan berdiri di sini sampai titik darah penghabisan.”
Seno mengangguk. Ia tahu pertarungan ini sudah masuk babak terakhir. Garuda sudah membuka semua kartunya, dan kini negara berdiri di tepi jurang.
Pertempuran di Jantung Negeri
Langit siang itu hitam pekat meski tak ada hujan. Asap dari ledakan dan kobaran api di jalan protokol membuat ibu kota seolah tenggelam dalam malam sebelum waktunya. Gemuruh tank, dentuman mortir, dan suara sirene bercampur jadi satu orkestra kekacauan.
Pasukan Garuda akhirnya tiba di gerbang utama Istana.
Barisan kendaraan lapis baja merapat, puluhan prajurit dengan senjata otomatis siap menembus pagar. Dari kejauhan terdengar teriakan: “Hidup Garuda! Runtuhkan Pradipa!”
Seno berdiri di depan barisan kecilnya—hanya sisa dari pasukan loyalis yang masih bertahan. Wajahnya kaku, tapi sorot matanya menyala.
“Dengar, kita bukan lagi sekadar menjaga Presiden. Kita menjaga republik ini. Kalau istana runtuh, mereka akan menyapu bersih semua. Tidak ada jalan mundur.”
Para prajurit mengangguk, meski wajah mereka pucat. Di antara letupan senapan mesin, bendera merah putih di puncak Istana masih berkibar.
Maya bergerak dari sisi lain.
Ia berhasil keluar dari gedung kendali Garuda dengan bukti rekaman Wiratmaja, kini ia menyusup kembali ke kota yang bergolak. Tubuhnya letih, tapi pikirannya fokus: jika bukti itu bisa disiarkan secara nasional, rakyat akan tahu siapa pengkhianat sebenarnya.
Namun, perjalanan ke pusat siaran tidak mudah. Jalan penuh pos pemeriksaan Garuda. Maya harus bergerak dari lorong ke lorong, berlari di bawah teriakan massa, menembus asap dan kaca pecah.
Di radio, suara Seno terdengar lirih tapi tegas.
“Maya, kau adalah kunci. Jika rekaman itu sampai ke publik, Garuda akan kehilangan legitimasi. Apa pun yang terjadi, terus maju.”
Di dalam Istana, pertempuran pecah.
Gerbang barat jebol. Pasukan Garuda masuk dengan granat asap dan ledakan beruntun. Seno langsung memimpin serangan balik, melepaskan tembakan beruntun dari balik puing.
Ledakan mengguncang ruang rapat utama. Ajudan Pradipa terluka parah, tapi masih berusaha mengangkat senjata.
Pradipa, dengan wajah pucat namun penuh api, menolak meninggalkan ruangan. “Aku tidak akan lari. Kalau mereka mau istana ini, mereka harus melewati darahku.”
Maya akhirnya tiba di gedung stasiun TV Nasional yang sudah dikuasai Garuda. Dari kejauhan ia melihat tentara bersenjata menjaga pintu masuk. Ia menghela napas panjang, menatap ke langit penuh asap, lalu berbisik pada dirinya sendiri:
“Untuk anakku. Untuk negeri ini.”
Dengan keberanian nekat, ia menyusup lewat jalur servis di bawah tanah. Setiap langkahnya berpacu dengan waktu— tidak jauh dari dirinya berdiri, istana bisa runtuh kapan saja.
Di puncak Istana, bendera merah putih mulai sobek diterpa peluru.
Seno melihatnya dan hatinya bergetar. Ia tahu lambang itu adalah simbol terakhir yang masih membuat pasukannya bertahan. Dengan tubuh penuh luka, ia memanjat puing demi puing dan meraih tiang bendera.
Suara peluru mengoyak udara. Seno nyaris terhantam, tapi ia tetap berdiri, memegang tiang, memastikan merah putih itu tetap berkibar. Prajurit di bawah berteriak penuh semangat, semangat yang membuat mereka bertahan beberapa menit lebih lama.
Sementara itu, Maya berhasil masuk ke ruang siaran.
Dengan pistol teracung, ia mengusir penyiar yang dipaksa Garuda membacakan deklarasi kudeta. Tangannya gemetar saat menancapkan chip rekaman. Layar besar di studio menyala, suara Wiratmaja menggema:
“Operasi Cahaya Merah berjalan sesuai rencana. Istana akan jatuh sebelum matahari terbenam…”
Dan seluruh negeri menyaksikannya.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Related Posts
Skandal Tirak, Ketua BPD Nilai Rizky Putra “Mbah Lurah” Belum Layak Sebagai Calon Karena Belum Bebas Murni
Reformasi Polisi dan Kebangkitan Pemuda: Seruan Keras Dr. Anton Permana di Hari Sumpah Pemuda
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
PT Soechi Lines Tbk, PT Multi Ocean Shipyard dan PT Sukses Inkor Maritim Bantah Terkait Pemesanan Tanker Pertamina
ISPA Jadi Alarm Nasional: Yahya Zaini Peringatkan Ancaman Krisis Kesehatan Urban
Kerusakan besar ekosistem Gaza, runtuhnya sistem air, pangan, dan pertanian akibat serangan Israel
Ilmuwan Gunakan AI untuk Ungkap Rahasia Dasar Laut Antartika
Kepala Desa Tirak, Suprapto, Membisu Soal Status Anaknya Yang Diduga Pembebasan Bersyarat (PB) Kasus Narkoba, Lolos Seleksi Calon Perangkat Desa
Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
No Responses