Api Diujung Agustus (Seri 16) – Serangan Besar Garuda Hitam

Api Diujung Agustus (Seri 16) – Serangan Besar Garuda Hitam

Oleh: Budi Puryanto

Langit Jakarta sore itu tampak biasa: macet, hujan gerimis, dan klakson bersahut-sahutan. Tak ada yang tahu bahwa di balik hiruk-pikuk kota, Garuda Hitam sedang menyiapkan aksi yang akan mengguncang republik.

Di sebuah gudang pelabuhan, Komandan Bram berdiri di depan papan operasi. Gema duduk di sampingnya, wajahnya suram namun penuh tekad.

“Opini publik sudah berbalik, kita jadi musuh bersama,” ujar Bram. “Kalau kita biarkan, kita akan tenggelam. Maka satu-satunya jalan adalah menunjukkan bahwa rezim Pradipa tidak mampu melindungi rakyat—bahkan di jantung kekuasaan.”

Ia menunjuk lingkar merah di peta: Stasiun Palmerah, titik transit ribuan orang tiap hari, tepat di jantung ibu kota, hanya sepelemparan batu dari gedung parlemen.

“Besok sore, jam sibuk. Ledakan ganda. Sekaligus serangan siber yang mematikan jaringan komunikasi darurat. Dalam 15 menit, Jakarta akan lumpuh.”

Gema menatap dingin. “Kalau kau gagal, yang hancur bukan Pradipa, tapi kita. Ingat itu.”

Hari Serangan

17.45 WIB. Ribuan orang baru keluar kantor, berdesakan masuk ke stasiun. Di antara kerumunan, tiga pria berjaket hitam berjalan tenang, masing-masing membawa tas ransel besar.

Di ruang kendali MRT, operator mendapati gangguan aneh: layar monitor berkedip, sistem komunikasi mati. Seolah diretas dari dalam.

17.52 WIB. Ledakan pertama mengguncang peron bawah tanah. Kepanikan pecah. Orang-orang berlari, menjerit, saling tindih.

Dua menit kemudian, ledakan kedua menghantam pintu masuk utama, memecahkan kaca dan merobohkan struktur baja ringan. Puluhan orang tewas seketika.

Di luar, Jakarta terhenti. Jaringan telekomunikasi tiba-tiba padam total. Internet mati. Sirene ambulans tak terdengar. Kota seolah diselimuti bisu.

Ruang Krisis Istana

Di istana, Presiden Pradipa berdiri membeku di depan layar besar yang menampilkan rekaman CCTV terakhir sebelum padam. Kepala Staf gemetar, “Pak… ini serangan yang terkoordinasi. Minimal ratusan korban.”

Pradipa mengepalkan tangan. “Garuda ingin menunjukkan bahwa negara ini tak bisa melindungi rakyatnya. Mereka ingin menanamkan rasa takut.”

Seno masuk dengan wajah keras. “Pak, ini bukan sekadar serangan. Ini deklarasi perang. Garuda sedang bilang: ‘Kami kembali, dan kalian tak berdaya.’”

Pradipa mengangguk pelan, matanya berkilat. “Kalau begitu, mulai malam ini, mereka bukan lagi bayangan. Mereka musuh negara. Dan kita akan memperlakukan mereka seperti itu.”

Rekaman Misterius

Beberapa jam setelah ledakan, sebuah video anonim muncul di kanal gelap internet. Seorang pria bertopeng Garuda Hitam berbicara dengan suara dimodifikasi:

“Ini baru permulaan. Selama Pradipa berkuasa, rakyat tidak akan pernah aman. Kami adalah Garuda Hitam, dan kami menuntut pembebasan semua tahanan politik. Atau darah akan terus mengalir.”

Wajah Gema samar terlihat di latar belakang video itu—sebuah sinyal bahwa Wakil Presiden masih hidup dan kini berdiri di barisan pemberontak.

Jakarta berduka. Media internasional menyebut serangan ini sebagai “Hari Paling Gelap Pasca-Reformasi.” Pasar saham jatuh, negara tetangga mengeluarkan peringatan perjalanan.

Dan di lorong bawah tanah sebuah markas rahasia, Seno duduk sendiri, menatap foto para korban di layar laptop. Bibirnya berbisik:

“Kalau bayangan sudah menyerang terang, maka tak ada jalan lain. Kita harus memadamkan api… bahkan jika harus membakar hutan bersama.”

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api Diujung Agustus (Seri 15) – Misi Balasan Operasi Bayangan

Api Diujung Agustus (Seri 14) – Balas di Panggung Publik

Api Diujung Agustus (Seri 13)- Aksi Pertama: Operasi Bayangan

Last Day Views: 26,55 K